Wednesday, 8 February 2012

Aliran Pemikiran Islam


Sasaran yang menjadi titik tekan dalam pembahasan ini adalah menurut asal mula pemikiran Islam dan penyebab munculnya warna-warna yang beragam dalam pemikiran islam klasik pada masa selanjutnya yang memberikan pengaruh kepada pemikiran islam di masa sekarang. Sebagaimana yang dikatakan Dr. Muhammad Imarah, bahwa setiap aliran pemikiran islam kontemporer yang ada sekarang masing-masing mempunyai titik tolak yang terdapat pada 'lembaran-lembaran turats' (aliran pemikiran islam klasik).
Definisi
Secara etimologi memiliki arti proses, cara, perbuatan memikir. Ditinjau dari aspek bahasanya pemikiran tidak jauh ubahnya dengan berpikir. Ia mengandung makna yang abstrak. Tetapi ketika "pemikiran" memasuki ranah istilah, seperti filsafat misalnya, ia mengalami perubahan makna. Dalam istilah filsafat, pemikiran  didefinisikan sebagai istilah yang menunjuk baik pada proses kegiatan mental maupun hasilnya yang interpretasinya tergantung pada pandangan seseorang berkenaan dengan metafisika, universalia dan epistemologi. Atau pemikiran juga bisa didefinisikan sebagai sebuah kegiatan mental yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip yang dianut untuk sampai kepada hasil yang dicari. Dari definisi tersebut bisa dilihat adanya perluasan makna pemikiran. Pemikiran dari segi terminologi mencakup proses dan hasilnya sekaligus. Dengan demikian istilah pemikiran bukan hanya sekedar digunakan untuk sebuah kegiatan yang bersifat abstrak tetapi ia juga bisa digunakan untuk sesuatu yang kongkret.
Ketika sebuah kata disandarkan kepada kata lain, maka ia akan melahirkan makna baru.  Oleh karena itu ketika kata "pemikiran" digabungkan dengan kata "islam", maka bisa diartikan sebagai kegiatan mental ataupun hasilnya yang berdasarkan kepada prinsip-prinsip islam. Karena setiap pemikiran akan dinamakan sesuai dengan prinsip yang digunakannya. Contohnya seperti pemikiran materialisme, dinamakan demikian karena prinsip yang digunakan dalam proses berpikirnya adalah prinsip materialisme, yaitu bahwa materi dianggap sebagai prinsip awal dan wujud hakiki juga hanya dengan materilah suatu kebenaran bisa ditafsirkan. Maka, pemikiran yang berdasarkan kepada islam sebagai prinsip dinamakan sebagai pemikiran islam.
Islam memiliki Al-Qur`ân (plus Al-Sunnah) sebagai sumber ajarannya yang. Dari Al-Qur`ân itulah prinsip-prinsip islam bersumber, termasuk di antaranya prinsip berpikir. Sehingga Al-Qur`ân, walaupun ia adalah sebuah kitab suci, wahyu dari langit, dan bukan hasil pemikiran manusia, ia merupakan asas pertama yang menjadi inspirasi dan pusat perhatian aliran-aliran dan pemikiran-pemikiran islam, sebagaimana yang dikatakan Dr. Abdul Halim Mahmud.
Perkataan Dr. Abdul Halim Mahmud tersebut, mengisyaratkan bahwa Al-Qur`ân selain sebagai prinsip bagi pemikiran islam sekaligus juga sebagai objek pemikiran islam. Dengan kata lain, pemikiran islam menjadikan islam sebagai prinsip dan objeknya sekaligus.
Definisi yang diberikan Muhammad Husain Abdullah terhadap pemikiran islam, yaitu al-hukmu 'ala-l-wâqi' min wijhati nazhari-l-Islâm (menjawab realitas dari perspektif islam). Sedangkan Ali Syaikh memberikan definisi pemikiran islam yang lebih lengkap lagi, yaitu usaha akal dan hasil berpikir muslim dalam bingkai memberi kontribusi terhadap islam.
Dari dua definisi pemikiran islam tersebut bisa disimpulkan bahwa pemikiran islam ialah pemikiran yang berdasarkan kepada prinsip islam dan menjadikan islam sebagai objeknya dalam menjawab realitas zaman. Dengan mafhûm tersebut maka akan termasuk ke dalamnya mâ-shadaq yang banyak, mulai dari zaman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sebagai permulaan lahirnya islam (dan islamisme lainnya seperti, peradaban islam, pemikiran islam dan lain-lainnya) sampai sekarang.


Pemikiran Islam dan Pertumbuhannya?
Pemikiran islam, ia tidak tumbuh berangsur-angsur, sebagaimana yang diisyaratkan Dr. Abdul Halim Mahmud, ia mengatakan:
Sebagian penulis menggambarkan bahwa pemikiran islam muncul secara gradual dan tumbuh sedikit demi sedikit seiring dengan berjalannya waktu sehingga tumbuh menjadi pemikiran yang matang dan mendalam. Dan mereka berusaha—dengan semena-mena—memposisikan aliran pemikiran islam dengan asas tersebut, yaitu periode 'anak-anak', 'remaja', dan 'dewasa'.
Kemudian ia menambahkan dan inilah poin yang harus digarisbawahi:
Sebenarnya pemikiran islam memulai 'hidupnya'—dengan kekuatan yang dahsyat—dari Al-Qur`ân. Ia dijadikan sebagai asas, sebagaimana hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dijadikan juga sebagai penuntun jalan berpikir.
Atau dengan kata lain ketika pertama kali Al-Qur`ân diturunkan itulah cikal bakal lahirnya pemikiran islam. Hal itu sangat jelas sekali terlihat dari 5 ayat yang pertama kali diturunkan berisi tentang perintah 'membaca' kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Maka, mulai dari turunnya wahyu pertama itu sampai kepada wahyu yang terakhir itulah yang menjadi proses pembentukkan pemikiran islam yang sebenarnya.
Dengan demikian, ketika pemikiran islam berprinsipkan kepada Al-Qur`ân, dan Al-Qur`ân telah menjadi sempurna ketika Allah sendiri yang mengumumkannya dengan menurunkan Al-Mâ`idâh ayat 3,  maka segala prinsip yang terkandung di dalamnya pun otomatis telah sempurna.
Warna-warna Pemikiran Islam Klasik
Faktor-faktor penyebab lahirnya aliran-aliran dalam islam bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama, faktor internal umat islam yang termasuk di antaranya:
         Fanatisme Arab
Bangsa Arab terkenal dengan sifat fanatisme golongannya. Tetapi penyakit tersebut berhasil diredupkan ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam diutus. Terbukti dengan bersatunya kaum 'Auz dan Khazraj dalam satu sebutan Anshâr. Dan sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, penyakit itu sempat timbul ketika Muhâjirin dan Anshâr berselisih dalam memilih siapakah yang berhak menjadi khalifah, dari Muhâjirîn atau Anshâr. Namun penyakit itu bisa diredupkan kembali dengan merujuk kepada pesan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, bahwa yang berhak menjadi khalifah setelahnya adalah dari kalangan Quraisy, maka Anshâr pun menerima pesan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tersebut. Tetapi pada akhirnya fanatisme tersebut sudah tidak bisa dibendung lagi sepeninggal Utsman Radhiyallahu 'Anhu. Ditandai dengan perselisihan yang terjadi antara Umawiyyîn dan Hâsyimiyyîn.
         Perebutan kekuasaan
Perebutan kekuasaan ini bersumber dari 'pertanyaan' "siapakah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam". Apakah yang dimaksud dengan pesan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dari Quraisy tersebut secara keseluruhan atau dari keturunan Ali saja.  Sehingga ketika Ali dikudeta oleh Muamiyyah lahirlah Khawarij, Syi'ah dan pendukung Muawiyyah.
         Tenggelam dalam masalah yang samar
Di dalam permasalahan teologi ada permasalahan-permasalahan yang sebenarnya hanya Allah lah yang mengetahuinya secara dzât (baca: samar). Namun sebagian ulama justru tenggelam dalam membahas permasalahan tersebut sehingga bermunculanlah aliran-aliran teologi sebagai ekses dari pembahsana tersebut. Seperti pembahasan mengenai sifat Allah, hakikat perbuatan manusia dan permasalahan samar lainnya.
         Ayat-ayat mutasyâbihât
Adanya ayat-ayat mutasyâbihât melahirkan perselisihan di antara para ulama. Ada di antaranya yang memperbolehkan untuk mentakwilkannya, sedangkan sebagian lagi tidak memperbolehkannya. Sehingga perbedaan pendapat tersebut berubah menjadi madzhab.
         Istinbath hukum-hukum syara'
Nash bersifat terbatas—ketika berakhirnya wahyu—sedangkan kejadian terus menerus terjadi tanpa batas. Oleh karena itu ada persoalan-persoalan yang tidak terdapat dalam nash. Dan ini memerlukan ijtihad dalam mengkorelasikan persoalan yang ada dengan nash yang bersifat kullî. Dalam usaha mengkorelasikan realitas dengan nash inilah bermunculannya perbedaan istinbath hukum para ulama fikih, sehingga tumbuh menjadi madzhab-madzhab fikih yang baku.
Kedua, faktor eksternal yang termasuk di antaranya:
         Pengaruh teologi agama kuno
Semakin luasnya wilayah kekuasaan khilâfah islâmiyyah waktu itu dibarengi dengan masuk islamnya para penduduk pribumi wilayah tersebut yang sebelumnya telah memeluk agama paganisme. Maka ketika mereka telah memeluk islam ternyata ajaran agama paganisme mereka tidak otomatis hilang begitu saja. Ada di antaranya yang mereka masukkan dan disinkretisasikan dengan ajaran islam. Sehingga melahirkan aliran baru dalam islam.
         Penerjemahan filsafat
Filsafat adalah salah satu pengetahuan asing yang ikut diterjemahkan ke dalam bahasa arab ketika gerakan penerjemahan digalakan di zaman Dinasti 'Abbâsiyyah. Sehingga banyak para ulama islam yang konsen di bidang yang bisa dianggap baru ini. Dan hal tersebut menambah aliran baru dalam islam yaitu para filosof islam yang menerjemahkan islam (baca: teologi) melalui filsafat yang mereka pelajari.
         Merebaknya mitos dan isu
Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Radhiyallahu 'Anhu, merebaklah mitos-mitos yang menyesatkan. Terutama di zaman Dinasti Umawiyyah, banyak para pendongeng  yang menyebarkan mitos-mitos yang sebenarnya berasal dari agama kuno paganisme. Mitos-mitos yang menyebar tersebut akhirnya tumbuh menjadi semacam keyakinan sehingga membentuk suatu aliran baru.
Banyaknya aliran-aliran islam, bisa dikembalikan ke dalam tiga kategori saja yang mencerminkan orientasi pemikiran mereka dan penyebab lahirnya aliran tersebut. Ada tiga kategori aliran islam yaitu aliran politik, aliran teologi, dan aliran fikih.
·         Disebut aliran politik karena permasalahan yang menyebabkan munculnya aliran mereka adalah disebabkan perebutan kekuasaan dan perbedaan pendapat tentang pengangkatan khalifah setelah terbunuhnya Utsman bin Affan Radhiyallahu 'Anhu. Persengketaan tesebut melahirkan aliran Khawarij, Syi'ah dan cikal bakal Murji`ah. Walaupun persengketaan kekuasaan yang menyebabkan munculnya mereka ke atas panggung sejarah umat islam, pada akhirnya kesemua aliran ini terjerembab juga ke dalam permasalahan teologi.
·         Disebut aliran teologi karena lahirnya aliran-aliran ini disebabkan perdebatan masalah teologi. Dan permasalahan yang pertama kali diangkat ke permukaan adalah mengenai pelaku dosa besar, apakah dia kafir atau mukmin? Selain itu juga diangkat permasalahan mengenai apakah perbuatan manusia itu jabr atau ikhtiyar? Maka lahirlah Jabariyah, Qadariyah, Murji`ah (sebagai sebuah aliran yang mempunyai sistem berpikir yang baku), Mu'tazilah, Asyâ'irah, Maturidiyyah, Salafiyah dan juga termasuk ke dalam kelompok ini para filosof islam dan masih banyak lagi kelompok lainnya. Sehingga pada akhirnya secara garis besarnya aliran teologi ini bisa dibagi kepada tiga saja yaitu salafiyah, mutakallimin dan filosof islam.
·         Dari namanya saja, aliran fikih, sudah bisa terlihat yang diperdebatkan dan penyebab lahirnya aliran-aliran ini adalah masâil fiqhiyyah bahtah. Tanpa terpengaruh oleh masalah perebutan kekuasaan ataupun teologi. Di antara madzhab-madzhab yang terkenal dan mu'tabar adalah Madzhab Hanafî, Madzhab Mâlikî, Madzhab Syâfi'î, dan Madzhab Hanbalî.
Warna-warna pemikiran islam ini pada akhirnya merupakan akar atau afiliasi dari aliran-aliran yang ada sekarang ini meramaikan dunia islam abad ini.
Kolonialisme dan Pemikiran Islam
Ketika arus kolonialisme melanda dan mengungkung negeri-negeri umat islam, pada saat inilah umat islam menemui puncak kesengsaraannya, karena hal tersebut kebodohan menjangkiti umat islam. Dimulai dengan serangan Tatar ke pusat peradaban islam Bagdad pada tahun 656 H (abad ketiga belas masehi). Mereka benar-benar membuat peradaban islam menemui ajalnya, buku-buku yang berjumlah ribuan atau mungkin jutaan dari perpustakaan pusat di Bagdad sebagai hasil pemikiran islam yang sangat berharga itu mereka buang ke sungai Dajlah. Begitu banyaknya buku-buku yang menandakan kecemerlangan pemikiran islam saat itu, sampai-sampai digambarkan bahwa setelah dibuangnya buku-buku tersebut ke sungai Dajlah yang besar tersebut, kuda-kuda pasukan Tatar bisa menyeberangi sungai tersebut dengan menjadikan buku-buku tersebut sebagai jembatan.
Selanjutnya, pusat peradaban islam kedua, Andalus, tanah air filosof islam besar Ibnu Rusydi Al-Syârih dihancurkan oleh Kerajaan Katolik Spanyol pada tahun 897 H/1492 M. Tidak hanya itu, pada tahun antara 1018-1023 H/1609-1614 M ribuan umat islam diusir dari Spanyol secara paksa oleh Pemerintahan Kristen yang berkuasa ketika itu.
Dan puncak kolonialisme tersebut terjadi di abad kesembilan belas masehi di mana negeri-negeri eropa seperti Inggris dan Perancis datang menguasai negeri-negeri islam. Pada tahun 1830 Perancis mulai mencengkeramkan kukunya di Aljazair. Selanjutnya Inggris pada tahun 1841 bekerjasama dengan sultan Turki Utsmani yang berkuasa ketika itu berhasil memaksa Mesir untuk mengurangi perbatasannya. Pada tahun 1860, Inggris dan Perancis memulai penjajahannya di Syam. Pada tahun 1868, aliran Mamâli` Inggris meraih kemenangan di negeri Afganistan. Dan pada abad tersebut juga arus kolonialisme terus membanjiri dan menghancurkan Iran, Mesir, Tunis, Libiya, Sudan dan India.
Malik bin Nabi berusaha menggambarkan kondisi umat islam ketika zaman kolonialisme barat menghunjamkan kuku-kukunya di tubuh umat, dengan mengambil contoh apa yang terjadi di Aljazair pada tahun 1900 (tepatnya dimulai pada tahun 1830). Ia mengatakan, bahwa Aljazair mempunyai tiga periode yang telah dilaluinya. Pertama, masa di mana umat islam Aljazair tenggelam dalam tidurnya. Kedua, periode kebangkitan yang diilhami pemikiran dua orang syaikh; Syaikh Ibnu Muhna dan Syaikh Abdul Qadir Al-Mujawi. Mereka datang sebagai dua orang pahlawan yang memerangi khurafat yang telah memenuhi 'akal' umat islam Aljazair. Dan ketiga, periode penjajahan atau kolonialisme barat.
Ia melanjutkan, bahwa ketika 'kebangkitan' mulai berkembang di Aljazair dengan pemikiran yang dibawa oleh Syaikh Muhna dan Abdul Qadir Al-Mujawi untuk melepaskan pemikiran umat dari khurafat, datanglah penjajah Perancis yang ingin menguasai Aljazair. Para kolonial tersebut menyadari bahwa saat itu mereka sedang berhadapan dengan bangsa yang sedang berusaha membuka matanya (baca: menggunakan akalnya). Pertama kali mereka mengira bahwa dengan mengasingkan dua pahlawan tersebut mereka sudah mengahapus benih kebangkitan umat. Mereka ternyata salah, pemikiran yang diusung oleh kedua Syaikh tersebut ternyata sudah mengakar pada diri umat ketika itu. Sehingga walaupun kedua pelopor pemikiran tersebut diasingkan dari umat perlawanan itu masih tetap ada. Di depan para penjajah itu haya ada dua jalan untuk bisa menguasai Aljazair; cara kekerasan atau cara yang lunak (baca: tipu daya). Cara yang pertama sudah ditempuh dan tidak membuahka hasil. Hanya tinggal satu cara yang tersisa. Maka mereka pun mulai menempuh 'perang pemikiran' (al-shirâ'u-l-fikrî). Ini adalah perang pemikiran yang sebenarnya, karena kali ini para penjajah akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menaklukkan Aljazair melalui pengikisan kekuatan mental umat dengan segala cara sampai mereka mampu menghilangkan ide kedua syaikh tersebut di hati umat islam Aljazair. Mereka pun sampai menggunakan bahasa agama untuk menghapus pemahaman yang benar dari ingatan umat islam. Dan sebelum Malik bin Nabi menggambarkan peperangan pemikiran yang terjadi di Aljazair antara kolonialisme dan umat islam,ia menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Aljazair tersebut hanya contoh kecil saja dari sekian banyak daerah umat islam yang menjadi korban kerakusan kolonialisme.
Kolonialisme yang menguasai umat islam selain memberikan pengaruh yang buruk terhadap pemikiran islam yang mengakibatkan kemunduran dan tumbuh suburnya taklîd. Di sisi lain  memberikan pengaruh baik bagi pemikiran islam. Bukankah gerakan tajdîd yang diusung Jamaluddin Al-Afgahani dan Muhammad Abduh muncul ke arena sejarah islam sebagai raddu-l-fi'li dari kebodohan dan taklîd umat islam yang disebabkan oleh kolonialisme.  Hal ini bisa terlihat dari perkataan Al-Afghani untuk memberikan semangat dan harapan kepada umat islam untuk bisa terlepas dari penjajahan, ia berkata:
Fajar timur hampir menyingsing, ketika kegelapan malapetaka menyelimuti. Namun setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya. Bangsa timur ini tidak lama lagi akan segera terbangun dari tidurnya dan merobek segala ketakutan yang mengungkung. Bangsa ini pun mulai mempersiapkan generasi mereka untuk meraih kemerdekaannya.
Justru ketika merajalelanya kolonialisme di tanah arab-islam, lahirlah pemikiran islam modern dengan jargonnya yang terkenal tajdîdu-d-dîn. Yang dimaksud pembaruan di sini adalah mengembalikan umat islam kepada sumber agamanya yang murni; Al-Qur`ân dan Al-Sunnah, dan bukannya taklîd kepada madzhab-madzhab yang dianut oleh umat islam dalam menjawab realita.
 Sebagai gerakan yang tumbuh dari respon terhadap stimulus realita umat islam di bawah pengaruh kolonialisme yang buruk, gerakan ini ingin merubah realita buruk umat islam ketika itu. Umat islam yang memiliki jihad sebagai salah satu ajarannya untuk melawan kezhaliman, megapa bisa rela begitu saja dijajah. Oleh kaerna itu Jamaluddin Al-Afghani ingin kembali menghidupkan jihad melawan kezhaliman yang kali ini diwakili oleh koloialisme eropa. Menurutnya perang melawan penjajah bukan sekedar kewajiban negara melainkan kewajiban agama.
Selain itu gerakan ini pun ingin menyadarkan umat islam agar tidak diam saja diperlakukan semena-mena oleh pemerintah yang berkuasa. Saat itu umat islam diam saja karena para penguasa telah berhasil menanaman keyakinan theokrasi bahwa sultan sebagai penguasa merupakan anugrah dan pilihan Tuhan untuk manusia, oleh karena itu harus ditaati. Keyakinan inilah yang ingin diperangi oleh gerakan pembaruan ini. Dan Muhammad Abduh yang paling vokal dalam menentang masalah ini. Ia mengatakan, bahwa keyakinan seperti itu bukanlah dari islam melainkan keyakinan katolik pada zaman kegelapan dahulu. Islam tidaklah seperti itu. Islam menjadikan iman kepada Allah sebagai penghormatan bagi setiap insan untuk tidak menjadi budak para penguasa yang mengatasnamakan agama atau dunia.
Dan pemikiran tajdîd yang mereka usung akhirnya mengakar di jiwa umat sehingga zaman itu dianggap sebagai era dimulainya kebangkitan islam.


No comments:

Post a Comment

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers