Tuesday 7 February 2012

Etika Bisnis Rasulullah


KAJIAN SEJARAH :
ETIKA BISNIS DALAM PRAKTEK MAL BISNIS MUHAMMAD

Selama ini banyak orang yang memahami bisnis sebagai suatu usaha yang tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini telah mendarah daging sesuai dengan hukum ekonomi klasik yang dianut selama ini. Adapun hukum ekonomi klasik tersebut menyatakan bahwa kita harus mengendalikan modal sekecil mungkin untuk mendapatkan hasil yang besar. Hukum ini telah menjadikan para pelaku bisnis menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan mulai dari cara memperoleh bahan baku, bahan lain yang digunakan, tempat produksi, tenaga kerja, pengelolaannya, dan pemasaran, dilakukan dengan seefektif dan seefisien mungkin tanpa mempedulikan halal dan haram. Hal ini tidak mengherankan jika para pelaku bisnis jarang memperhatikan tanggung jawab sosial dan mengabaikan etika bisnis.
Etika bisnis dalam studi Islam selama ini kajiannya lebih didasarkan pada Al Quran. Rasulullah Muhammad SAW dalam tinjauan sejarah, merupakan pelaku bisnis yang sukses sehingga kajian tentang etika bisnis perlu melihat perilaku Rasulullah semasa hidupnya.

Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan dalam hal ini adalah faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi Muhammad menjadi pelaku bisnis dan bagaimanakah etika bisnis Muhammad dalam praktek mal bisnisnya tersebut. Berkaitan dengan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi Muhammad menjadi pelaku bisnis dan untuk mengetahui pula mengenai etika bisnis Muhammad dalam praktek mal bisnisnya. Diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan kajian mengenai Ekonomi Islam.

Sebelum mempelajari mengenai etika bisnis dalam praktek mal bisnis Muhammad, berikut beberapa faktor yang mendorong Muhammad untuk menjadi seorang pebisnis :
1.      Faktor Geografis Arab
Sejarawan muslim membagi penduduk Arab menjadi 3 kelompok yaitu al arab al badi’ah (arab kuno), arab al arabiyah (arab pribumi), dan arab al mustaribah (arab pendatang). Dari segi tempat mereka dibagi menjadi 2 kelompok yaitu alh al hadlarah (penduduk kota) dan ahl al badiyah (penduduk gurun pasir). Kondisi geografis yang berbeda-beda ini berpengaruh pada perbedaan pranata, tata cara kehidupan, profesi mencari nafkah, dan peradaban. Karena faktor geografis, perekonomian yang dijalankan oleh bangsa Arab sebelum Islam amat sederhana dan terbatas. Mayoritas aktifitas penduduk adalah menggembala dan beternak binatang. Aktifitas ekonomi bangsa arab meliputi 3 bidang yaitu perdagangan, pertanian, dan industri.
Muhammad pada waktu kecil menjadi penggembala binatang dengan penghasilan yang tidak banyak. Namun Muhammad sadar bahwa menggembala bukan profesinya. Pengalaman menggembala diperoleh saat dia bersama dengan anak- anak Halimah namun saat dia berusia 4 tahun ia dikembalikan pada Aminah. Adapun orangtuanya dan pamannya adalah seorang pedagang. Ia dibesarkan dalam wilayah perdagangan. Kesempatan unuk menjadi pedagang muncul ketika ia diasuh pamannya. Muhammad sering berkunjung dan berjualan di pusat-pusat keramaian. Keinginan turut serta dalam rombongan khafilah berdagang selalu ditolak pamannya dengan alasan keselamatan Muhammad. Setelah Abu Tholib merasa bahwa keinginan Muhammad untuk turut berdagang semakin kuat, pamannya mengijinkannya. Saat itulah Muhammad dapat menyaksikan bagaimana menempuh perjalanan jauh dan transaksi ekonomi dilakukan. Dengan demikian maka pembacaan Muhammad terhadap kondisi geografis Mekkah menjadi motivator bagi dirinya untuk menekuni bisnis yaitu dengan berdagang.

2.      Faktor Ekonomi
Untuk mendeskripsikan faktor ekonomi menjadi pendorong Muhammad menjadi seorang pebisnis, berikut beberapa orang yang memelihara Muhammad sejak dia dilahirkan:
·            Muhammad diasuh oleh Halimah
Halimah adalah keluarga miskin.ia hanya memiliki beberapa kambing sebagai sumber kehidupannya. Kehadiran Muhammad dalam keluargannya menambah beban kebutuhan hidupnya sekaligus membawa berkah. Kambing yang dirawatnya semakin bertambah dan susunya melimpah, Tanaman Halimah menjadi subur dan memperoleh keuntungan berlipat. Muhammad diasuh sebanyak 2 kali oleh Halimah.
·            Muhammad di pangkuan ibunya
Setelah Muhammad diasuh selama 4 tahun ia dikembalikan pada Halimah. Selama bersama ibunya, Muhammad membantu tetangganya dengan menggembalakan kambing. Walaupun upahnya kecil ia merasa senang dan hasil jerih payahnya dberikan pada ibunya untuk menambah biaya hidup.
·            Muhammad diasuh oleh Abdul Mutholib
Saat usia 6 tahun Ia tinggal bersama kakeknya, kehidupnnya lebih baik dibandingkan bersama ibunya. Kakeknya adalah orang yang kaya raya dan mempunyai pengaruh yang besar terdap suku Quraisy. Walaupun ia hidup di kalangan orang kaya namun ia tetap menggembala. Pekerjan menggembala merupakan pekerjaan yang mulia. Hal ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad setelah Ia diangkat menjadi Rasul, ia berkata :
“Nabi Musa diutus dan dia adalah seorang penggembala kambing dan Nabi Daud diutus dan dia seorang penggembala kambing dan aku diutus dan aku juga penggembala kambing keluargaku di kampung Jiyad”.

“Abu Hurairah r.a. (meriwayatkan dari Nabi Muhammad saw berkata; Allah tidak mengutus seorang nabi melainkan dia pernah menggembala kambing. Sahabat Nabi berkata : Engkau (juga sebagai penggembala kambing). Nabi Muhammad menjawab : ya aku pernah menjadi penggembala kambing milik orang Makkah.”

·            Muhammad diasuh oleh pamannya
Pemeliharaan Muhamad kepada abu Thalib berdasarkan wasiat Abdul Muthalib dengan pertimbangan Abu Thalib adalah orang yang disegani karena mempunyai akhlak. Kemanapun Abu Thalib pergi Nabi Muhammad selalu ikut.

3.      Faktor Keluarga
Jika dirunut dari kakeknya, Muhammad berasal dari keluarga yang kaya raya. Disamping dikenal sebagai orang yang kaya raya, ia juga memiliki jabatan tinggi sebagai pembesar kaum Qurays. Meskipun leluhurnya adalah orang kaya, Muhammad tidak merasa bangga atas kekayaannya. Ia hanya merasa aman jika bersama kakeknya karena ia dikenal sebagai orang yang berpengaruh.
Ketika kakeknya meninggal, ia diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Selama dalam perawatan dan asuhan Abu Thalib, Muhammad memiliki banyak pengalaman khususnya yang mendorong dirinya untuk menjadi pedagang (pebisnis).
Abu Thalib merupakan salah satu keluarga yang selalu mendorong Muhammad untuk menjadi pebisnis. Ketika Abu Thalib sudah tua, ia memanggil Muhammad dan berkata : “Hai anak saudaraku, sebagaimana telah kamu ketahui bahwa pamanmu ini sudah tidak punya kekayaan lagi, padahal keadaan sudah sangat mendesak, maka alangkah baiknya jika kamu mulai berniaga dan sedikit demi sedikit hasilnya dapat kamu pergunakan untuk kepentinganmu sehari-hari.” Muhammad mengikuti nasehat pamannya, dan profesi pebisnis ini yang kemudian ia tekuni hingga ia menjadi seorang nabi.

4.      Faktor Beristri Khodijah
Pernikahan Muhammad dilaksanakan ketika ia berusia 25 tahun dan Khodijah berusia 40 tahun. Khodijah merupakan wanita yang berasal dari kalangan bangsawan. Ia sebagai pengusaha yang memiliki kemampuan manajerial baik. Ia mempercayakan barang dagangannya kepada anak buahnya. Keberhasilan bisnisnya dibantu oleh beberapa orang karyawan dengan kerja kerasnya dan berkat bantuan orang tuanya.
Pada waktu menikah, Muhammad belum berhasil menjadi pebisnis. Hasil kerjanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Ia belum mempunyai harta, apalagi untuk menikah. Sewaktu Muhammad masih menjadi anak bah Khodijah, ia dikenal sebagai pekerja keras, ulet, dan jujur. Dengan demikian maka Muhammad harus berjuang keras untuk menjalankan kekayaan yang dimiliki istrinya. Manajemen pengelolaan harta ia lakukan dengan professional. Ia belajar dari istrinya dan lingkungannya. Ini merupakan factor kuat yang mendorong Muhammad menjadi pebisnis karena tidak mungkin kekayaan yang dimiliki istrinya tidak terurus. Disamping itu ia harus memperhatikan kesejahteraan karyawan yang dimilikinya.

Demikian faktor-faktor yang mempengaruhi Muhammad untuk menjadi seorang pebisnis. Selanjutnya kita akan membahas mengenai etika bisnis dalam praktek mal bisnis Muhammad.
Salah satu sumber rujukan etika dalam bisnis adalah etika yang bersumber dari tokoh teladan agung manusia di dunia, yaitu Rasulullah SAW. Beliau telah memiliki banyak panduan etika untuk praktek bisnis kita, yaitu :
1.      Kejujuran
Kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: "Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya," (H.R. Al-Quzwani). "Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami," (H.R. Muslim).
Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.

2.      Menolong atau member manfaat kepada orang lain
Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.

3.      Tidak boleh menipu, takaran, ukuran dan timbangan yang benar
Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: "Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi". (QS 83: 112).



4.      Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain," (H.R. Muttafaq ‘alaih).

5.      Tidak menimbun barang
Ihtikar ialah menimbun barang (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.

6.      Tidak melakukan monopoli
Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral.
Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.

7.      Komoditas barang yang dijual adalah barang yang suci dan halal
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan patung-patung," (H.R. Jabir).

8.      Bisnis yang dijalankan bersih dari unsur riba
Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman," (QS. al-Baqarah:: 278).  Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.

9.      Bisnis dilakukan dengan sukarela tanpa paksaan
Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu," (QS. 4: 29).

10.   Membayar upah karyawan dengan segera sebelum keringat mereka kering
Nabi Muhammad Saw bersabda, "Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya." Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.

Adapun hikmah yang dapat diambil dari uraian di atas adalah mengenai suatu pelajaran bahwa dalam etika bisnis seseorang harus mencontoh ketauladanan Nabi Muhammad saw bahwa seorang muslim harus mempunyai tauhid yaitu menyerahkan segalanya kepada Allah swt. Karena semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah dan harus mematuhi semua aturan yang telah ditentukan olehnya. Seorang muslim harus adil dalam segala hal termasuk dalam bidang ekonomi, kebebasan berkehendak bagi seorang muslim yaitu melakukan apa saja dalam melakukan aktivitas ekonomi selama tidak melanggar yang telah ditentukan oleh Allah saw. Termasuk harus menjaga kehalalan barang atau jasa dalam aktivitas bisnis. Seorang muslim harus tanggungjawab yaitu bertanggungjawab dalam segala hal termasuk dalam bidang ekonomi/bisnis. Begitu juga bertanggung jawab atas kebebasan dalam bisnis.
Namun pada kenyataannya, bisnis di dunia ini masih di dominasi oleh aliran klasik dimana keuntungan merupakan prioritas utama. Oleh karena itu, berdasarkan uraian mengenai etika bisnis dalam praktek mal bisnis Muhammad ini, adapun solusi yang dapat kami berikan adalah dengan mengembalikannya pada etika-etika pebisnis muslim yang harus dibangun dari setiap pribadi seorang pebisnis. Adapun etika pebisnis muslim tersebut adalah :
1.      Niat yang ikhlas
Keikhlasan adalah perkara yang amat menentukan. Dengan niat yang ikhlas, semua bentuk pekerjaan yang berbentuk kebiasaan bisa bernilai ibadah. Dengan kata lain, aktivitas usaha yang kita lakukan bukan semata-mata urusan harta dan perut tapi berkaitan erat dengan urusan akhirat.
Allah telah menegaskan bahwa hakekat tujuan manusia diciptakan di muka bumi adalah untuk beribadah kepadaNya “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepaKu”(QS Adz Dzariyat ayat 56), maka tentunya semua aktivitas kita di dunia tidak lepas dari tujuan itu pula. Rasulullah bersabda “Sesungguhnya amalan itu dengan niatnya ….”(Shahih Targhib wa Tarhib No.10).
Contoh niat yang ikhlas dalam usaha bisa berlaku dalam lingkup pribadi maupun sosial. Dalam lingkup pribadi misalnya meniatkan usaha yang halal untuk menjaga diri dari memakan harta dengan cara haram, memelihara diri dari sikap meminta-minta, untuk mendukung kesempurnaan ibadah kepada Allah, menjaga silaturrahim dan hubungan kerabat dan motivasi positif lainya.
Dalam lingkup sosial, misalnya meniatkan diri mencari harta untuk ikut andil dalam memenuhi kebutuhan masyarakat muslim, memberi kesempatan bekerja yang halal bagi orang lain, membebaskan ummat dari ketergantungan terhadap produk “orang lain”, dan motif sosial lainnya.
Niat (seperti diaktakan sebagian orang) adalah bisnisnya para ulama. Karena pahala dari suatu perbuatan bisa bertambah berkali-kali lipat jika didasari dengan niat yang ikhlas.

2.      Akhlak yang mulia
Menjaga sikap dan perilaku dalam berbisnis adalah prinsip penting bagi seorang pebisnis muslim. Ini karena Islam sangat menekankan perilaku (aklhaq) yang baik dalam setiap kesempatan, termasuk dalam berbisnis. Sebagaimana sabda Rasulullah “dan pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik” (Sahihul Jami’ No 97).
Akhlaq mulia dalam berbisnis ditekankan oleh Rasulullah dalam sabdanya “Seorang pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan dikumpulkan bersama para nabi, para shiddiq, dan orang-orang yang mati syahid. Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda “Semoga Allah memberi rahmatNya kepada orang yang suka memberi kelonggaran kepada orang lain ketika menjual, membeli atau menagih hutang” (Shahih Bukhari No.2076). Di antara akhlaq mulia dalam berbisnis adalah menepati janji, jujur, memenuhi hak orang lain, bersikap toleran dan suka memberi kelonggaran.

3.      Usaha yang halal
Seorang pebisnis muslim tentunya tidak ingin jika darah dagingnya tumbuh dari barang haram, ia pun tak ingin memberi makan keluarganya dari sumber yang haram karena akan sungguh berat konsekuensinya di akhirat nanti. Dengan begitu, ia akan selalu berhati-hati dan berusaha melakukan usaha sebatas yang dibolehkan oleh Allah dan RasulNya.
Rasulullah bersabda : “Setiap daging yang tumbuh dari barang haram maka neraka lebih berhak baginya” (Shahihul Jami’ No. 4519).

4.      Menunaikan hak
Seorang pebisnis muslim selayaknya bersegera dalam menunaikan haknya, seperti hak karyawannya mendapat gaji, tidak menunda pembayaran tanggungan atau hutang, dan yang terpenting adalah hak Allah dalam soal harta seperti membayar zakat yang wajib. Juga, hak-hak orang lain dalam perjanjian yang telah disepakati.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah peringatan Rasulullah kepada orang mampu yang menunda pembayaran hutangnya “Orang kaya yang memperlambat pembayaran hutang adalah kezaliman” (HR Bukhari, Muslim dan Malik)

5.      Menghindari riba dan segala sarananya
Seorang muslim tentu meyakini bahwa riba termasuk dosa besar, yang sangat keras ancamannya. Maka pebisnis muslim akan berusaha keras untuk tidak terlibat sedikitpun dalam kegiatan usaha yang mengandung unsur riba. Ini mengingat ancaman terhadap riba bukan hanya kepada pemakannya tetapi juga pemberi, pencatat, atau saksi sekalipun disebutkan dalam hadits Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah melaknat mereka semuanya dan menegaskan bahwa mereka semua sama saja (Shahih Muslim No. 1598)

6.      Tidak memakan harta orang lain dengan cara bathil
Tidak halal bagi seorang muslim untuk mengambil harta orang lain secara tidak sah. Allah dengan tegas telah melarang hal ini dalam kitabNya. Ini meliputi segala kegiatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain yang menjadi rekakan bisnisnya, baik itu dengan cara riba, judi, kamuflase harga, menyembunyikan cacat barang atau produk, menimbun, menyuap, bersumpah palsu, dan sebagainya. Orang yang memakan harta orang lain dengan cara tidak sah berarti telah berbuat dhalim (aniaya) terhadap orang lain. Allah berfirman: ”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan kamu membawa harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah 188)

7.      Komitmen terhadap peraturan dalam bingkai syariah
Seorang pebisnis muslim tidak akan membiarkan dirinya terkena sanksi hukuman undang-undang hukum positif yang berlaku di tengah masyarakat. Misalnya dalam hal pajak, rekening membenahi sistem akuntansi agar tidak terkena sangsi karena melanggar hukum. Hal itu dilakukannya bukan untuk menetapkan adanya hak membuat hukum kepada manusia, tetapi semata-mata untuk mengokohkan kewajiban yang diberikan Allah padanya dan mencegah terjadinya keruskan yang mungkin timbul.

8.      Tidak membahayakan/merugikan orang lain
Rasulullah telah memberikan kaidah penting dalam mencegah hal-hal yang membahayakan, dengan sabdanya “Tidak dihalalkan melakukan bahaya atau hal yang membahayakan orang lain (Irwa’ul Ghalil No 2175)”. Termasuk katagori membahayakan orang lain adalah menjual barang yang mengancam kesehatan orang lain seperti obat-obatan terlarang, narkotika, makanan yang kadaluwarsa. Atau melakukan hal yang membahayakan pesaingnya dan berpotensi menghancurkan usaha pesaingnya, seperti menjelek-jelekkan pesaing, memonopoli, menawar barang yang masih dalam proses tawar-menawar oleh orang lain. Seorang pebisnis muslim hendaknya bersikap fair dalam berkompetisi, dan tidak melakukan usaha yang mengundang bahaya bagi dirinya maupun orang lain.

9.      Loyal terhadap orang beriman
Pebisnis muslim sekaliber apapun tetaplah bagian dari umat Islam. Sehingga sudah selayaknya ia melakukan hal-hal yang membantu kokohnya pilar-pilar masyarakat Islam dalam skala interasional, regional maupun lokal. Tidak sepantasnya ia bekerjasama dengan pihak yang nyata-nyata menampakkan permusuhannya terhadap umat Islam. Ini merupakan bagian dari prinsip Al Wala’ (Loyalitas) dan Al Bara’ (berlepas diri) yang merupakan bagian dari aqidah Islam. Sehingga ketika melaksanakan usahanya, seorang muslim tetap akan mengutamakan kemaslahatan bagi kaum muslimin dimanapun ia berada. Allah berfirman : “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri -Nya. Dan hanya kepada Allah kembali.” (QS Ali Imran 28).

10.   Mempelajari hukum dan adab muamalah islam
Dunia bisnis yang merupakan interaksi antara berbagai tipe manusia sangat berpotensi menjerumuskan para pelakunya ke dalam hal-hal yang diharamkan. Baik karena didesak oleh kebutuhan perut, diajak bersekongkol dengan orang lain secara tidak sah atau karena ketatnya persaingan yang membuat dia melakukan hal-hal yang terlarang dalam agama. Karena itulah seorang Muslim yang hendak terjun di dunia ini harus memahami hukum-hukum dan aturan Islam yang mengatur tentang mu’amalah. Sehingga ia bisa memilah yang halal dari yang haram, atau mengambil keputusan pada hal-hal yang tampak samar (syubhat).

No comments:

Post a Comment

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers