Sasaran yang menjadi titik
tekan dalam pembahasan ini adalah menurut asal mula pemikiran Islam dan
penyebab munculnya warna-warna yang beragam dalam pemikiran islam klasik pada
masa selanjutnya yang memberikan pengaruh kepada pemikiran islam di masa sekarang.
Sebagaimana yang dikatakan Dr. Muhammad Imarah, bahwa setiap aliran pemikiran
islam kontemporer yang ada sekarang masing-masing mempunyai titik tolak yang
terdapat pada 'lembaran-lembaran turats' (aliran pemikiran islam klasik).
Definisi
Secara etimologi memiliki
arti proses, cara, perbuatan memikir. Ditinjau dari aspek bahasanya pemikiran
tidak jauh ubahnya dengan berpikir. Ia mengandung makna yang abstrak. Tetapi
ketika "pemikiran" memasuki ranah istilah, seperti filsafat misalnya,
ia mengalami perubahan makna. Dalam istilah filsafat, pemikiran
didefinisikan sebagai istilah
yang menunjuk baik pada proses kegiatan mental maupun hasilnya yang
interpretasinya tergantung pada pandangan seseorang berkenaan dengan
metafisika, universalia dan epistemologi. Atau pemikiran juga bisa didefinisikan
sebagai sebuah
kegiatan mental yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip yang dianut untuk
sampai kepada hasil yang dicari. Dari definisi tersebut bisa dilihat
adanya perluasan makna pemikiran. Pemikiran dari segi terminologi mencakup
proses dan hasilnya sekaligus. Dengan demikian istilah pemikiran bukan hanya
sekedar digunakan untuk sebuah kegiatan yang bersifat abstrak tetapi ia juga
bisa digunakan untuk sesuatu yang kongkret.
Ketika sebuah kata
disandarkan kepada kata lain, maka ia akan melahirkan makna baru. Oleh
karena itu ketika kata "pemikiran" digabungkan dengan kata
"islam", maka bisa diartikan sebagai kegiatan mental ataupun hasilnya
yang berdasarkan kepada prinsip-prinsip islam. Karena setiap pemikiran akan
dinamakan sesuai dengan prinsip yang digunakannya. Contohnya seperti pemikiran materialisme,
dinamakan demikian karena prinsip yang digunakan dalam proses berpikirnya
adalah prinsip materialisme, yaitu bahwa materi dianggap sebagai prinsip awal
dan wujud hakiki juga hanya dengan materilah suatu kebenaran bisa ditafsirkan. Maka, pemikiran yang berdasarkan kepada
islam sebagai prinsip dinamakan sebagai pemikiran islam.
Islam memiliki Al-Qur`ân (plus Al-Sunnah)
sebagai sumber ajarannya yang. Dari Al-Qur`ân itulah prinsip-prinsip islam
bersumber, termasuk di antaranya prinsip berpikir. Sehingga Al-Qur`ân, walaupun
ia adalah sebuah kitab suci, wahyu dari langit, dan bukan hasil pemikiran
manusia, ia merupakan asas pertama yang menjadi inspirasi dan pusat perhatian
aliran-aliran dan pemikiran-pemikiran islam, sebagaimana yang dikatakan Dr.
Abdul Halim Mahmud.
Perkataan Dr. Abdul Halim Mahmud
tersebut, mengisyaratkan bahwa Al-Qur`ân selain sebagai prinsip bagi pemikiran
islam sekaligus juga sebagai objek pemikiran islam. Dengan kata lain, pemikiran
islam menjadikan islam sebagai prinsip dan objeknya sekaligus.
Definisi yang diberikan Muhammad
Husain Abdullah terhadap pemikiran islam, yaitu al-hukmu 'ala-l-wâqi' min wijhati
nazhari-l-Islâm (menjawab realitas dari perspektif
islam). Sedangkan Ali Syaikh memberikan definisi pemikiran islam yang lebih
lengkap lagi, yaitu usaha
akal dan hasil berpikir muslim dalam bingkai memberi kontribusi terhadap islam.
Dari dua definisi pemikiran
islam tersebut bisa disimpulkan bahwa pemikiran islam ialah pemikiran yang
berdasarkan kepada prinsip islam dan menjadikan islam sebagai objeknya dalam
menjawab realitas zaman. Dengan mafhûm tersebut maka akan termasuk ke dalamnya mâ-shadaq
yang banyak, mulai dari zaman Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa
Sallam sebagai permulaan lahirnya islam (dan islamisme lainnya
seperti, peradaban islam, pemikiran islam dan lain-lainnya) sampai sekarang.
Pemikiran Islam dan Pertumbuhannya?
Pemikiran islam, ia tidak
tumbuh berangsur-angsur, sebagaimana yang diisyaratkan Dr. Abdul Halim Mahmud,
ia mengatakan:
Sebagian
penulis menggambarkan bahwa pemikiran islam muncul secara gradual dan tumbuh
sedikit demi sedikit seiring dengan berjalannya waktu sehingga tumbuh menjadi
pemikiran yang matang dan mendalam. Dan mereka berusaha—dengan
semena-mena—memposisikan aliran pemikiran islam dengan asas tersebut, yaitu
periode 'anak-anak', 'remaja', dan 'dewasa'.
Kemudian ia menambahkan dan
inilah poin yang harus digarisbawahi:
Sebenarnya
pemikiran islam memulai 'hidupnya'—dengan kekuatan yang dahsyat—dari Al-Qur`ân.
Ia dijadikan sebagai asas, sebagaimana hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam dijadikan juga sebagai penuntun jalan berpikir.
Atau dengan kata lain ketika
pertama kali Al-Qur`ân diturunkan itulah cikal bakal lahirnya pemikiran islam.
Hal itu sangat jelas sekali terlihat dari 5 ayat yang pertama kali diturunkan
berisi tentang perintah 'membaca' kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam. Maka, mulai dari turunnya wahyu pertama itu sampai
kepada wahyu yang terakhir itulah yang menjadi proses pembentukkan pemikiran
islam yang sebenarnya.
Dengan demikian, ketika
pemikiran islam berprinsipkan kepada Al-Qur`ân, dan Al-Qur`ân telah menjadi
sempurna ketika Allah sendiri yang mengumumkannya dengan menurunkan Al-Mâ`idâh
ayat 3, maka segala prinsip yang terkandung di dalamnya pun otomatis
telah sempurna.
Warna-warna Pemikiran Islam Klasik
Faktor-faktor penyebab
lahirnya aliran-aliran dalam islam bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama,
faktor internal umat islam yang termasuk di antaranya:
Fanatisme Arab
Bangsa Arab terkenal dengan
sifat fanatisme golongannya. Tetapi penyakit tersebut berhasil diredupkan
ketika Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa
Sallam diutus. Terbukti dengan bersatunya kaum 'Auz dan Khazraj
dalam satu sebutan Anshâr. Dan sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam, penyakit itu sempat timbul ketika Muhâjirin dan Anshâr
berselisih dalam memilih siapakah yang berhak menjadi khalifah, dari Muhâjirîn
atau Anshâr. Namun penyakit itu bisa diredupkan kembali dengan merujuk kepada
pesan Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa
Sallam, bahwa yang berhak menjadi khalifah setelahnya adalah dari
kalangan Quraisy, maka Anshâr pun menerima pesan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam tersebut. Tetapi pada akhirnya fanatisme tersebut sudah
tidak bisa dibendung lagi sepeninggal Utsman Radhiyallahu
'Anhu. Ditandai dengan perselisihan yang terjadi antara Umawiyyîn
dan Hâsyimiyyîn.
Perebutan kekuasaan
Perebutan kekuasaan ini
bersumber dari 'pertanyaan' "siapakah yang berhak menjadi khalifah
sepeninggal Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa
Sallam". Apakah yang dimaksud dengan pesan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam dari Quraisy tersebut secara keseluruhan atau dari keturunan
Ali saja. Sehingga ketika Ali dikudeta oleh Muamiyyah lahirlah Khawarij,
Syi'ah dan pendukung Muawiyyah.
Tenggelam dalam masalah yang samar
Di dalam permasalahan teologi
ada permasalahan-permasalahan yang sebenarnya hanya Allah lah yang
mengetahuinya secara dzât
(baca: samar). Namun sebagian ulama justru tenggelam dalam membahas
permasalahan tersebut sehingga bermunculanlah aliran-aliran teologi sebagai
ekses dari pembahsana tersebut. Seperti pembahasan mengenai sifat Allah,
hakikat perbuatan manusia dan permasalahan samar lainnya.
Ayat-ayat mutasyâbihât
Adanya ayat-ayat
mutasyâbihât melahirkan perselisihan di antara para ulama. Ada di antaranya yang memperbolehkan untuk
mentakwilkannya, sedangkan sebagian lagi tidak memperbolehkannya. Sehingga
perbedaan pendapat tersebut berubah menjadi madzhab.
Istinbath hukum-hukum syara'
Nash bersifat
terbatas—ketika berakhirnya wahyu—sedangkan kejadian terus menerus terjadi
tanpa batas. Oleh karena itu ada persoalan-persoalan yang tidak terdapat dalam
nash. Dan ini memerlukan ijtihad dalam mengkorelasikan persoalan yang ada
dengan nash yang bersifat kullî.
Dalam usaha mengkorelasikan realitas dengan nash inilah bermunculannya
perbedaan istinbath hukum para ulama fikih, sehingga tumbuh menjadi
madzhab-madzhab fikih yang baku .
Kedua, faktor eksternal yang
termasuk di antaranya:
Pengaruh teologi agama kuno
Semakin luasnya wilayah
kekuasaan khilâfah islâmiyyah waktu itu dibarengi dengan masuk islamnya para
penduduk pribumi wilayah tersebut yang sebelumnya telah memeluk agama
paganisme. Maka ketika mereka telah memeluk islam ternyata ajaran agama
paganisme mereka tidak otomatis hilang begitu saja. Ada di antaranya yang mereka masukkan dan
disinkretisasikan dengan ajaran islam. Sehingga melahirkan aliran baru dalam
islam.
Penerjemahan filsafat
Filsafat adalah salah satu
pengetahuan asing yang ikut diterjemahkan ke dalam bahasa arab ketika gerakan
penerjemahan digalakan di zaman Dinasti 'Abbâsiyyah. Sehingga banyak para ulama
islam yang konsen di bidang yang bisa dianggap baru ini. Dan hal tersebut
menambah aliran baru dalam islam yaitu para filosof islam yang menerjemahkan
islam (baca: teologi) melalui filsafat yang mereka pelajari.
Merebaknya mitos dan isu
Setelah terbunuhnya Khalifah
Utsman Radhiyallahu
'Anhu, merebaklah mitos-mitos yang menyesatkan. Terutama di zaman
Dinasti Umawiyyah, banyak para pendongeng yang menyebarkan mitos-mitos
yang sebenarnya berasal dari agama kuno paganisme. Mitos-mitos yang menyebar
tersebut akhirnya tumbuh menjadi semacam keyakinan sehingga membentuk suatu
aliran baru.
Banyaknya aliran-aliran
islam, bisa dikembalikan ke dalam tiga kategori saja yang mencerminkan
orientasi pemikiran mereka dan penyebab lahirnya aliran tersebut. Ada tiga
kategori aliran islam yaitu aliran politik, aliran teologi, dan aliran fikih.
·
Disebut
aliran politik karena permasalahan yang menyebabkan munculnya aliran mereka
adalah disebabkan perebutan kekuasaan dan perbedaan pendapat tentang
pengangkatan khalifah setelah terbunuhnya Utsman bin Affan Radhiyallahu 'Anhu.
Persengketaan tesebut melahirkan aliran Khawarij, Syi'ah dan cikal bakal Murji`ah. Walaupun persengketaan kekuasaan yang
menyebabkan munculnya mereka ke atas panggung sejarah umat islam, pada akhirnya
kesemua aliran ini terjerembab juga ke dalam permasalahan teologi.
·
Disebut
aliran teologi karena lahirnya aliran-aliran ini disebabkan perdebatan masalah
teologi. Dan permasalahan yang pertama kali diangkat ke permukaan adalah
mengenai pelaku dosa besar, apakah dia kafir atau mukmin? Selain itu juga
diangkat permasalahan mengenai apakah perbuatan manusia itu jabr atau
ikhtiyar?
Maka lahirlah Jabariyah, Qadariyah, Murji`ah (sebagai sebuah aliran yang
mempunyai sistem berpikir yang baku), Mu'tazilah, Asyâ'irah, Maturidiyyah, Salafiyah dan juga termasuk ke dalam kelompok ini
para filosof islam dan masih banyak lagi kelompok lainnya. Sehingga pada
akhirnya secara garis besarnya aliran teologi ini bisa dibagi kepada tiga saja yaitu salafiyah, mutakallimin dan
filosof islam.
·
Dari
namanya saja, aliran fikih, sudah bisa terlihat yang diperdebatkan dan penyebab
lahirnya aliran-aliran ini adalah masâil
fiqhiyyah bahtah. Tanpa terpengaruh oleh masalah perebutan
kekuasaan ataupun teologi. Di antara madzhab-madzhab yang terkenal dan mu'tabar
adalah Madzhab Hanafî, Madzhab Mâlikî, Madzhab Syâfi'î, dan Madzhab Hanbalî.
Warna-warna pemikiran islam
ini pada akhirnya merupakan akar atau afiliasi dari aliran-aliran yang ada
sekarang ini meramaikan dunia islam abad ini.
Ketika arus kolonialisme
melanda dan mengungkung negeri-negeri umat islam, pada saat inilah umat islam
menemui puncak kesengsaraannya, karena hal tersebut kebodohan menjangkiti umat
islam. Dimulai dengan serangan Tatar ke pusat peradaban islam Bagdad
pada tahun 656 H (abad ketiga belas masehi). Mereka benar-benar membuat peradaban
islam menemui ajalnya, buku-buku yang berjumlah ribuan atau mungkin jutaan dari
perpustakaan pusat di Bagdad sebagai hasil
pemikiran islam yang sangat berharga itu mereka buang ke sungai Dajlah. Begitu
banyaknya buku-buku yang menandakan kecemerlangan pemikiran islam saat itu,
sampai-sampai digambarkan bahwa setelah dibuangnya buku-buku tersebut ke sungai
Dajlah yang besar tersebut, kuda-kuda pasukan Tatar bisa menyeberangi sungai
tersebut dengan menjadikan buku-buku tersebut sebagai jembatan.
Selanjutnya, pusat peradaban
islam kedua, Andalus, tanah air filosof islam besar Ibnu Rusydi Al-Syârih
dihancurkan oleh Kerajaan Katolik Spanyol pada tahun 897 H/1492 M. Tidak hanya
itu, pada tahun antara 1018-1023 H/1609-1614 M ribuan umat islam diusir dari
Spanyol secara paksa oleh Pemerintahan Kristen yang berkuasa ketika itu.
Dan puncak kolonialisme
tersebut terjadi di abad kesembilan belas masehi di mana negeri-negeri eropa
seperti Inggris dan Perancis datang menguasai negeri-negeri islam. Pada tahun
1830 Perancis mulai mencengkeramkan kukunya di Aljazair. Selanjutnya Inggris
pada tahun 1841 bekerjasama dengan sultan Turki Utsmani yang berkuasa ketika
itu berhasil memaksa Mesir untuk mengurangi perbatasannya. Pada tahun 1860,
Inggris dan Perancis memulai penjajahannya di Syam. Pada tahun 1868, aliran
Mamâli` Inggris meraih kemenangan di negeri Afganistan. Dan pada abad tersebut
juga arus kolonialisme terus membanjiri dan menghancurkan Iran , Mesir , Tunis ,
Libiya , Sudan dan India .
Malik bin Nabi berusaha
menggambarkan kondisi umat islam ketika zaman kolonialisme barat menghunjamkan
kuku-kukunya di tubuh umat, dengan mengambil contoh apa yang terjadi di
Aljazair pada tahun 1900 (tepatnya dimulai pada tahun 1830). Ia mengatakan,
bahwa Aljazair mempunyai tiga periode yang telah dilaluinya. Pertama,
masa di mana umat islam Aljazair tenggelam dalam tidurnya. Kedua,
periode kebangkitan yang diilhami pemikiran dua orang syaikh; Syaikh Ibnu Muhna
dan Syaikh Abdul Qadir Al-Mujawi. Mereka datang sebagai dua orang pahlawan yang
memerangi khurafat yang telah memenuhi 'akal' umat islam Aljazair. Dan ketiga,
periode penjajahan atau kolonialisme barat.
Ia melanjutkan, bahwa ketika
'kebangkitan' mulai berkembang di Aljazair dengan pemikiran yang dibawa oleh
Syaikh Muhna dan Abdul Qadir Al-Mujawi untuk melepaskan pemikiran umat dari
khurafat, datanglah penjajah Perancis yang ingin menguasai Aljazair. Para kolonial tersebut menyadari bahwa saat itu mereka
sedang berhadapan dengan bangsa yang sedang berusaha membuka matanya (baca:
menggunakan akalnya). Pertama kali mereka mengira bahwa dengan mengasingkan dua
pahlawan tersebut mereka sudah mengahapus benih kebangkitan umat. Mereka
ternyata salah, pemikiran yang diusung oleh kedua Syaikh tersebut ternyata
sudah mengakar pada diri umat ketika itu. Sehingga walaupun kedua pelopor
pemikiran tersebut diasingkan dari umat perlawanan itu masih tetap ada. Di
depan para penjajah itu haya ada dua jalan untuk bisa menguasai Aljazair; cara
kekerasan atau cara yang lunak (baca: tipu daya). Cara yang pertama sudah
ditempuh dan tidak membuahka hasil. Hanya tinggal satu cara yang tersisa. Maka
mereka pun mulai menempuh 'perang pemikiran' (al-shirâ'u-l-fikrî). Ini
adalah perang pemikiran yang sebenarnya, karena kali ini para penjajah akan
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menaklukkan Aljazair melalui pengikisan
kekuatan mental umat dengan segala cara sampai mereka mampu menghilangkan ide
kedua syaikh tersebut di hati umat islam Aljazair. Mereka pun sampai
menggunakan bahasa agama untuk menghapus pemahaman yang benar dari ingatan umat
islam. Dan sebelum Malik bin Nabi menggambarkan
peperangan pemikiran yang terjadi di Aljazair antara kolonialisme dan umat
islam,ia menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Aljazair tersebut hanya contoh
kecil saja dari sekian banyak daerah umat islam yang menjadi korban kerakusan
kolonialisme.
Kolonialisme yang menguasai
umat islam selain memberikan pengaruh yang buruk terhadap pemikiran islam yang
mengakibatkan kemunduran dan tumbuh suburnya taklîd. Di sisi lain
memberikan pengaruh baik bagi pemikiran islam. Bukankah gerakan tajdîd yang
diusung Jamaluddin Al-Afgahani dan Muhammad Abduh muncul ke arena sejarah islam
sebagai raddu-l-fi'li
dari kebodohan dan taklîd umat islam yang disebabkan oleh kolonialisme.
Hal ini bisa terlihat dari perkataan Al-Afghani untuk memberikan semangat dan
harapan kepada umat islam untuk bisa terlepas dari penjajahan, ia berkata:
Fajar
timur hampir menyingsing, ketika kegelapan malapetaka menyelimuti. Namun setiap
kesulitan pasti ada jalan keluarnya. Bangsa timur ini tidak lama lagi akan
segera terbangun dari tidurnya dan merobek segala ketakutan yang mengungkung.
Bangsa ini pun mulai mempersiapkan generasi mereka untuk meraih kemerdekaannya.
Justru ketika merajalelanya
kolonialisme di tanah arab-islam, lahirlah pemikiran islam modern dengan jargonnya yang terkenal tajdîdu-d-dîn.
Yang dimaksud pembaruan di sini adalah mengembalikan umat islam kepada sumber
agamanya yang murni; Al-Qur`ân dan Al-Sunnah, dan bukannya taklîd kepada
madzhab-madzhab yang dianut oleh umat islam dalam menjawab realita.
Sebagai gerakan yang
tumbuh dari respon terhadap stimulus realita umat islam di bawah pengaruh
kolonialisme yang buruk, gerakan ini ingin merubah realita buruk umat islam
ketika itu. Umat islam yang memiliki jihad sebagai salah satu ajarannya untuk
melawan kezhaliman, megapa bisa rela begitu saja dijajah. Oleh kaerna itu
Jamaluddin Al-Afghani ingin kembali menghidupkan jihad melawan kezhaliman yang
kali ini diwakili oleh koloialisme eropa. Menurutnya perang melawan penjajah
bukan sekedar kewajiban negara melainkan kewajiban agama.
Selain itu gerakan ini pun
ingin menyadarkan umat islam agar tidak diam saja diperlakukan semena-mena oleh
pemerintah yang berkuasa. Saat itu umat islam diam saja karena para penguasa
telah berhasil menanaman keyakinan theokrasi bahwa sultan sebagai penguasa
merupakan anugrah dan pilihan Tuhan untuk manusia, oleh karena itu harus
ditaati. Keyakinan inilah yang ingin diperangi oleh gerakan pembaruan ini. Dan
Muhammad Abduh yang paling vokal dalam menentang masalah ini. Ia mengatakan,
bahwa keyakinan seperti itu bukanlah dari islam melainkan keyakinan katolik
pada zaman kegelapan dahulu. Islam tidaklah seperti itu. Islam menjadikan iman
kepada Allah sebagai penghormatan bagi setiap insan untuk tidak menjadi budak
para penguasa yang mengatasnamakan agama atau dunia.
Dan pemikiran tajdîd
yang mereka usung akhirnya mengakar di jiwa umat sehingga zaman itu dianggap
sebagai era dimulainya kebangkitan islam.
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^