Hey!Say!JUMP Fanfiction
(Indonesia)
AISHITERUKARA / BECAUSE I
LOVE U (PART 12)
Author : Rin Fujiyama
Genre : Romance, Friendship,
Action
Rating
: PG-15
Cast
: All HSJ membe
*********************
Part sebelumnya:
“DDOOORRR…”
Suara tembakan akhirnya mengaung di ruang itu
tanpa sempat seorangpun memprotes…
“Ryosuke…!!” Yuri dan Yuto terdiam tak percaya
memandangi sosok yang roboh di hadapan mereka.
Pemuda yang entah sejak kapan, tiba-tiba datang di
waktu yang tepat ketika peluru itu terlontar…
Alhasil,
Darahpun mengalir deras melengkapi peluru yang
telah menembus jantung pemuda itu.
Kaki Yuri dan Yutopun seketika lemas…
“Maafkan ayahku…,” hanya itulah kata yang susah
payah diucapkan sahabat mereka itu sebelum akhirnya benar-benar menghembuskan
nafas terakhirnya.
“Ryosuke!!”
Kei terdiam…
Tak percaya…
Tak kuasa menerima kenyataan di hadapan matanya…
===================
PART 12
===================
Kouta tak kuasa lagi melanjutkan langkahnya.
Nafasnya yang tadi memburu kini seakan tercekat memandangi adik yang begitu
disayanginya telah terbaring dalam kubangan darahnya sendiri.
Sementara Keito yang juga baru saja sampai, hanya
mampu melangkah lemas melewati tubuh Kouta yang berdiri membeku di pintu.
“Apa yang terjadi?” Keito bertanya lemas…
Tak menyangka kenapa malah Ryosuke yang harus
menerima semua ini.
Dipandanginya Yuri dan Yuto yang kali ini hanya
memberikan tatapan kosong pada Ryosuke – tatapan tak percaya.
Keduanya masih membatu tak berani sedikitpun
menyentuh tubuh itu yang mungkin hanya tinggal raga.
“Ini semua karenamu!!” Kouta mengamuk.
Kaki jenjangnya melangkah cepat ke arah Kei – ayah
kandungnya – lengannya menarik kuat kerah pria paruh baya itu dan menghajarnya
tanpa ampun lagi. Sementara sosok yang menjadi sasaran pukulanpun hanya menerima
– pasrah tanpa ada perlawanan.
Di seantero ruang itu, mungkin sudah tak ada lagi
yang mampu berpikir jernih.
Salahkah mereka jika kali ini begitu bodoh?!
Salahkah mereka jika mereka begitu menyesali semua
yang telah terjadi ini?!
“Kau masih saja lemah, Kouta…” Kei tersenyum
mengejek dalam genggaman erat Kouta yang masih mencengkeram kuat kerahnya –
teramat sedih kenapa puteranya itu tak ada sedikitpun kemiripan dengannya –
putra sulung yang seharusnya bisa dibanggakannya, tapi malah begitu mengecewakan
karena semua sikapnya sama persis seperti ibunya, “kau memang sepayah ibumu…”
sekali lagi Kei mengejek.
Kouta terengah-engah…
Ingin semakin meluapkan amarah pada ayahnya itu
karena kata-katanya barusan.
Tapi…
Kepalan tangannya hanya terangkat tanpa adanya
gerakan susulan – memandangi wajah ayahnya yang ternyata telah dipenuhi air
mata menutupi senyum ejekan yang dipaksakannya itu.
Pemuda itu tak tega…
Kouta tak kuasa lama-lama memandang wajah sendu
ayahnya itu. Bagaimanapun juga…
Itu adalah ayahnya…
Ayahnya…
Ya…
Dan pada akhirnya,
Genggamannya mengendor – membiarkan tubuh si ayah
merosot memandangi tubuh putera bungsu yang begitu diharapkan dan disayanginya.
Tubuh yang sudah tak lagi bergerak…
Terdiam beku dengan wajah sedihnya – kesedihan
yang mungkin terjadi karena semua tindakan ayahnya selama ini.
Kouta melangkah gontai…
Tubuhnya melemas memandangi wajah pucat adiknya –
Ryosuke.
Dikaitkannya jemari kepunyaannya dengan jemari
Ryosuke yang kini terasa begitu dingin layaknya raga yang telah benar-benar
ditinggal pergi ruhnya.
Akhirnya bulir-bulir itu jatuh juga. Jatuh dengan
begitu deras namun tanpa kata. Tangisan tertahan yang begitu menyakitkan dan
menyesakkan hati.
Genggaman tangan itu terlihat bergetar…
“Baka…Ryosuke no baka…”
Hanya kata-kata itu yang mampu terealisasi dari sosok
Kouta Yamada – kata-kata yang begitu menyayat hatinya karena tak ada respon
dari si empunya nama yang barusan dikatainya ‘baka’.
“Deegghh…”
Kouta tertegun…
Sesaat dirasakannya denyutan lemah di pergelangan
tangan adiknya itu. Buru-buru dirabanya pergelangan itu untuk memastikan.
Kouta mengangkat tubuh itu buru-buru dan segera
membawanya ke arah mobil yang ada. Sementara Yuri, Yuto, dan Keito yang masih
teramat diselubungi duka hanya mampu memandang penuh tanya sepersekian detik
sebelum akhirnya ketiganya menyusul Kouta dengan mobil yang berbeda.
Kedua mobil itu telah berlalu…
Menyisakan Kei yang mulai menghapus linangan air
matanya.
“Kau harus bertahan…”
“Anakku…”
===================
===================
Kouta Yamada memacu mobilnya cepat – jauh di atas
batas kecepatan yang diperbolehkan di jalanan tempatnya melaju sekarang.
Ia tak peduli…
Adiknya tak boleh mati…
Tidak boleh…
Sementara lengan satunya masih menyetir, lengan
yang tersisa dari eksistensi Kouta Yamada itu masih dengan erat memegangi luka
di dada Ryosuke – menahan darah itu agar tak keluar lebih banyak lagi.
Di belakang mereka,
Keito terus melaju kencang mengimbangi kecepatan
mobil di depannya. Yuri dan Yuto yang duduk tak tenang di kursi belakang, hanya
mampu terus mengaitkan kedua telapak tangan mereka dan terus berharap bahwa
sahabat mereka tak kan benar-benar pergi.
===================
===================
“Aku pergi ambil minuman dulu…” Emi memecah
keheningan yang sejak 2 jam lalu terkesan begitu tegang – ketegangan menanti
dibukanya pintu putih ruang operasi yang memang belum sekalipun terbuka sejak
terakhir ditutup.
Zashi memberikan senyuman ringan pada Emi –
senyuman yang agak dipaksa karena otaknya masih dipenuhi pikiran tentang
Ryosuke sekarang.
Yuya masih saja menemani Zashi – masih tetap setia
duduk di sampingnya sambil terus mengelus puncak kepala gadis itu.
Emipun melangkah meninggalkan teman-temannya itu
tuk sementara – masih tetap berjalan tegap biarpun sedari tadi hatinya menjerit
mengingat pria yang diam-diam mulai menarik hatinya – Ryosuke – masih terbaring
melawan maut.
“Tiss…”
Satu bulir air mata jatuh mengiringi langkah Emi…
Yui melihatnya…
Ya, gadis itu melihatnya – tau kalau sahabatnya itu
tengah menangis.
Tanpa berkata sepatah katapun, iapun mulai
melangkah mengikuti Emi sementara Ayaka dan Hikaru hanya bisa menatap Yui yang
melangkah pergi – menatap tanpa kata…
Yuto tak menghiraukan kepergian Yui – gadis yang
dicintainya sepenuh hati.
Benar-benar tak ada yang lain di pikirannya kali
ini selain Ryosuke. Tak ada yang lain…
===================
Dalam keheningan setiap langkah manusia di rumah
sakit kala itu, Yui mampu mendengarnya – sebuah isakan tangis yang terdengar
begitu menyayat – isakan tangis yang sudah tak tertahan…
Ia hanya mampu berdiam diri memandanginya – mulai
menyadari si sahabat ternyata menyimpan perasaan special pada pemuda yang
tengah terbaring sekarang.
Setiap pasang mata yang lewat selalu memberikan
pandangan penuh tanda tanya.
Gadis yang menangis di samping mesin penjual
minuman – menangis sejadi-jadinya tanpa menghiraukan orang-orang yang lalu
lalang di sekitarnya.
“Ia akan baik-baik saja…” dengan lembut Yui
membawa kembali Emi pada alam sadarnya. “Percayalah…” Yui ikut berkaca-kaca.
“Yui-chan… Ryosuke… Ryosuke…” ia terbata-bata.
“Hontou daisuki na…”
Emi semakin meluapkan tangisannya – memeluk erat
sahabatnya itu untuk mendapatkan ketenangan. Berjam-jam ia menahan perasaan
khawatirnya itu, dan kali ini memang sudah tak mampu lagi ditahannya.
===================
===================
A moment later…
Something happen…
Something bad…
“Tolong…”
Sebuah teriakan terdengar…
Kouta dan yang lain yang masih tegang menanti
operasi Ryosukepun hanya bisa menatap diam sosok yang dengan buru-buru berlari
ke arah mereka – sosok gadis yang begitu mereka kenal.
“Seseorang menculik Yui, aku tak mampu berbuat
apa-apa tadi,” Emi bicara terbata-bata masih dengan terengah-engah.
“Deegghh…”
Yuto tersentak kaget hingga langsung membuat kaki
jenjangnya bangkit dari duduknya.
Lagi-lagi,
Sekali lagi…
Pemuda itu berlari tanpa memikirkan segala
konsekuensi yang mungkin akan menimpanya.
“Damn… Yuto bodoh,” Yuri menggumam marah.
“Aku akan menyusulnya…” tiba-tiba satu tubuh
melewati Yuri dengan cepatnya dan segera berlari mengikuti tiap langkah jenjang
Yuto Nakajima.
“Sora…” Yuri tertegun beberapa saat memandangi
punggung Sora yang perlahan menghilang dari pandangannya. “Arigatou,” gumam
Yuri pelan – merasa lega ada yang akan melindungi saudaranya yang selalu
bertindak nekad itu.
Sementara di sudut yang lain, gadis itu masih
berusaha menahan cemburu yang teramat sangat. “Apakah memang tak ada sedikitpun
ruang di hatimu yang tersisa untukku, Yuto-kun?” ia membatin sedih.
“Ayaka” pemuda itu menyadarinya. Hikarupun segera
memeluk erat adiknya yang hampir menangis itu – sadar kalau adiknya tengah
patah hati – sekali lagi – dan entah sudah yang keberapa kali.
“Aku tak mau begini terus…,” perasaan Ayakapun
meluap. Dengan begitu tiba-tiba ia berlari mengikuti arah yang tadi dilewati
Yuto dan Sora.
Si kakakpun tak mau berdiam diri – ia semakin
khawatir, “Ayaka… tunggu…” Hikarupun mengikuti tindakan Ayaka yang berlari
mengejar Yuto dan Sora yang pastinya memang sudah jauh dari pandangan kakak
beradik itu.
“Sial…”
Batin Yuri semakin bingung dengan kondisi saat ini
– menanti kepastian hidup mati sahabatnya, atau mengikuti gadis yang sebenarnya
memang sangat disukainya – untuk memastikan tak kan terjadi apapun pada gadis
itu – Ayaka.
Sementara Kouta dan yang lainpun hanya mampu tempat
tinggal tak bergeming satu langkahpun berharap agar situasi tak semakin
memburuk…
===================
===================
Pintu putih itu akhirnya terbuka juga. Setiap yang
ada di luar ruang itupun segera bangkit dari duduknya mendekati para medis yang
barusan keluar.
“Kami tak berhasil mengeluarkan peluru yang
bersarang di jantungnya. Terlalu beresiko mengingat peluru itu telah menembus
jantung pasien.” Dua kalimat yang barusan terlontar itu membuat setiap tubuh
yang dari tadi menanti itupun terlihat merosot lemas.
“Suatu keajaiban ia masih dapat bertahan. Pasien
telah melewati masa kritisnya,” sedikit senyum dari si dokter melihat wajah
lega mulai terpampang di setiap raut wajah anak-anak muda di depannya itu.
“Yamada-san, bisa tolong ikut saya,” pria berjas
putih itu dengan sopan meminta Kouta untuk mengikutinya – dan Koutapun tanpa
menanyakan apapun segera mengiyakan dan mengikuti langkah si dokter ke
ruangannya.
Sementara yang lain mengikuti Ryosuke yang
dipindahkan ke ruang perawatan, terjadi ketegangan di ruang dokter yang barusan
mengoperasinya.
“Peluru tersebut menembus selaput jantungnya dan
hingga detik ini masih tertanam di sana. Kami hanya mampu melakukan operasi
thoracotomy untuk menghentikan pendarahan dengan menambal daerah jantung yang
bocor,” dokter tersebut berbicara panjang lebar mencoba menjelaskan kondisi
pasien sedetail mungkin pada keluarga pasien.
Kouta menelan ludah sesekali. Merasa tegang setiap
mendengar penjelasan dari dokter itu – menyadari kondisi adiknya belum
sepenuhnya aman.
“Andai pasien mampu melewati masa-masa ini…” pria
berjas putih kembali bicara…
“Dalam keadaan normalpun pasien akan sering
merasakan nyeri pada jantungnya. Jadi tolong perhatikan segala aktivitasnya, dan
jangan sampai berlebihan,” nasehat itu mengakhiri pembicaraan si dokter dengan
Kouta.
Pemuda itu kembali melangkah agak lemas…
“Kaa-san, aku telah gagal menjadi seorang kakak.
Andai saja aku bisa berlari lebih cepat darinya… Semua ini pasti tak kan terjadi,”
pikiran-pikiran penuh penyesalan mengiringi setiap langkah pemuda itu.
“Kouta-sensei… Ryosuke sudah sadar,” dengan
antusias dan wajah dipenuhi kelegaan, Yuya segera menyampaikan kabar gembira
itu pada kakak korban. Koutapun buru-buru langsung memasuki ruang rawat adiknya
itu tanpa menunggu kata-kata lanjutan dari Yuya.
“Ryosuke…”
Dilihatnya yang lain juga telah mengelilingi
ranjang yang terlihat begitu nyaman itu – kamar VVIP.
“Kak…” Ryosuke tersenyum – terlihat masih lemas
sehabis menjalani operasi.
“Ne, Ryo-chan, lebih baik kau lanjutkan
istirahatmu,” dengan senyum penuh kelegaan, Keito bersyukur sahabatnya itu tak
jadi meninggalkannya – selamat dari maut yang hampir saja merenggut sahabatnya
darinya untuk selamanya.
“Jangan lagi kau lakukan itu,” Yuri menangis…
Pemuda itu masih mengingat kejadian ketika
sahabatnya tiba-tiba datang menghadang peluru yang seharusnya mengenai dirinya
– masih terus terngiang ketika tubuh itu roboh dipenuhi cairan merah pekat.
Ryosuke menggenggam ringan telapak tangan Yuri,
“tolong maafkan ayahku…,” sekali lagi ia memohon – belum melupakan apa yang
telah menimpanya yang mengakibatkannya harus terbaring di rumah sakit sekarang.
Yuripun hanya mampu tersenyum…
“Aku tak akan memaafkan ayahmu…,” kata-kata yang
seketika mengejutkan Ryosuke mengalir begitu saja dari mulut Yuri.
“Kecuali kau berjanji akan segera pulih dan tak
akan melakukan hal bodoh itu lagi,” senyuman kembali terulas.
“Ne, di mana Yuto?”
===================
===================
Lantai yang dingin itu menjadi saksi bisu robohnya
tubuh Hikaru Mizuno – roboh tak sadarkan diri setelah menerima pukulan keras
dari belakang.
“Nii-chan…,” Ayaka berteriak menjerit…
Gadis itu ngeri memandang sosok yang berdiri di
samping tubuh kakaknya itu – Hikaru.
Kembali sosok itu melangkah berat – diseretnya
kakinya itu hingga menimbulkan bunyi gesekan yang cukup menggetarkan hati –
membuat sensasi terasa menakutkan.
“Sayang sekali hanya kau yang datang…” dengan
kasar ia menarik keras rambut Yuto yang telah roboh sebelumnya karena tiba-tiba
dihajar dan tak mendapat sedikitpun kesempatan untuk membalas ataupun hanya
sekedar untuk mempertahankan diri.
“Ehmm… ehmm…,”
Sebuah suara terdengar dari sudut satunya – suara
eraman Yui yang telah diikat dan dibekap di pojok.
Gadis itu melihat semuanya…
Melihat bagaimana pemuda yang selama ini mengejar
cintanya telah dihajar di depan matanya – ia mulai tak tega.
“Hentikan!!” Ayaka mencoba memberanikan diri dan
berlari ke arah sosok yang masih belum dikenalnya – mencoba menjauhkan Yuto
agar tak lagi disakiti.
“PLAAKK…”
Sebuah tamparan keras tepat di muka Ayaka
membuatnya terpental beberapa meter hingga membuatnya terluka.
“Lihat, lihat, lihat… Sepertinya ada seorang gadis
di sini yang begitu mencintaimu,” sekali lagi ia bicara pada Yuto yang sudah
tak ada lagi tenaga untuk bangkit mengingat beberapa jam lalu ia juga telah
menjalani pertarungan yang sangat menguras tenaganya.
“Bagaimana kalau kita sedikit bermain?” sebuah
pertanyaan yang terkesan begitu mengerikan…
“DEEGGHH”
Yuto kaget melihat apa yang dilakukan oleh sosok
di depannya itu.
Sebenarnya Yuto sadar kenapa sosok itu melakukan
ini padanya – sadar karena Yuto mengenal pasti sosok yang ada di depannya itu.
“Mana yang akan kau selamatkan?”
Yuto terperangah…
Memandangi dua pistol yang diarahkan pada dua
sosok yang berbeda – Yui dan Ayaka.
“Hahahaha… ini sangat menyenangkan…”
“Akan aku biarkan kau memilih salah satu di antara
mereka”
Yuto hampir saja menunjuk Yui ketika sosok itu
mulai kembali bicara. “Dan satunya yang tidak kau pilih akan kubunuh dengan
pistol ini.”
Ia kembali terdiam. Sedikit kesulitan menentukan
pilihan tersebut mengingat satu nyawa akan melayang jika ia memilih salah satu.
“Kau boleh menembakku asal kau biarkan ia dan yang
lain pergi dengan selamat,” dengan lemas gadis itu menyampaikan kesediaannya
untuk dikorbankan.
“Ayaka…”
Yuto semakin bimbang mengingat kembali betapa
gadis itu sangat mencintainya – sedari dulu. Tapi…
Yui…
===================
TO BE CONTINUED
===================
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^