Saturday, 5 May 2012

Akuntansi Zakat


Zakat adalah salah satu dari 5 rukun muslim. Setiap muslim mesti membayar zakat sesuai hukum syara’. Zakat ini dianggap sebagai sarana untuk menyucikan harta seseorang sebagaimana disebut dalam surat At-Taubah ayat 103. Jadi tidak seperti pajak, zakat ini memiliki unsur spiritual. Zakat ini dikenakan pada uang/investasi, ternak, pertanian, perdagangan.
Dalam akuntansi, semua barang perdagangan, yaitu segala sesuatu barang yang digunakan dalam kegiatan jual-beli dengan maksud memperoleh keuntungan, seperti makanan, pakaian, furniture, barang elektronika, hewan, buah-buahan, tanah, bangunan, dan barang-barang lain yang mubah untuk diperjual-belikan (Zallum, 1983 : 179) harus dizakati.
Barang-barang seperti itu wajib dizakati, sesuai hadits Nabi SAW  dari shahabat Sumarah bin Jundub RA :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memerintahkan kita untuk mengeluarkan zakat dari (barang) yang kami siapkan untuk (aktivitas) jual-beli.” (HR. Abu Dawud)

Nishab dan Besar Zakatnya
Nishab dan besar zakat yang harus dikeluarkan pada zakat barang dagangan ini, sama dengan zakat emas atau perak. Dengan kata lain, nishab zakat harta perdagangan adalah nilai yang setara dengan 85 gram emas atau 595 gram perak.
Demikian pula besarnya zakat yang wajib dikeluarkan, sama dengan  zakat emas dan perak, yakni 2,5 %. Zakatnya dapat dikeluarkan dalam bentuk harta yang diperdagangkan, ataupun dapat juga berupa uang yang berlaku dengan nilai sama (Zallum, 1983 : 180). 
Jika seseorang memulai perdagangannya dengan nilai modal yang kurang dari nishab dan pada satu tahun berikutnya modal plus keuntungannya telah mencapai nishab, maka tak ada kewajiban zakat. Sebab nishabnya belum berlalu selama satu haul.
Setelah  mencapai nishab ini, barulah perhitungan haul dimulai, dan setelah berlalu satu tahun atau mencapai haul, barulah dia wajib mengeluarkan zakatnya.
Jika seseorang memulai perdagangannya dengan nilai modal yang telah melampaui nishab, misalnya dengan modal senilai 1000 dinar, kemudian pada akhir satu tahun (setelah mencapai haul) perdagangannya memperoleh keuntungan dan nilai totalnya mencapai 3000 dinar (modal plus laba), bagaimana perhitungan zakatnya?
Dalam hal ini, dia wajib mengeluarkan zakat dari yang 3000 dinar itu, bukan yang 1000 dinar yang menjadi modal awalnya. Sebab keuntungan yang diperoleh diikutkan kepada modalnya, sehingga haul dari keuntungan adalah sama dengan haul modal.
Jika seseorang memperdagangkan berbagai barang, yakni ada barang yang memang wajib dizakati pada jenisnya, misalnya unta dan sapi, dan ada barang yang tidak wajib dizakati pada jenisnya, misalnya pakaian dan tanah, bagaimana zakatnya?
Dalam hal ini pedagang tersebut harus menghitung semua barang dagangannya sebagai satu kesatuan, tanpa membeda-bedakannya, lalu dihitung nilainya dalam standar emas atau perak. Jika telah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Jadi, barang-barang yang wajib dizakati pada jenisnya –seperti sapi dan unta—tidak dihitung dengan dasar perhitungan untuk zakat binatang ternak, tetapi dengan dasar perhitungan untuk zakat barang perdagangan. Sebab, barang-barang tersebut dimiliki dengan maksud untuk diperdagangkan, bukan untuk dikembangbiakkan atau diternakkan sebagai binatang ternak (Zallum, 1983 : 181).

Selain itu, semua uang yang disimpan dan tidak dimanfaatkan selama satu tahun dikenakan zakat 2,5%. Sama halnya terhadap laba dari investasi dikenakan 10%, dan terhadap pendapatan pribadi (gaji dan upah) dikenakan 2,5%.
Menyangkut perdagangan, zakatnya dikenakan pada nilai bersih kekayaan yaitu Modal + Cadangan – Aktiva Tetap dan dari laba bersih 2,5% atau atas modal kerja dan laba bersih. Di sini termasuk bank Islam, perusahaan perdagangan, namun perusahaan industri dikenakan 10% hanya atas laba bersih.


Adapun perlakuan zakat terhadap utang dan piutang adalah sebagai berikut:
Seringkali seorang pedagang mempunyai utang. Bagaimana ketentuan syariah mengenai zakat bagi orang yang mempunyai utang?
Misalkan, ada seseorang yang mempunyai harta yang telah mencapai nishab dan telah pula berlalu haulnya. Namun ternyata dia mempunyai utang yang menghabiskan nishabnya, atau harta sisanya, setelah utangnya dibayar, ternyata kurang dari  nishab. Wajib zakatkah dia?
                Dia tidak wajib zakat. Sebagai contoh, misalnya Fulan mempunyai uang 1000 dinar. Sementara dia mempunyai utang juga sebesar 1000 dinar. Dalam kondisi seperti ini, tidak diwajibkan zakat atasnya, sebab hartanya sesungguhnya tidak mencapai nishab. Atau, katakanlah Fulan mempunyai uang sebesar 40 dinar emas, sementara utangnya sebesar 30 dinar emas. Dalam kondisi seperti ini, dia juga tidak wajib zakat, sebab harta si Fulan sesungguhnya bernilai 10 dinar  (40 dinar dikurangi 30 dinar), dan belum mencapai nishab, mengingat nishab uang dinar (emas) adalah 20 dinar.
                Jika harta yang tersisa setelah pembayaran utang telah mencapai nishab,maka wajib zakat atasnya. Umpamanya, Fulan mempunyai uang sebesar  sebesar 60 dinar, sementara utangnya 40 dinar. Maka wajib atasnya zakat, karena sisa hartanya, yakni 20 dinar, telah mencapai nishab (Zallum, 1983 : 181).
Seorang pedagang kadang juga mempunyai piutang pada orang lain. Apakah dia wajib menzakati hartanya yang masih ada di tangan orang lain itu?
                Jika piutang tersebut  ada pada orang kaya yang tidak menunda-nunda pembayaran utang, serta si pengutang dimungkinkan menarik piutangnya itu, maka wajib dikeluarkan zakat untuk piutang tersebut, setelah berlalu haul.
                Akan tetapi jika piutang itu ada pada orang yang miskin, atau ada pada orang kaya yang menunda-nunda pembayaran utangnya, maka tidak wajib zakat pada piutang tersebut. Zakat baru wajib jika uangnya telah diterima secara nyata. (Zallum, 1983 : 182).
Wallahu’alam bi al-shawab

No comments:

Post a Comment

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers