KAJIAN SEJARAH :
ETIKA BISNIS DALAM PRAKTEK MAL BISNIS MUHAMMAD
Selama ini banyak orang yang memahami
bisnis sebagai suatu usaha yang tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya. Hal ini telah mendarah daging sesuai dengan hukum ekonomi
klasik yang dianut selama ini. Adapun hukum ekonomi klasik tersebut menyatakan
bahwa kita harus mengendalikan modal sekecil mungkin untuk mendapatkan hasil
yang besar. Hukum ini telah menjadikan para pelaku bisnis menghalalkan segala
cara untuk meraih keuntungan mulai dari cara memperoleh bahan baku, bahan lain
yang digunakan, tempat produksi, tenaga kerja, pengelolaannya, dan pemasaran,
dilakukan dengan seefektif dan seefisien mungkin tanpa mempedulikan halal dan
haram. Hal ini tidak mengherankan jika para pelaku bisnis jarang memperhatikan
tanggung jawab sosial dan mengabaikan etika bisnis.
Etika bisnis dalam studi Islam selama ini
kajiannya lebih didasarkan pada Al Quran. Rasulullah Muhammad SAW dalam
tinjauan sejarah, merupakan pelaku bisnis yang sukses sehingga kajian tentang
etika bisnis perlu melihat perilaku Rasulullah semasa hidupnya.
Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan
dalam hal ini adalah faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi Muhammad
menjadi pelaku bisnis dan bagaimanakah etika bisnis Muhammad dalam praktek mal
bisnisnya tersebut. Berkaitan dengan rumusan masalah tersebut, tujuan dari
penulisan ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang
melatarbelakangi Muhammad menjadi pelaku bisnis dan untuk mengetahui pula
mengenai etika bisnis Muhammad dalam praktek mal bisnisnya. Diharapkan tulisan
ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan kajian mengenai Ekonomi Islam.
Sebelum mempelajari mengenai etika bisnis
dalam praktek mal bisnis Muhammad, berikut beberapa faktor yang mendorong
Muhammad untuk menjadi seorang pebisnis :
1. Faktor
Geografis Arab
Sejarawan muslim membagi penduduk Arab menjadi 3 kelompok yaitu al
arab al badi’ah (arab kuno), arab al arabiyah (arab pribumi), dan arab al
mustaribah (arab pendatang). Dari segi tempat mereka dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu alh al hadlarah (penduduk kota) dan ahl al badiyah (penduduk gurun
pasir). Kondisi geografis yang berbeda-beda ini berpengaruh pada perbedaan
pranata, tata cara kehidupan, profesi mencari nafkah, dan peradaban. Karena
faktor geografis, perekonomian yang dijalankan oleh bangsa Arab sebelum Islam
amat sederhana dan terbatas. Mayoritas aktifitas penduduk adalah menggembala
dan beternak binatang. Aktifitas ekonomi bangsa arab meliputi 3 bidang yaitu
perdagangan, pertanian, dan industri.
Muhammad pada waktu kecil menjadi penggembala binatang dengan
penghasilan yang tidak banyak. Namun Muhammad sadar bahwa menggembala bukan
profesinya. Pengalaman menggembala diperoleh saat dia bersama dengan anak- anak
Halimah namun saat dia berusia 4 tahun ia dikembalikan pada Aminah. Adapun
orangtuanya dan pamannya adalah seorang pedagang. Ia dibesarkan dalam wilayah
perdagangan. Kesempatan unuk menjadi pedagang muncul ketika ia diasuh pamannya.
Muhammad sering berkunjung dan berjualan di pusat-pusat keramaian. Keinginan
turut serta dalam rombongan khafilah berdagang selalu ditolak pamannya dengan
alasan keselamatan Muhammad. Setelah Abu Tholib merasa bahwa keinginan Muhammad
untuk turut berdagang semakin kuat, pamannya mengijinkannya. Saat itulah
Muhammad dapat menyaksikan bagaimana menempuh perjalanan jauh dan transaksi
ekonomi dilakukan. Dengan demikian maka pembacaan Muhammad terhadap kondisi
geografis Mekkah menjadi motivator bagi dirinya untuk menekuni bisnis yaitu
dengan berdagang.
2. Faktor
Ekonomi
Untuk
mendeskripsikan faktor ekonomi menjadi pendorong Muhammad menjadi seorang
pebisnis, berikut beberapa orang yang memelihara Muhammad sejak dia dilahirkan:
·
Muhammad diasuh oleh Halimah
Halimah adalah keluarga miskin.ia hanya
memiliki beberapa kambing sebagai sumber kehidupannya. Kehadiran Muhammad dalam
keluargannya menambah beban kebutuhan hidupnya sekaligus membawa berkah.
Kambing yang dirawatnya semakin bertambah dan susunya melimpah, Tanaman Halimah
menjadi subur dan memperoleh keuntungan berlipat. Muhammad diasuh sebanyak 2
kali oleh Halimah.
·
Muhammad di pangkuan ibunya
Setelah Muhammad diasuh selama 4 tahun ia
dikembalikan pada Halimah. Selama bersama ibunya, Muhammad membantu tetangganya
dengan menggembalakan kambing. Walaupun upahnya kecil ia merasa senang dan
hasil jerih payahnya dberikan pada ibunya untuk menambah biaya hidup.
·
Muhammad diasuh oleh Abdul Mutholib
Saat usia 6 tahun Ia tinggal bersama
kakeknya, kehidupnnya lebih baik dibandingkan bersama ibunya. Kakeknya adalah
orang yang kaya raya dan mempunyai pengaruh yang besar terdap suku Quraisy.
Walaupun ia hidup di kalangan orang kaya namun ia tetap menggembala. Pekerjan
menggembala merupakan pekerjaan yang mulia. Hal ini ditegaskan oleh Nabi
Muhammad setelah Ia diangkat menjadi Rasul, ia berkata :
“Nabi Musa diutus dan dia adalah seorang penggembala kambing dan
Nabi Daud diutus dan dia seorang penggembala kambing dan aku diutus dan aku
juga penggembala kambing keluargaku di kampung Jiyad”.
“Abu Hurairah r.a. (meriwayatkan dari Nabi Muhammad saw berkata;
Allah tidak mengutus seorang nabi melainkan dia pernah menggembala kambing.
Sahabat Nabi berkata : Engkau (juga sebagai penggembala kambing). Nabi Muhammad
menjawab : ya aku pernah menjadi penggembala kambing milik orang Makkah.”
·
Muhammad diasuh oleh pamannya
Pemeliharaan Muhamad kepada abu Thalib
berdasarkan wasiat Abdul Muthalib dengan pertimbangan Abu Thalib adalah orang
yang disegani karena mempunyai akhlak. Kemanapun Abu Thalib pergi Nabi Muhammad
selalu ikut.
3. Faktor
Keluarga
Jika dirunut dari
kakeknya, Muhammad berasal dari keluarga yang kaya raya. Disamping dikenal
sebagai orang yang kaya raya, ia juga memiliki jabatan tinggi sebagai pembesar
kaum Qurays. Meskipun leluhurnya adalah orang kaya, Muhammad tidak merasa
bangga atas kekayaannya. Ia hanya merasa aman jika bersama kakeknya karena ia
dikenal sebagai orang yang berpengaruh.
Ketika kakeknya
meninggal, ia diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Selama dalam perawatan dan
asuhan Abu Thalib, Muhammad memiliki banyak pengalaman khususnya yang mendorong
dirinya untuk menjadi pedagang (pebisnis).
Abu Thalib merupakan
salah satu keluarga yang selalu mendorong Muhammad untuk menjadi pebisnis.
Ketika Abu Thalib sudah tua, ia memanggil Muhammad dan berkata : “Hai anak
saudaraku, sebagaimana telah kamu ketahui bahwa pamanmu ini sudah tidak punya
kekayaan lagi, padahal keadaan sudah sangat mendesak, maka alangkah baiknya
jika kamu mulai berniaga dan sedikit demi sedikit hasilnya dapat kamu
pergunakan untuk kepentinganmu sehari-hari.” Muhammad mengikuti nasehat
pamannya, dan profesi pebisnis ini yang kemudian ia tekuni hingga ia menjadi
seorang nabi.
4. Faktor
Beristri Khodijah
Pernikahan Muhammad
dilaksanakan ketika ia berusia 25 tahun dan Khodijah berusia 40 tahun. Khodijah
merupakan wanita yang berasal dari kalangan bangsawan. Ia sebagai pengusaha yang
memiliki kemampuan manajerial baik. Ia mempercayakan barang dagangannya kepada
anak buahnya. Keberhasilan bisnisnya dibantu oleh beberapa orang karyawan
dengan kerja kerasnya dan berkat bantuan orang tuanya.
Pada waktu menikah,
Muhammad belum berhasil menjadi pebisnis. Hasil kerjanya hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhannya. Ia belum mempunyai harta, apalagi untuk menikah. Sewaktu
Muhammad masih menjadi anak bah Khodijah, ia dikenal sebagai pekerja keras,
ulet, dan jujur. Dengan demikian maka Muhammad harus berjuang keras untuk
menjalankan kekayaan yang dimiliki istrinya. Manajemen pengelolaan harta ia
lakukan dengan professional. Ia belajar dari istrinya dan lingkungannya. Ini
merupakan factor kuat yang mendorong Muhammad menjadi pebisnis karena tidak
mungkin kekayaan yang dimiliki istrinya tidak terurus. Disamping itu ia harus
memperhatikan kesejahteraan karyawan yang dimilikinya.
Demikian faktor-faktor yang mempengaruhi Muhammad untuk menjadi
seorang pebisnis. Selanjutnya kita akan membahas mengenai etika bisnis dalam
praktek mal bisnis Muhammad.
Salah satu sumber
rujukan etika dalam bisnis adalah etika yang bersumber dari tokoh teladan agung
manusia di dunia, yaitu Rasulullah SAW. Beliau telah memiliki banyak panduan
etika untuk praktek bisnis kita, yaitu :
1. Kejujuran
Kejujuran merupakan syarat fundamental dalam
kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam
aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: "Tidak dibenarkan
seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan
aibnya," (H.R. Al-Quzwani). "Siapa yang menipu kami, maka dia bukan
kelompok kami," (H.R. Muslim).
Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam
berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah
bawah dan barang baru di bagian atas.
2. Menolong atau member manfaat kepada orang lain
Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya
sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan
bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap
ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis.
Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari
kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
3. Tidak boleh menipu, takaran, ukuran dan
timbangan yang benar
Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan
tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: "Celakalah bagi orang
yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka
minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi". (QS 83: 112).
4. Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Janganlah
seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang
dijual oleh orang lain," (H.R. Muttafaq ‘alaih).
5. Tidak menimbun barang
Ihtikar ialah menimbun barang (menumpuk dan
menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat
menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras
perilaku bisnis semacam itu.
6. Tidak melakukan monopoli
Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis
ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah
eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air,
udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral.
Individu tersebut mengeruk keuntungan secara
pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.
7. Komoditas barang yang dijual adalah barang yang
suci dan halal
Nabi Muhammad SAW
bersabda, "Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan
patung-patung," (H.R. Jabir).
8. Bisnis yang dijalankan bersih dari unsur riba
Firman Allah, "Hai orang-orang yang
beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman," (QS.
al-Baqarah:: 278). Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang
yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan
perang terhadap riba.
9. Bisnis dilakukan dengan sukarela tanpa paksaan
Firman Allah, "Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil,
kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu," (QS. 4: 29).
10. Membayar upah karyawan dengan segera sebelum
keringat mereka kering
Nabi Muhammad Saw bersabda, "Berikanlah
upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya." Hadist ini
mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran
upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.
Adapun hikmah yang dapat diambil dari uraian di atas adalah
mengenai suatu pelajaran bahwa dalam etika bisnis seseorang harus mencontoh
ketauladanan Nabi Muhammad saw bahwa seorang muslim harus mempunyai tauhid
yaitu menyerahkan segalanya kepada Allah swt. Karena semua yang ada di dunia
ini adalah milik Allah dan harus mematuhi semua aturan yang telah ditentukan
olehnya. Seorang muslim harus adil dalam segala hal termasuk dalam bidang
ekonomi, kebebasan berkehendak bagi seorang muslim yaitu melakukan apa saja
dalam melakukan aktivitas ekonomi selama tidak melanggar yang telah ditentukan
oleh Allah saw. Termasuk harus menjaga kehalalan barang atau jasa dalam
aktivitas bisnis. Seorang muslim harus tanggungjawab yaitu bertanggungjawab
dalam segala hal termasuk dalam bidang ekonomi/bisnis. Begitu juga bertanggung
jawab atas kebebasan dalam bisnis.
Namun pada kenyataannya, bisnis di dunia ini masih di dominasi oleh
aliran klasik dimana keuntungan merupakan prioritas utama. Oleh karena itu,
berdasarkan uraian mengenai etika bisnis dalam praktek mal bisnis Muhammad ini,
adapun solusi yang dapat kami berikan adalah dengan mengembalikannya pada
etika-etika pebisnis muslim yang harus dibangun dari setiap pribadi seorang
pebisnis. Adapun etika pebisnis muslim tersebut adalah :
1.
Niat yang ikhlas
Keikhlasan
adalah perkara yang amat menentukan. Dengan niat yang ikhlas, semua bentuk
pekerjaan yang berbentuk kebiasaan bisa bernilai ibadah. Dengan kata lain,
aktivitas usaha yang kita lakukan bukan semata-mata urusan harta dan perut tapi
berkaitan erat dengan urusan akhirat.
Allah telah
menegaskan bahwa hakekat tujuan manusia diciptakan di muka bumi adalah untuk
beribadah kepadaNya “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah kepaKu”(QS Adz Dzariyat ayat 56), maka tentunya semua aktivitas kita
di dunia tidak lepas dari tujuan itu pula. Rasulullah bersabda “Sesungguhnya
amalan itu dengan niatnya ….”(Shahih Targhib wa Tarhib No.10).
Contoh niat
yang ikhlas dalam usaha bisa berlaku dalam lingkup pribadi maupun sosial. Dalam
lingkup pribadi misalnya meniatkan usaha yang halal untuk menjaga diri dari
memakan harta dengan cara haram, memelihara diri dari sikap meminta-minta,
untuk mendukung kesempurnaan ibadah kepada Allah, menjaga silaturrahim dan
hubungan kerabat dan motivasi positif lainya.
Dalam lingkup
sosial, misalnya meniatkan diri mencari harta untuk ikut andil dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat muslim, memberi kesempatan bekerja yang halal bagi orang
lain, membebaskan ummat dari ketergantungan terhadap produk “orang lain”, dan
motif sosial lainnya.
Niat (seperti
diaktakan sebagian orang) adalah bisnisnya para ulama. Karena pahala dari suatu
perbuatan bisa bertambah berkali-kali lipat jika didasari dengan niat yang
ikhlas.
2.
Akhlak yang mulia
Menjaga
sikap dan perilaku dalam berbisnis adalah prinsip penting bagi seorang pebisnis
muslim. Ini karena Islam sangat menekankan perilaku (aklhaq) yang baik dalam
setiap kesempatan, termasuk dalam berbisnis. Sebagaimana sabda Rasulullah “dan
pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik” (Sahihul Jami’ No 97).
Akhlaq mulia
dalam berbisnis ditekankan oleh Rasulullah dalam sabdanya “Seorang pedagang
yang jujur dan dapat dipercaya akan dikumpulkan bersama para nabi, para
shiddiq, dan orang-orang yang mati syahid. Dalam kesempatan lain Rasulullah
bersabda “Semoga Allah memberi rahmatNya kepada orang yang suka memberi
kelonggaran kepada orang lain ketika menjual, membeli atau menagih hutang”
(Shahih Bukhari No.2076). Di antara akhlaq mulia dalam berbisnis adalah
menepati janji, jujur, memenuhi hak orang lain, bersikap toleran dan suka
memberi kelonggaran.
3.
Usaha yang halal
Seorang
pebisnis muslim tentunya tidak ingin jika darah dagingnya tumbuh dari barang
haram, ia pun tak ingin memberi makan keluarganya dari sumber yang haram karena
akan sungguh berat konsekuensinya di akhirat nanti. Dengan begitu, ia akan
selalu berhati-hati dan berusaha melakukan usaha sebatas yang dibolehkan oleh
Allah dan RasulNya.
Rasulullah
bersabda : “Setiap daging yang tumbuh dari barang haram maka neraka lebih
berhak baginya” (Shahihul Jami’ No. 4519).
4.
Menunaikan hak
Seorang
pebisnis muslim selayaknya bersegera dalam menunaikan haknya, seperti hak
karyawannya mendapat gaji, tidak menunda pembayaran tanggungan atau hutang, dan
yang terpenting adalah hak Allah dalam soal harta seperti membayar zakat yang
wajib. Juga, hak-hak orang lain dalam perjanjian yang telah disepakati.
Dalil yang
menunjukkan hal ini adalah peringatan Rasulullah kepada orang mampu yang
menunda pembayaran hutangnya “Orang kaya yang memperlambat pembayaran hutang
adalah kezaliman” (HR Bukhari, Muslim dan Malik)
5.
Menghindari riba dan segala sarananya
Seorang
muslim tentu meyakini bahwa riba termasuk dosa besar, yang sangat keras
ancamannya. Maka pebisnis muslim akan berusaha keras untuk tidak terlibat
sedikitpun dalam kegiatan usaha yang mengandung unsur riba. Ini mengingat
ancaman terhadap riba bukan hanya kepada pemakannya tetapi juga pemberi,
pencatat, atau saksi sekalipun disebutkan dalam hadits Jabir bin Abdillah bahwa
Rasulullah melaknat mereka semuanya dan menegaskan bahwa mereka semua sama saja
(Shahih Muslim No. 1598)
6.
Tidak memakan harta orang lain dengan cara bathil
Tidak halal
bagi seorang muslim untuk mengambil harta orang lain secara tidak sah. Allah
dengan tegas telah melarang hal ini dalam kitabNya. Ini meliputi segala
kegiatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain yang menjadi rekakan
bisnisnya, baik itu dengan cara riba, judi, kamuflase harga, menyembunyikan
cacat barang atau produk, menimbun, menyuap, bersumpah palsu, dan sebagainya.
Orang yang memakan harta orang lain dengan cara tidak sah berarti telah berbuat
dhalim (aniaya) terhadap orang lain. Allah berfirman: ”Dan janganlah sebahagian
kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil
dan kamu membawa harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS
Al Baqarah 188)
7.
Komitmen terhadap peraturan dalam bingkai syariah
Seorang
pebisnis muslim tidak akan membiarkan dirinya terkena sanksi hukuman
undang-undang hukum positif yang berlaku di tengah masyarakat. Misalnya dalam
hal pajak, rekening membenahi sistem akuntansi agar tidak terkena sangsi karena
melanggar hukum. Hal itu dilakukannya bukan untuk menetapkan adanya hak membuat
hukum kepada manusia, tetapi semata-mata untuk mengokohkan kewajiban yang
diberikan Allah padanya dan mencegah terjadinya keruskan yang mungkin timbul.
8.
Tidak membahayakan/merugikan orang lain
Rasulullah
telah memberikan kaidah penting dalam mencegah hal-hal yang membahayakan,
dengan sabdanya “Tidak dihalalkan melakukan bahaya atau hal yang membahayakan
orang lain (Irwa’ul Ghalil No 2175)”. Termasuk katagori membahayakan orang lain
adalah menjual barang yang mengancam kesehatan orang lain seperti obat-obatan
terlarang, narkotika, makanan yang kadaluwarsa. Atau melakukan hal yang
membahayakan pesaingnya dan berpotensi menghancurkan usaha pesaingnya, seperti
menjelek-jelekkan pesaing, memonopoli, menawar barang yang masih dalam proses
tawar-menawar oleh orang lain. Seorang pebisnis muslim hendaknya bersikap fair
dalam berkompetisi, dan tidak melakukan usaha yang mengundang bahaya bagi
dirinya maupun orang lain.
9.
Loyal terhadap orang beriman
Pebisnis
muslim sekaliber apapun tetaplah bagian dari umat Islam. Sehingga sudah
selayaknya ia melakukan hal-hal yang membantu kokohnya pilar-pilar masyarakat
Islam dalam skala interasional, regional maupun lokal. Tidak sepantasnya ia
bekerjasama dengan pihak yang nyata-nyata menampakkan permusuhannya terhadap
umat Islam. Ini merupakan bagian dari prinsip Al Wala’ (Loyalitas) dan Al Bara’
(berlepas diri) yang merupakan bagian dari aqidah Islam. Sehingga ketika
melaksanakan usahanya, seorang muslim tetap akan mengutamakan kemaslahatan bagi
kaum muslimin dimanapun ia berada. Allah berfirman : “Janganlah orang-orang
mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.
Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri -Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali.” (QS Ali Imran 28).
10.
Mempelajari hukum dan adab muamalah islam
Dunia bisnis
yang merupakan interaksi antara berbagai tipe manusia sangat berpotensi
menjerumuskan para pelakunya ke dalam hal-hal yang diharamkan. Baik karena
didesak oleh kebutuhan perut, diajak bersekongkol dengan orang lain secara
tidak sah atau karena ketatnya persaingan yang membuat dia melakukan hal-hal yang
terlarang dalam agama. Karena itulah seorang Muslim yang hendak terjun di dunia
ini harus memahami hukum-hukum dan aturan Islam yang mengatur tentang
mu’amalah. Sehingga ia bisa memilah yang halal dari yang haram, atau mengambil
keputusan pada hal-hal yang tampak samar (syubhat).
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^