Zakat adalah salah satu dari 5 rukun muslim.
Setiap muslim mesti membayar zakat sesuai hukum syara’. Zakat ini dianggap
sebagai sarana untuk menyucikan harta seseorang sebagaimana disebut dalam surat
At-Taubah ayat 103. Jadi tidak seperti pajak, zakat ini memiliki unsur
spiritual. Zakat ini dikenakan pada uang/investasi, ternak, pertanian,
perdagangan.
Dalam akuntansi, semua barang perdagangan,
yaitu segala sesuatu barang yang digunakan dalam kegiatan jual-beli dengan
maksud memperoleh keuntungan, seperti makanan, pakaian, furniture, barang
elektronika, hewan, buah-buahan, tanah, bangunan, dan barang-barang lain yang
mubah untuk diperjual-belikan (Zallum, 1983 : 179) harus dizakati.
Barang-barang seperti itu wajib dizakati,
sesuai hadits Nabi SAW dari shahabat
Sumarah bin Jundub RA :
“Sesungguhnya
Rasulullah SAW telah memerintahkan kita untuk mengeluarkan zakat dari (barang)
yang kami siapkan untuk (aktivitas) jual-beli.” (HR. Abu
Dawud)
Nishab
dan Besar Zakatnya
Nishab
dan besar zakat yang harus dikeluarkan pada zakat barang dagangan ini, sama
dengan zakat emas atau perak. Dengan kata lain, nishab zakat harta perdagangan
adalah nilai yang setara dengan 85 gram emas atau 595 gram perak.
Demikian
pula besarnya zakat yang wajib dikeluarkan, sama dengan zakat emas dan perak, yakni 2,5 %. Zakatnya
dapat dikeluarkan dalam bentuk harta yang diperdagangkan, ataupun dapat juga
berupa uang yang berlaku dengan nilai sama (Zallum, 1983 : 180).
Jika seseorang memulai perdagangannya dengan nilai modal
yang kurang dari nishab dan pada satu tahun berikutnya modal plus keuntungannya
telah mencapai nishab, maka tak ada kewajiban zakat. Sebab nishabnya belum
berlalu selama satu haul.
Setelah mencapai
nishab ini, barulah perhitungan haul dimulai, dan setelah berlalu satu tahun
atau mencapai haul, barulah dia wajib mengeluarkan zakatnya.
Jika seseorang memulai perdagangannya dengan nilai modal
yang telah melampaui nishab, misalnya dengan modal senilai 1000 dinar, kemudian
pada akhir satu tahun (setelah mencapai haul) perdagangannya memperoleh
keuntungan dan nilai totalnya mencapai 3000 dinar (modal plus laba), bagaimana
perhitungan zakatnya?
Dalam
hal ini, dia wajib mengeluarkan zakat dari yang 3000 dinar itu, bukan yang 1000
dinar yang menjadi modal awalnya. Sebab keuntungan yang diperoleh diikutkan
kepada modalnya, sehingga haul dari keuntungan adalah sama dengan haul modal.
Jika seseorang memperdagangkan berbagai barang, yakni ada
barang yang memang wajib dizakati pada jenisnya, misalnya unta dan sapi, dan
ada barang yang tidak wajib dizakati pada jenisnya, misalnya pakaian dan tanah,
bagaimana zakatnya?
Dalam hal ini pedagang tersebut harus
menghitung semua barang dagangannya sebagai satu kesatuan, tanpa
membeda-bedakannya, lalu dihitung nilainya dalam standar emas atau perak. Jika
telah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Jadi,
barang-barang yang wajib dizakati pada jenisnya –seperti sapi dan unta—tidak
dihitung dengan dasar perhitungan untuk zakat binatang ternak, tetapi dengan
dasar perhitungan untuk zakat barang perdagangan. Sebab, barang-barang tersebut
dimiliki dengan maksud untuk diperdagangkan, bukan untuk dikembangbiakkan atau
diternakkan sebagai binatang ternak (Zallum, 1983 : 181).
Selain itu, semua uang yang disimpan dan tidak
dimanfaatkan selama satu tahun dikenakan zakat 2,5%. Sama halnya terhadap laba
dari investasi dikenakan 10%, dan terhadap pendapatan pribadi (gaji dan upah)
dikenakan 2,5%.
Menyangkut perdagangan, zakatnya dikenakan pada
nilai bersih kekayaan yaitu Modal + Cadangan – Aktiva Tetap dan dari laba
bersih 2,5% atau atas modal kerja dan laba bersih. Di sini termasuk bank Islam,
perusahaan perdagangan, namun perusahaan industri dikenakan 10% hanya atas laba
bersih.
Adapun perlakuan zakat terhadap utang dan
piutang adalah sebagai berikut:
Seringkali
seorang pedagang mempunyai utang. Bagaimana ketentuan syariah mengenai zakat
bagi orang yang mempunyai utang?
Misalkan,
ada seseorang yang mempunyai harta yang telah mencapai nishab dan telah pula
berlalu haulnya. Namun ternyata dia mempunyai utang yang menghabiskan
nishabnya, atau harta sisanya, setelah utangnya dibayar, ternyata kurang
dari nishab. Wajib zakatkah dia?
Dia tidak wajib zakat. Sebagai
contoh, misalnya Fulan mempunyai uang 1000 dinar. Sementara dia mempunyai utang
juga sebesar 1000 dinar. Dalam kondisi seperti ini, tidak diwajibkan zakat
atasnya, sebab hartanya sesungguhnya tidak mencapai nishab. Atau, katakanlah
Fulan mempunyai uang sebesar 40 dinar emas, sementara utangnya sebesar 30 dinar
emas. Dalam kondisi seperti ini, dia juga tidak wajib zakat, sebab harta si
Fulan sesungguhnya bernilai 10 dinar (40
dinar dikurangi 30 dinar), dan belum mencapai nishab, mengingat nishab uang
dinar (emas) adalah 20 dinar.
Jika
harta yang tersisa setelah pembayaran utang telah mencapai nishab,maka wajib
zakat atasnya. Umpamanya, Fulan mempunyai uang sebesar sebesar 60 dinar, sementara utangnya 40
dinar. Maka wajib atasnya zakat, karena sisa hartanya, yakni 20 dinar, telah
mencapai nishab (Zallum, 1983 : 181).
Seorang
pedagang kadang juga mempunyai piutang pada orang lain. Apakah dia wajib
menzakati hartanya yang masih ada di tangan orang lain itu?
Jika piutang tersebut ada pada orang kaya yang tidak menunda-nunda
pembayaran utang, serta si pengutang dimungkinkan menarik piutangnya itu, maka
wajib dikeluarkan zakat untuk piutang tersebut, setelah berlalu haul.
Akan tetapi jika piutang itu ada
pada orang yang miskin, atau ada pada orang kaya yang menunda-nunda pembayaran
utangnya, maka tidak wajib zakat pada piutang tersebut. Zakat baru wajib jika
uangnya telah diterima secara nyata. (Zallum, 1983 : 182).
Wallahu’alam bi al-shawab
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^