Saturday, 11 February 2012

Kedudukan Akal Dalam Islam

Rasulullah adalah seorang yang maksum yang terjaga dari kesalahan. Beliau tidak jarang menyampaikan berita yang ghaib yang diluar kemampuan akal manusia. Para shahabat ra. adalah generasi terbaik keimanannya sehingga mereka selalu bersikap mendengar dan taat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.



Namun digenarasi terakhir ini semakin banyak orang yang dijuluki ulama oleh pengikutnya sangat menjunjung tinggi kedudukan rasio, sehingga nash yang tidak masuk akal ditolaknya. Dimanakah posisi akal didalam Islam? Siapakah diantara tokoh pengagung akal ? Insyaa Allah tulisan ini sedikit memberikan gambaran dalam perkara ini.

A. Beberapa atsar para Shahabat r.a. tentang pengutamaan nash (dalil) diatas rasio.

1. Dari Ali bin Abi Thalib r.a., dia berkata :
“Andaikata agama itu cukup dengan ra’yu (akal), maka bagian bawah khuf (alas kaki) lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Aku benar-benar melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengusap bagian atas khuf-nya.”
(HR. Abu Daud dengan sanad yang baik. Dalam Al-Talkhishul Habir, 1/160 Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata hadits ini shahih, dan juga telah disepakati Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di dalam Shahihul Abu Daud, 1/33)

2. Dari Umar bi Al-Khaththab r.a., dia berkata tatkala mencium Hajar Aswad:
”Sesungguhnya aku tahu engkau hanya sekedar batu yang tidak bisa memberi madharat dan manfaat. Kalau tidak karena kulihat Rasulullah menciummu, tentu aku tidak akan menciummu.”(HR. Bukhari dan Muslim)

3. Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata :
“Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian mencegah istri-istrimu (untuk mendatangi) masjid-masjid jika mereka meminta izin kepada kalian.”
Salim bin Abdullah berkata, “Lalu Bilal bin Abdullah berkata, ‘Demi Allah, kami akan mencegah mereka’.”
Salim berkata, “Lalu Ibnu Umar menghampiri Abdullah dan mengolok-oloknya dengan olok-olokan yang amat buruk, yang tidak pernah kudengar sebelumnya seperti itu. Dia berkata, “Aku mengabarkan kepadamu dari Rasulullah, lalu engkau berkata,’Demi Allah, aku benar-benar akan mencegahnya ?’.”(HR. Muslim)

4. Dari Imran bin Hushain r.a., dia berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Malu itu adalah kebaikan seluruhnya.”
Lalu Busyair bin Ka’ab berkata, “Sesungguhnya di dalam sabda beliau ini terdapat kelemahan.”
Lalu Imran berkata, “Aku memberitahukan dari Rasulullah, lalu engkau datang untuk menentang ? Aku tidak akan memberitahukan satu hadits pun yang kuketahui.”(HR. Bukhari dan Muslim)

5. Dari Urwah bin Az-Zubair, bahwa dia berkata kepada Ibnu Abbas r.a.:
“Engkau telah menyesatkan manusia.”“Apa itu wahai Urayyah ?”, tanya Ibnu Abbas.Urwah menjawab, “Engkau memerintahkan umrah pada sepuluh hari itu, padahal hari-hari itu tidak ada umrah.”Ibnu Abbas bertanya, “Apakah engkau tidak bertanya mengenai masalah ini kepada ibumu ?”Urwah menjawab, “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukan hal itu.”Ibnu Abbas berkata, “Inilah yang membuat kalian rusak. Demi Allah, aku tidak melihat melainkan hal ini akan membuat kalian tersiksa. Sesungguhnya aku beritahukan kepada kalian dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun kalian menjawab dengan diri Abu Bakar dan Umar.”(HR Imam Ahmad dan Al-Khathib serta lainnya dengan sanad yang shahih)

Ibnul Qayyim berkata, “Semoga Allah merahmati Ibnu Abbas. Bagaimana andaikata dia tahu sekian banyak orang yang menentang firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan menggunakan perkataan Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, Al-Faraby, Jahm bin Shafwan, Bisyr Al-Maraisy, Abul Huzail Al-Allaf, dan orang-orang yang sealiran dengan mereka ?”

Dapat kami katakan (Syaikh Ali Hasan), “Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim. Bagaimana jika dia tahu ada orang-orang rasionalis abad ke dua puluh, yang menentang Sunnah hanya dengan menggunakan rasionya yang serba terbatas, dengan gambaran-gambaran yang rusak dan dengan pendapat yang hina ?”


B. Golongan Rasionalis Masa Kini

1. Salah seorang diantara mereka berkata, “Para pemeluk Islam telah sepakat --kecuali sebagian kecil di antara mereka yang tidak perlu digubris—bahwa jika aqly dan naqly saling bertentangan, maka apa yang ditunjukkan oleh aqly harus diambil.”
(Yang dimaksudkan adalah Muhammad Abduh dalam tulisannya, Al-Islam Wan-Nashraniyyah, hal. 59. Padahal dalam buku Risalatut-Tauhid dia berkata bahwa rasio saja tidak bisa sampai kepada kebahagiaan ummat, jika tidak disertai petunjuk ilahi)

2. Seorang jurnalis yang juga menganggap dirinya sebagai pemikir ulung yang bernama Fahmy Huwaidy berkata di dalam sebuah artikelnya yang berjudul Watsaniyyun Hum Abadatun-Nushush, “Orang-orang paganis adalah para penyembah nash, menguraikan upaya peniadaan rasio di hadapan nash, bahwa hal ini merupakan gambaran paganisme modern. Sebab yang disebut paganis itu tidak hanya orang-orang yang menyembah berhala. Tetapi paganisme pada zaman sekarang berubah menjadi penyembah terhadap simbol-simbol yang tertuang dalam tulisan dan upacara keagamaan.”

3. Seorang tokoh sekolah Al-Azhar Mesir, Muhammad Al-Ghazaly berkata di dalam bukunya yang sangat zhalim terhadap ilmu dan ilmuwan, As-Sunnah baina Fiqhi wa Ahlil-Hadits, “Kita harus tahu bahwa kebatilan yang ditetapkan rasio mustahil merupakan agama. Agama yang benar adalah yang berunsur kemanusiaan yang benar. Unsur kemanusiaan yang benar adalah rasio yang bisa menetapkan hakikat, yang bisa jelas karena ilmu, yang memburukkan khurafat dan yang dijauhkan dari dugaan. Kami senantiasa menegaskan bahwa setiap hukum yang ditentang rasio, setiap jalan yang tidak dikehendaki kemanusiaan yang benar dan sejalan dengan fitrah yang lurus, mustahil merupakan agama.”
Maka dari itu kita melihat Muhammad Al-Ghazali secara berani menolak sekian banyak hadits Nabawi yang shahih dan kuat, hanya karena hadits-hadits tersebut dianggap menunggangi rasionya.
(Silahkan baca kitab Kasyfu Mauqifi Al-Ghazaly Minas-Sunnah wa Ahliha wa naqdu Ba’dhi Ara’ihi, karya DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly yang sudah diterjemahkan dengan judul Membela Sunnah Nabawy, jawaban terhadap buku Studi Kritis atas Hadits Nabi, karya Muhammad Al-Ghazaly, anda akan mendapatkan di dalamnya bagaimana ia menolak hadits-hadits shahih yang tidak dapat diterima oleh akalnya walau tercantum dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Serta setiap syubuhat yang dilontarkannya di jawab secara ilmiyah oleh Syaikh DR. Rabi bin Hadi Al-Madkhaly –hafidhahullah)

4. Muhammad Ahmad Khalafullah berkata di dalam bukunya, Ghazwun Minad-Dakhil, hal. 51, “Islam telah membebaskan rasio manusia untuk menguasai nubuwah, dengan mengumumkan penghabisan masa nubuwah secara total dan sekaligus kebebasan manusia dari nubuwah.

5. Husain Ahmad Amin yang merupakan penerus langkah bapaknya, berkata, “Menyerap ruh Islam, dan bukan komitmen terhadap hukum-hukum tertentu, cukup dijadikan tameng yang bisa membawa kita ke jalan yang lurus. Masyarakat yang ada sekarang mendapatkan hukuman pidana pencurian tidak seperti hukuman di masyarakat badui. Begitu pula masalah hijab yang pernah di wajibkan di Madinah. Hukuman potong tangan yang ditetapkan Al-Qur’an sebagai hukuman bagi pencuri adalah syariat masyarakat badui. Hijab lebih tepat untuk masyarakat Madinah Al-Munawwarah, dan tidak tepat untuk masyarakat Cairo pada abad ke dua puluh.”

6. Diantara pendukung paham rasionalis ini adalah seorang Doktor dalam bidang Hukum, Hasan At-Turaby, yang saat ini namanya cukup berkibar karena hubungan dekatnya dengan pemerintah Sudan. Dia berkata dalam bukunya Tajdidul-Fikri-Islamy, hal. 26, “Sumber yang perlu kami tegaskan sekali lagi sebagai dasar adalah rasio.”
Perhatikan pula masalah besar yang dimuntahkan At-Turaby, dalam suatu ceramah yang disampaikannya dengan judul Tahkimusy-Syari’ah, yang secara lancang dia membolehkan kemurtadan dari Islam, “Saya ingin mengatakan, bahwa dalam suatu pemerintahan dan pada satu zaman, orang Muslim boleh mengganti agamanya, sebagaimana yang dilakukan orang Nashrani.”
Yang menguatkan kedok dirinya dan menambah kejelasan jati dirinya ini adalah penjelasan Muhammad Surur Zainul Arifin, dalam bukunya, Dirasat Fis-Sirah An-Nabawiyah, hal. 308, mengisahkan pengalaman pribadi yang dialaminya bersama At-Turaby. Dia berkata, “Dosen dalam bidang hukum di Universitas Sudan, DR. Hasan Abdullah At-Turaby ini mengingkari turunnya Isa Al-Masih pada akhir zaman. Dalam suatu pertemuan pada sebelas tahun yang lalu, saya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau mengingkari hadits yang mutawatir ?”
Dia menjawab, “Saya tidak mengingkari hadits dari segi sanadnya. Tetapi saya melihat hadits tersebut bertentangan dengan rasio. Padahal rasio harus didahulukan daripada nash jika terjadi pertentangan.”

7. Yusuf Al-Qardhawi
Beliau berbeda dengan Muhammad Al-Ghazaly yang frontal (beliau menolak hadits dengan susunan bahasa yang lebih halus dan tidak keras), sekalipun hadits-hadits yang dibicarakan Al-Qardhawy adalah hadits yang sama dengan yang ditolak Muhammad Al-Ghazaly berdasarkan rasionya yang sempit. Hadits yang secara terang-terangan ditolak Muhammad Al-Ghazaly, biasanya Al-Qardhawy cukup berkata, “Saya masih bimbang tentang hadits yang dimaksud.” Baru kemudian ia menyebutkannya.
Paham rasionalisme ini tampak dalam buku karangannya yang terakhir, Kaifa Nata’amalu Ma’as Sunnah An-Nabawiyyah.
Diantaranya adalah kebimbangannya tentang keabsahan hadits yang diriwayatkan di dalam shahih Muslim, dari Anas, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada seorang laki-laki, “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di dalam neraka.”

Kadang-kadang Al-Qardhawy beralih kepada takwil yang bertentangan dengan zahir nash, seperti sikapnya dalam menghadapi hadits, “Kematian di datangkan dalam bentuk domba berwarna hitam bercampur putih.”(Muttafaq Alaihi)

Maka tidak heran jika engkau melihat kebebasan pemikiran mereka, yang menganggap Islam itu bukan satu-satunya agama Allah. Berarti mencari agama selain Islam bukan merupakan kesesatan dan kekufuran. Bahkan mencari agama Nashrani dan Yahudi bisa membawa pelakunya ke surga dan bahkan bisa ke Firdaus, surga yang paling tinggi, seperti pendapat Muhammad Ammarah, Fahmy Huwaidy, Abdul Aziz Kamil, Sa’id Al-Asymawy, Mahmud Abu Rayyah dan lain-lainnya. ( Al-Aqlaniyyah, Hidayah Am Ghiwayah, hal. 46)

Wallaahu a’lam bishshawab.

(Diringkas dari kitab “Muslim Rasionalis” (Aqlaniyyun), karya Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsary – hafidhahullah)


No comments:

Post a Comment

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers