AISHITERUKARA / BECAUSE I LOVE U (PART 4)
*****************
Part sebelumnya:
“DDOOORRR…”
Sebuah ledakan terdengar begitu keras dari
gedung tempat mereka menginjakkan kakinya itu.
Satu ledakan itu cukup untuk membuat mereka
teramat terkejut. Namun, mereka berenam masih bisa menahan diri untuk tidak
panik.
Tiba-tiba pintu atap terbuka…
“Angkat tangan kalian!!”
Dua orang yang mengenakan topeng,
mengarahkan sebuah senapan mesin ke arah 6 siswa itu…
*****************
*****************
Yuto dengan sigap segera melangkahkan
kakinya – cepat. Satu detik kemudian, tubuhnya yang jangkung sudah tak lagi
terlihat sepenuhnya karena pemuda paling tinggi itu kini sudah menyembunyikan
badannya di belakang saudaranya yang merupakan orang paling pendek di tempat
itu – Yuri.
Suasana sarapan pagi yang begitu nyaman
beberapa saat lalu, kini lenyap dalam sesaat. Kengerian menyelimuti wajah
ke-enam siswa SMU itu saat menatap dua senjata mesin laras panjang yang
mengarah ke tubuh mereka.
Keenamnya mengangkat tangan menandakan
mereka tak akan melakukan perlawanan. Satu gerakan yang mencurigakan, mungkin
bisa saja langsung membuat mereka tak kan
lagi bisa menikmati hidup.
Angin berhembus semakin dingin di atap sekolah
ini.
“Cepat turun!!” bentak salah seorang yang
mengenakan topeng bermotif power ranger. Sementara orang bertopeng satunya
berjalan ke arah 6 siswa itu dan menggiring mereka turun dari atap.
“BRUUK”
Salah seorang dari siswa itu roboh sambil
memegangi dadanya.
“Ryosuke, kau tak apa?!” Yuri, Keito, dan
Zashi dengan segera menghampiri sahabat mereka itu. Kepanikan menyelimuti wajah
mereka.
“Wei, kenapa dia?!” si orang bertopeng
tidak kalah terkejutnya dengan kejadian barusan.
Sementara orang yang tengah roboh, dengan
sedikit kedipan matanya, teman-temannyapun segera memahami apa yang dipikirkan oleh
Ryosuke.
“BUGGHH… BUGGHH…”
Hantaman tangan Ryutaro dan Yuto yang
begitu kuat, sukses membuat kedua pria bertopeng itu roboh. Senjata yang tadinya
mengarah pada mereka, kini sudah terpental jauh meninggalkan majikannya.
Pukulan berturut-turut juga dilayangkan
Yuri dan Keito, yang tentu saja membuat perlawanan kedua pria bertopeng itu
menjadi sia-sia. Keduanya kini telah sempurna kehilangan kesadarannya. Senapan
mesinpun telah turut berpindah majikan – berpindah ke tangan Yuto dan Ryutaro.
“Seret mereka ke atap dan ikat mereka,”
perintah dari Ryosuke dan iapun segera mendapatkan tanggapan dari sahabatnya
yang lain.
Keenam siswa itu kini tengah menyeret dua
penjahat kembali ke atap. Diikatkannya sebuah tali dengan begitu kuat pada
tubuh dua penjahat itu.
Keenamnya memandang lekat pada kedua
penjahat yang masih mengenakan topengnya. Perlahan kaki pendek Yuri berjalan
menghampiri dua orang bertopeng – yang beberapa saat lalu mengarahkan senapan
mesin ke arahnya – yang sekarang sudah tak lagi memberikan tanda kesadaran.
Ditekuknya lututnya itu sehingga kini membuat wajahnya hanya berada satu
jengkal dari wajah salah satu dari dua orang bertopeng di hadapannya.
Yuri membuka topeng kedua orang di
hadapannya itu. Kini irisnya sempurna terpaku menatap wajah di depannya. Wajah
dua orang yang sudah pasti bukan orang Jepang.
“Ada
apa ini? Kenapa orang luar negeri seperti mereka bisa masuk ke sekolah ini?” Yuto
segera menyampaikan hasratnya untuk bertanya.
Keitopun segera menanggapi pertanyaan Yuto
itu dengan jawaban yang mungkin kurang sesuai dengan apa yang ditanyakan oleh
sahabatnya barusan. “Sepertinya mereka memang belum tahu kalau sekolah ini
adalah sekolah kita – anak para Yakuza level tertinggi.”
“KREEK… TAP… TAP… TAP…”
Dua orang pemuda yang berseragam sama
dengan keenam siswa itu, terlihat membuka pintu atap dan segera berlari ke arah
keenamnya.
“Sudah kuduga kalian di sini,” pemuda
berambut pirang langsung melontarkan kalimat terputus-putus karena nafasnya
yang masih tak beraturan terkesan begitu panik.
“Yuya…,” Zashi segera menghampiri dambaan
hatinya itu dan dengan cekatan mengeluarkan sapu tangannya tuk menyeka keringat
Yuya yang mengalir deras.
Sementara pemuda satunya langsung berbaring
di atap sambil mengatur nafasnya yang masih membuat jantungnya berdetak begitu
kencang.
“Sekolah kita telah dibajak!!” kata pemuda
yang tengah terbaring itu – Hikaru Mizuno – tanpa menunggu lontaran pertanyaan yang
telah terkias jelas di wajah anak para Yakuza.
*****************
Sementara itu di aula Heisei Gakuen,
Ratusan siswa tertunduk lesu dengan wajah
yang teramat berantakan dengan kegelisahan yang jelas tersirat di wajah mereka.
Sementara belasan orang bertopeng tengah sibuk membentak siswa-siswa tersebut
agar segera duduk diam di aula ini.
Di sudut satunya…
Di tempat yang tak terlihat…
“Bagaimana ini? Apa yang harus kita
lakukan?” wajah panik tergambar jelas dari mimik siswi kelas satu itu – Emi.
Dengan segera sebuah tangan langsung
membungkam mulut Emi agar tak lagi bisa mengeluarkan kata-katanya. “Jangan
berisik… Nanti kita bisa tertangkap,” perintah Chiko pada temannya yang masih
terlihat gelisah ini.
Detik berikutnya, mulut Chikopun sudah
ikutan terbekap oleh dua telapak tangan yang berbeda ukuran. “Ssssttt…,” Ayaka
dan Yui menutup mulut Chiko bersamaan.
Keempat siswi yang tengah sembunyi ini
beruntung karena mereka masih belum ditemukan oleh orang-orang bertopeng itu. Ancaman
Chiko tuk mengajak Emi, Ayaka, dan Yui membolos, membuat mereka tak berada di
kelas saat pembajakan dilakukan.
Biarpun begitu, tak ada sedikitpun kelegaan
di raut wajah mereka. Kesedihan yang teramat mendalam melihat teman-teman
mereka dibentak dan dipukuli secara tidak manusiawi.
Air mata mengalir deras membasahi wajah
Ayaka, Yui, dan Emi. Pemandangan yang mereka lihat di depan mata mereka kali
ini benar-benar terkesan menyayat hati.
“Kalian jangan menangis di saat seperti
ini!” Chiko berusaha menghibur ketiga temannya itu.
Sesaat kemudian – sebelum ketiganya
menghentikan aliran air mata mereka – dua tubuh mendekap mereka dari belakang
dengan tangan yang sudah sempurna membekap bibir keempat siswi itu.
Debaran jantung yang luar biasa kencang
seketika langsung terpacu dari keempat siswi ini.
“Sssttt… Ini kami…,” Yuto segera melepaskan
bekapannya pada Ayaka dan Yui disusul Ryutaro yang juga segera melepaskan
bekapannya dari bibir Chiko dan Emi.
“Yuto-kun…,” Ayaka terpaku diam memandangi
wajah pemuda di depannya. Ingin sekali ia bisa segera memeluk tubuh kurus di
depannya itu untuk meluapkan segala kegelisahan yang sedari tadi membelenggu
perasaannya.
“Kau tak apa, Yui?” satu kalimat terlontar
dari mulut Yuto sambil memegang wajah Yui yang sukses membuat hati Ayaka bagai
tersambar petir dan meledak hancur menjadi serpihan-serpihan kecil.
Emi menyadari tatapan kosong Ayaka. Emi
tahu betul seberapa besar rasa suka sahabatnya itu pada Yuto. Tapi kenapa…
kenapa Yuto mengkhawatirkan Yui? Sejak kapan Yui menjalin hubungan dengan Yuto
tanpa sepengetahuan dirinya dan Ayaka…
“Kalian bertiga juga tak apa kan ?” suara Ryutaro yang
terdengar dengan nada berbisik, cukup untuk membuat kesadaran Emi kembali.
Dengan segera diraihnya tangan Ayaka dan menatap sahabatnya itu dengan perasaan
iba – tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
*****************
Di atap sekolah,
Dua insan tengah bermesraan melepas segala
kerinduan. Hal yang sebenarnya tidak pantas mereka lakukan di situasi seperti
ini.
“Bisa tidak kalian jangan lakukan itu
sekarang,” Hikaru mengajukan protes.
Yuya dan Zashi yang sedari tadi meluapkan
cinta kasih secara terang-terangan di hadapan keempat orang lainnyapun segera
menghentikan aktivitas bermesraan mereka.
“Gomenasai…”
Yuya dan Zashi sesegera mungkin melepaskan
cengkerama mereka.
Ryosuke masih memandang ke hamparan halaman
luas di bawah sana .
“Lebih baik kita segera menghubungi orang
kita untuk mengatasi ini semua,” usul Keito yang langsung mendapatkan perhatian
dari Yuya, Zashi, Yuri dan Hikaru.
“Jangan bodoh…,” respon Ryosuke pendek
masih tanpa mengalihkan pandangannya.
“Tindakan bodoh yang kita ambil, bisa saja
membahayakan keselamatan teman-teman kita. Kita mungkin selamat, tapi tidak
akan demikian dengan ratusan siswa yang lain,” tambahnya memberi penjelasan
pada Keito yang sukses membuat pemuda kekar itu segera menundukkan kepalanya –
diam.
Semua menyadari…
Biarpun Ryosuke adalah anak yang paling
dingin diantara mereka, tapi ialah yang paling memperhatikan keselamatan orang-orang
di sekitarnya melebihi siapapun.
“Kakak…,” teriakan dengan nada yang tidak
terlalu keras tiba-tiba terdengar dari arah pintu masuk. Seorang gadis segera
berlari ke arah Hikaru dan memeluknya – yang sedetik kemudian gadis itu
langsung menumpahkan semua air matanya.
“Ayaka…”
Hikaru terlihat sedikit bingung melihat
tingkah adik satu-satunya itu. “Ada
apa, Ayaka? Penjahat-penjahat itu sudah menyakitimu kah? Katakan…”
“Kau tenang saja. Jangan menangis… Kakak
pasti akan menghajar mereka,” usaha Hikaru untuk menghibur adiknya itu malah
semakin membuat si gadis menangis keras.
“Bukan masalah itu, kak…,” Emi yang baru
saja berjalan ke arah Hikaru dan Ayaka, segera mendapatkan perhatian penuh dari
Hikaru. Dilihatnya seorang gadis yang belum sempat ia ajak kenalan – Chiko –
juga berjalan ke arah mereka bersama Ryutaro. Di belakang mereka, Hikaru dapat
menangkap sosok Yui – sahabat karib dari adiknya – tengah berjalan menunduk di
belakang Yuto.
Seketika Hikaru memahami permasalahan yang
sebenarnya terjadi.
Hikaru memandang wajah Emi untuk sesaat.
Dan gadis yang dipandangpun segera menganggukkan kepalanya – terlihat paham
dengan arti tatapan mata Hikaru. Sepertinya Hikaru telah menyadari bahwa
adiknya tengah patah hati. Patah hati gara-gara sahabatnya merebut orang yang
ia sukai – Yuto.
“Jangan menangis…,” Yuri tiba-tiba terduduk
di samping Hikaru yang masih mendekap erat adiknya. “Jangan menangis, Ayaka…,”
bisiknya lirih sambil menghapus linangan air mata di wajah gadis itu.
“Sudah cukup bermesraannya,” satu kalimat
dari Ryosuke sukses membuat pemuda tersebut mendapatkan perhatian penuh dari
semua orang di tempat itu.
“Bagaimana dengan Mimiko?” tanyanya sambil
mengarahkan pandangan lekat pada Yuto dan Ryutaro yang beberapa saat lalu
disuruhnya untuk melihat keadaan.
“Ia tertangkap. Kami melihatnya diikat bersama
siswa lainnya di aula. Begitu juga dengan kepala sekolah, kakakmu,” Ryutaro
memberikan jawaban yang cukup untuk menjawab pertanyaan sahabatnya barusan.
“Ia
tertangkap?” wajah terkejut nampak jelas dari mimik Ryosuke. Satu detik
kemudian, pemuda yang biasanya paling tenang itu nampak sudah melangkahkan
kakinya cepat menuju arah pintu untuk segera menuruni atap memastikan
keselamatan gadis yang telah merebut hatinya.
“Ryosuke…,” sebuah tangan menggenggam erat
lengan Ryosuke. “Cobalah untuk sedikit tenang,” Yuri mencoba menahan kepergian
sahabatnya itu karena ia tahu Ryosuke mungkin akan bertindak bodoh yang mungkin
akan membahayakan nyawanya.
“Lepaskan aku Yuri!! Aku harus
menyelamatkannya!!”
…………
Tiga telapak tangan menepuk ringan pundak
Ryosuke…
“Kita akan menyelamatkannya bersama,” ucap
Keito, Ryutaro, dan Yuto – bersamaan.
Sementara ketujuh orang lainnya – Yuya,
Hikaru, Zashi, Chiko, Ayaka, Emi, dan Yui – hanya menatap diam ke arah lima sahabat itu.
Rintik air hujan mulai turun menemani keduabelas
siswa tersebut di atap sekolah. Mereka masih terdiam – tak percaya dengan
kejadian yang mereka alami saat ini.
Sekolah mereka tengah dibajak. Tak ada yang
bisa menjamin keselamatan mereka dan siswa lainnya. Itulah pikiran yang masih
memenuhi masing-masing kepala keduabelas anak tersebut.
“DDOOORR…”
Suara letusan peluru yang ditembakkan,
menembus derasnya air hujan di kala ini. Tetesan cairan merah kental yang
awalnya menetes secara perlahan, kini telah bercampur dengan air hujan di bawah
tubuh itu.
Sosok itu seketika langsung roboh. Timah
panas telah menembus tubuhnya yang kini sukses membuat anak itu terbaring
hampir kehilangan kesadaran.
Rasa terkejut yang luar biasa, menghinggapi
kesebelas anak lainnya. Dengan segera mereka menangkap sosok orang bertopeng
yang tengah tersenyum puas dari arah pintu masuk dengan senapan yang masih
mengeluarkan asap hangat di ujungnya pertanda peluru baru saja ditembakkan dari
senapan itu.
To Be Continue………..
*******************************
#penasaran
ReplyDeletemohon dilanjutkan.. ^^
siap, laksanakan ^^
ReplyDeleteudah sampai part 14 sebenarnya ^^