Thursday 9 February 2012

Pengertian, Fungsi, dan Sejarah Kodifikasi Hadits

A.    PENGERTIAN HADITS
Menurut ahli bahasa, al-hadits adalah al-sunnah, al-khabar, al-atsar. Dalam arti terminologi, istilah-istilah tersebut menurut kebanyakan ulama hadits adalah sama dengan terminologi al-hadits (Mahmud al-Thahan, 1985:15-16 dan Fathurrahman, 1974:28), meskipun ulama lain ada yang membedakan.
Dalam mengartikan al-hadits secara istilah atau terminologi, antara ulama hadits dan ulama ushul fiqh terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama hadits, arti dari hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat (Mahmud al-Thahan, 1985:a15). Sedangkan ulama ahli ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Saw yang berkaitan dengan penetapan hukum.
Al-sunnah dalam pengertian etimologi, dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat al-Kahfi (18) ayat 55, surat Fathir (35) ayat 43, surat al-Anfal (8) ayat 38, surat al-Hijr (15) ayat 3 dan surat al-Ahzab (33) ayat 38 dan ayat 62. Adapun pengertian al-sunnah secara istilah (terminologi), seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajaj al-Khatib (1981:89), adalah segala yang bersumber dari Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat maupun perjalanan hidupnya sebelum atau sesudah diangkat menjadi rasul.
Terhadap pengertian istilah di atas, al-hadits, al-sunnah, al-khabar dan al-atsar, terutama dilihat dari aspek terminologinya, ada ulama yang mempersamakan artinya, ada pula yang membedakannya. Ulama yang membedakan arti istilah-istilah tersebut mengatakan bahwa al-hadits adalah sesuatu yang sandarannya adalah Nabi Muhammad Saw, sedangkan al-sunnah adalah sesuatu yang sandarannya tidak hanya Nabi Muhammad Saw, tetapi juga sahabatnya. (Nur al-Din ‘Athar, 1979:29)
Adanya perbedaan makna terminologi dari istilah-istilah tersebut, menurut Fathurrahman (1974:28), tidaklah prinsipil. Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Utang Ranuwijaya dan Munzir Suparta (1996:15) yang mengatakan bahwa sebetulnya istilah-istilah tersebut mengacu pada pengertian yang sama, yaitu segala sesuatu yang sandarannya adalah Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir.

B.    FUNGSI HADITS
Umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an.
Menurut T.M. Hasybi al-Shiddieqi sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari Ad (1994:111-128) dan Mundzir Suparta (1996:49-56), dan Fathurrahman (1974:65), fungsi hadits terhadap Al-Qur’an itu sebagai penjelas (al-bayan). Mereka kemudian membagi al-bayan menjadi beberapa kategori sesuai dan mengikuti kategorisasi yang diajukan oleh ulama.
Malik bin Anas dan al-Syafi’i menyebut lima kategori, sedangkan Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat kategori. Fathurrahman (1974:65-68) menyimpulkan penjelasan serta kategori al-bayan ke dalam tiga hal:
1.    Hadits berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Contohnya, ada kewajiban menjalankan puasa jika melihat bulan (Q.S. al-Baqarah : 185) lalu dikuatkan dengan hadits yang disampaikan oleh Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi (1992:481) yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berpuasalah jika kamu melihat bulan, dan berbukalah jika melihatnya.”
2.    Hadits berfungsi merinci dan menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur’an yang global. Contohnya dalam sabda Nabi Muhammad, yang artinya sebagai berikut: “Salatlah seperti halnya engkau melihat aku salat”
3.    Hadits berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat dalam Al-Qur’an. Contohnya hadits yang menerangkan tidak dibolehkannya memadu antara bibi dan keponakan.

C.    SEJARAH DAN KODIFIKASI HADITS
Penulisan resmi hadits dalam kitab-kitab hadits, seperti dijumpai sekarang ini, baru dimulai pada masa Bani Umayah, yaitu pada zaman Umar bin Abd al-Aziz. Penulisan secara resmi atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Ad al-Aziz kepada para pakar hadits untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadits yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan kepada lingkup pengertian kodifikasi.
Para ulama hadits tidak sependapat dalam menentukan jumlah periodisasi hadist. Ada yang membaginya menjadi tiga periode, lima periode, bahkan tujuh periode (Kafrawi Ridwan dkk., 1994:42-48; Endang Soetari Ad, 1994:34-61, dan Munzir Suparta, 1996:57). Di bawah ini adalah periodesasi hadist secara garis besar.
  1. Periode Nabi dan disebut Masa Wahyu dan Pembentukan (‘ashr al-wahy wa al-takwin)
Pada periode ini, Nabi melarang para sahabat menulis hadist, karena di samping adanya rasa takut bercampur antara hadist dan Al-Qur’an, juda agar potensi umat islam lebih tercurah kepada Al-Qur’an. Namun, walaupun ada larangan, sebagaian sahabat ada juga yang berinisiatif menulisnya untuk berbagai alasan. Pada masa ini, para sahabat menerima hadist dari Nabi melalui dua cara: langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung di antaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian, atau penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi. Adapun yang tidak langsung di antaranya mendengar dari sahabat yang lain atau mendengar dari utusan-utusan, baik utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan dari daerah yang datang kepada Nabi. Ciri utama periode ini ialah aktifnya para sahabat dlam menerima hadist dan menyalinnya secara sendiri-sendiri. Di samping itu, sahabat menerima hadist dan menyampaikannya kepada yang lain melalui kekuatan hafalan. Para sahabat yang banyak menerima hadist ialah khulafa rasyidun, Abd Allah bin Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Siti Aisyah, dan Ummu Salamah.
  1. Zaman khulafa rasyidun
Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadist dan penyedikitan riwayat (zaman al-tatsabut wa al-iqlal min al-riwayah). Usaha-usaha para sahabat di dalam membatasi hadist dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran muncul karena suhu politik umat islam secara internal mulai labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya, para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayat kan hadist. Mereka melakukan periwayatan hadist dengan dua cara: lafzi ma’nawai. Periwayatan bi al-lafdz adalah redaksi hadist yang diriwayatkan betul-betul sama dengan disabdakan oleh Nabi. Adapun periwayatan ma’nawi ialah redaksi hadist yang diriwayatkan berbeda dengan yang disabdakan Nabi, tapi substansinya sama.
  1. Periode penyebaran hadist ke berbagai wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi’in besar
Pada masa ini, wilayah islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak, Mesir, Persia, Samarkand, dan Spanyol. Bertambah luasnya wilayah berdampak kepada menyebarnya hadist ke wilayah-wilayah tersebut yang dibawa oleh para sahabat yang pindah ke wilayah-wilayah tadi untuk menjadi pimpinan atau menjadi guru di sana. Di antara tokoh-tokoh hadits pada masa ini ialah Sa’id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi’ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha’I di Kufah, Muhammad bin Sirin di Bashrah, Umar bin Abd al-Aziz di Syam, Yazid bin Habib di Mesir, dan Wahab bin Munabih di Yaman.  
  1. Periode penulisan dan pembukuan hadits secara resmi (‘ashr al-kitabat wa al-tadwin)
Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd al-‘Aziz (717-720 M) sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani Umayah kedelapan yang menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk menulis hadits.
Latar belakang Umar bin Abd al-Aziz menginstruksikan untuk mengkodifikasi hadits adalah bercampurbaurnya hadits sahih dengan hadits palsu, di samping rasa takut dan khawatir lenyapnya hadits-hadits dengan meninggalnya para ulama dalam perang. Pentadwinan terus berlangsung sampai masa Bani Abbas sehingga melahirkan para ulama hadits, seperti Ibnu Juraij di Mekkah, Abi Ishaq dan Imam Malik di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih dan Abd al-Rahman al-Auzi di Suriah.
Di samping lahirnya para ulama hadits, dihasilkan pula sejumlah kitab-kitab hadits karya para ulama. Misalnya, al-Musnad karya Imam Syafi’i, al-Musnaf karya al-Auza’I, dan al-Muwaththa’ karya Imam Malik yang disusun atas perintah khalifah Abu-Ja’far al-Mansur.
Kitab-kitab hadits terbitan periode ini belum terseleksi betul sehingga isinya masih bercampur antara hadits Nabi dan fatwa sahabat di samping juga hadits palsu.
  1. Periode pemurnian, penyehatan dan penyempurnaan (‘ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 Hijriah atau tepatnya saat Dinasti Abbasiah dipegang oleh Khalifah al-Ma’mun sampai al-Mu’tadir
Pada masa ini, para ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan dan pengklasifikasian hadits-hadits. Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya kitab-kitab hadits yang sudah terseleksi, seperti Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad.
Pada periode ini tersusun 6 kitab hadits terkenal yang bisa disebut Kutub al-Sitah, yaitu:

1.    Al-Jami’ al Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H)
2.    Al-Jami’ al Shahih karya Imam Muslim (204-261 H)
3.    Al-Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202-275 H)
4.    Al-Sunan karya al-Tirmidzi (200-279 H)
5.    Al-Sunan karya al-Nasai (215-302 H)
6.    Al-Sunan karya Ibnu Majah (207-273 H)
  1. Masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan (‘ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u)
Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiah ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H / 1258 M.
Gerakan ulama hadits pada periode keenam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan ulama pada periode kelima. Hasil dari gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadits yang berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab Athraf, Kitab Mustadrak dan Kitab Jami’.
Ulama-ulama hadits dan kitab-kitab hadits yang masyhur pada periode ini di antaranya ialah sebagai berikut:
1.    Sulaiman bin Ahmad al-Thabari. Kitab karyanya ialah al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausath, dan al-Mu’jam al-Shagir.
2.    ‘Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquhni. Kitab karyanya ialah Sunan al-Daruquthni.
3.    Abu Awanah Ya’kub al-Safrayani. Kitabnya ialah Shahih Awanah.
4.    Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq yang menulis kitab Shahih Ibnu Khuzaimah.
5.    Abu Bark Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi yang menulis kitab al-Sunan al-Kubra.
6.    Majuddin al-Harrani yang menulis kitab Muntaq al-Akbar.
7.    Al-Syaukani yang menulis kitab Nail al-Authar.
8.    Al-Munziri yang menulis kitab al-Taqrib wa al-Tahrib.
9.    Al-Shiddiqi yang menulis kitab Dalil al-Falihin.
10.  Muhyiddin Abi Zakaria al-Nawawi yang menulis kitab Riyadl al-Shalihin.
  1. Periode persyarahan, penghimpunan dan pentakhrijan (‘ahd al-syarh wa al-jamu’ wa al-takhrij wa al-bahts)
Periode ini merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadits-hadits. Ulama pada periode ini mulai mensistemisasi hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbarui kitab-kitab dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadits sesuai dengan topik pembicaraan.

No comments:

Post a Comment

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers