Hey!Say!JUMP Fanfiction
(Indonesia)
AISHITERUKARA / BECAUSE I
LOVE U (PART 13)
Author : Rin Fujiyama
Genre : Romance, Friendship,
Action
Rating
: PG-15
*********************
Part sebelumnya:
Yuto hampir saja menunjuk Yui ketika sosok itu
mulai kembali bicara. “Dan satunya yang tidak kau pilih akan kubunuh dengan
pistol ini.”
Ia kembali terdiam. Sedikit kesulitan menentukan
pilihan tersebut mengingat satu nyawa akan melayang jika ia memilih salah satu.
“Kau boleh menembakku asal kau biarkan ia dan yang
lain pergi dengan selamat,” dengan lemas gadis itu menyampaikan kesediaannya
untuk dikorbankan.
“Ayaka…”
Yuto semakin bimbang mengingat kembali betapa
gadis itu sangat mencintainya – sedari dulu. Tapi…
Yui…
===================
PART 13
===================
“Nakayama-san…”
Yuto mendesis pelan. “Akhirnya tiba juga waktu
bagimu untuk melakukan semua ini,” pemuda itu menunduk dalam – bergumam lirih –
tak menyangka sosok di hadapannya itu telah benar-benar berani melakukan hal
itu padanya – upaya pengambilalihan kepemimpinan Yakuza dengan menghabisi semua
yang menentangnya.
“Kau masih ingat semua ternyata. Biarpun saat itu
kau baru 4 tahun,” sosok itu memainkan pistol di dua tangannya – memutar-mutar
tempat peluru tuk mendapatkan sensasi kesenangan menyaksikan raut ketakutan
pada wajah anak-anak muda di sekitarnya itu.
Yuto sadar…
Mengingat kembali pengalamannya di masa lalu.
12 tahun lalu Kei Yamada dengan telak mengalahkan
Yuma Nakayama untuk menempati posisi pimpinan besar Yakuza. Kejadian itu
membuat geng itu terpecah menjadi dua biarpun mayoritas masih memihak pada
Kei-sama.
Tapi…
Berita tentang kejadian kemarin pastilah telah
sampai di telinga Nakayama hingga membuatnya berani mengambil tindakan semacam
ini.
“Kau sudah besar, Yuto. Sebenarnya incaran utamaku
adalah Ryosuke. Kau tau sendiri, aku harus menghabisi kalian semua tuk
mengembalikan kembali kehormatanku.”
Ia kembali berucap, “Atau lebih tepatnya, aku
cukup membunuh anak itu agar semua anak buah yang memihak Kei sudah tak ada
pilihan lain selain ikut setia padaku.”
“Membunuh Ryosuke… Anak itu adalah duri yang harus
aku singkirkan dari jalan ini. Tapi tetap saja aku tak kan mampu membunuhnya
sebelum membunuh kalian. Jadi…” ada sedikit jeda dalam kata-kata tersebut…
“Salahkan sahabat kalian itu karena aku membunuh
kalian sebatas karena keterpaksaan.”
“JGLLEEKK…”
Wadah peluru itu telah kembali pada tempatnya –
tidak lagi diputar-putar sebagai mainan.
“Obrolannya sampai di sini saja. Kita lanjutkan
kembali permainan kita,” seringai menghias di wajah sosok itu – kembali
mengarahkan dua ujung pistol itu pada Yui dan Ayaka.
Ayaka kembali berdiri…
“Yuto-kun, daijoubu…,” gadis itu terlihat pasrah.
“Aku rela pertaruhkan nyawaku asal Yuto-kun selamat,” senyum lemaspun
dilayangkan sebagai jawaban kesedihan si gadis – sedih mengingat ia memang tak
kan pernah bisa bersama dengan pria yang begitu dicintainya itu – teramat
mencintainya hingga nyawapun akan diberikannya jika Yuto memintanya.
“Jadi?!” Nakayama Yuma meminta jawaban – memandang
tajam mata Yuto yang juga tengah memberikan tatapan yang sama.
“Tujuanmu adalah untuk menghabisi kami. Mereka tak
ada hubungannya. Bunuh saja aku!!” tak disangka-sangka, pemuda yang biasanya
pengecut itu mampu mengatakan kata-kata itu dengan mantap – tak ada sedikitpun
keraguan.
Nampak jelas di mata Yuto – mata yang kali ini
nampak begitu tajam, tak gentar menantang maut.
“Bunuh saja aku!! Tapi lepaskan mereka!” sekali
lagi Yuto berkata dengan tegas sambil memandangi Yui, Ayaka, dan tubuh terkulai
Hikaru – memandangi mereka bergantian.
Yuma Nakayama…
Pria yang masih dengan dingin memegangi pistolnya,
terlihat mulai serius – serius untuk menghabisi nyawa siapapun sesuai
keinginannya – sesukanya.
Pelatuk itu hampir saja ditariknya…
Yutopun terlihat memandang terkejut saat jemari
itu mulai bergerak dengan begitu perlahan – memandang penuh ketakutan andai
manusia bernama Yuma itu akan benar-benar menghabisi nyawa orang-orang di
sekitarnya itu.
“Braakk…”
Tiba-tiba beberapa orang berjas hitam memasuki
tempat itu dengan buru-buru.
“Bos, mereka datang…,” orang-orang yang tak lain
adalah bawahan Yuma-sama itu terlihat sedikit ketakutan saat mengetahui
anak-anak mantan petinggi Yakuza telah mendatangi tempat itu – dikatakan mantan,
mengingat bahwa para petinggi itu telah dihabisi oleh Kei-sama –
petinggi-petinggi yang tak lain adalah ayah dari Yuto dan yang lain.
“Kita pergi sekarang,” komando dari Yuma membuat
kaki-kaki itu segera melangkah dengan cepat – menyadari bahwa anak-anak yang
datang itu bukanlah orang-orang yang akan dengan mudah mereka hadapi dalam
kondisi semacam ini.
Tubuh-tubuh itupun berlalu – keluar dari pintu
belakang – meninggalkan Yuto, Hikaru, Ayaka, dan Yui, beserta sebuah bom waktu
yang tak seorangpun menyadarinya.
“Yuto-kun…” Sora segera membantu Yuto tuk bangkit,
segera setelah memasuki tempat itu.
Sedari tadi, gadis itu terus mengamati situasi
hingga akhirnya memutuskan untuk kembali dan memberitahu yang lain. Biarpun ia
juga sangat mengkhawatirkan kondisi Yuto saat itu, tapi ia tak ingin bertindak
bodoh yang pada akhirnya hanya akan merugikan mereka sendiri.
Tidak mudah bagi Sora untuk meyakinkan perasaannya
bahwa Yuto akan baik-baik saja saat gadis itu memutuskan untuk kembali tadi –
benar-benar tidak mudah…
Yuri, Keito, Ryutaro, dan Yuya berturut-turut
datang dan memasuki ruang yang sama dengan gadis yang membawa mereka ke tempat
itu – Sora.
Tiba-tiba…
“Suara ini…”
Ryutaro menggumam pelan seketika setelah memasuki
tempat itu.
Pandangan mata Ryutaro langsung beralih.
Dilihatnya sebuah bom terikat kuat di tempat yang begitu dekat dengan posisi
mereka sekarang.
Ya…
Di antara yang lain, memang Ryulah yang paling
ahli mengenai bom dan segala yang berkaitan dengan itu.
Hanya dengan melihat sekilas, pemuda itu sadar…
Garis kehidupan mereka tinggal sejengkal dari
jurang kematian.
“Minna… Segera keluar dari tempat ini... Ada bom…”
pemuda itu segera berteriak memperingatkan.
Semuanya terkejut…
Belum sempat seorangpun berkomentar, ledakanpun
seketika memberikan jawaban atas kebingungan mereka beberapa detik lalu.
Duooorr…
Tempat itu seketika runtuh…
“Ayaka…”
Teriakan itu terdengar sesaat sebelum bom meledak…
Dan setelahnya…
“Arrgghh…”
Pemuda itu berteriak kesakitan. Kakinya tertindih
runtuhan tadi – sebuah luka yang teramat memprihatinkan…
Gadis di samping pemuda itupun mulai tersadar
setelah sesaat lupa dengan ledakan yang barusan terjadi – amnesia singkat
karena syok tiba-tiba.
Ia terperangah…
Sadar bahwa pemuda tadi telah menyelamatkannya
dari ledakan barusan – melindungi tubuh si gadis agar tak terluka sedikitpun –
melindunginya entah karena alasan apa…
“Yuto…” Ayaka menggumam pelan, sebelum akhirnya
sadar bahwa pemuda itu bukanlah Yuto yang baru saja ia sebut namanya.
“Aarrgghh…” pemuda itu terus berteriak kesakitan –
masih tak kuasa menarik kakinya dari tindihan reruntuhan itu.
Si gadis hanya terus memandang tanpa tau harus
melakukan apa – matanya kini malah berkeliling – mencari keberadaan pemuda yang
dikasihinya – Yuto.
“Yui-chan, daijoubu?”
Ayaka melihatnya…
Di pojok itu, kemesraan Yuto dengan sahabatnya,
Yui.
Ia terus menatap lama dua sosok itu dan tanpa
sadar air matanyapun kembali mengalir…
“Yuri…” bergegas Ryutaro berlari ke arah Yuri yang
daritadi terus berteriak – berlari setelah memastikan semua baik-baik saja…
Yuya berhasil melindungi Hikaru saat ledakan tadi,
dan Hikarupun kini telah mulai tersadar.
Sementara Yuto, ia masih berdua… berdua dengan Yui
– mengkhawatirkan gadis itu.
Sorapun terlihat baik-baik saja dan hanya berdiri
memandang yang lain…
“Yuri, bertahanlah…”
Ryutaro mengeluarkan semua tenaganya untuk
mengangkat reruntuhan yang menindih kuat kaki Yuri. Sesaat ia menatap tajam
sosok Ayaka yang terlihat menangis menatap lurus pada Yuto dan Yui.
“Cciihh…”
Entah apa yang ada dipikiran pemuda itu, tapi
sepertinya ia sedikit marah – tau bagaimana tadi Yuri berusaha secepat mungkin
melindungi si gadis tanpa sedikitpun takut tubuhnya sendiri akan terluka.
Ryu sebenarnya cukup geram memandangi Ayaka yang
tak sedikitpun memberikan perhatian pada pemuda yang baru saja menyelamatkannya
hingga rela terluka seperti sekarang ini. Tapi… Ini bukanlah saat yang tepat
untuk membesar-besarkan masalah itu. Yang terpenting saat ini bagi Ryu adalah
segera memberikan Yuri perawatan yang layak.
“Daijoubu… daijoubu…” Ryutaro terus mencoba menenangkan
Yuri yang masih dengan erat memegangi kaki kirinya yang terlihat terluka begitu
parah…
Sementara Yuya yang melihat kejadian itu segera
menyiapkan mobil dan segera melaju membawa pemuda yang terluka itu ke rumah
sakit.
===================
===================
1 minggu kemudian…
“Demi apapun… tolong jangan lagi dekati aku! Atau
aku akan benar-benar membencimu!!” ia berteriak penuh amarah.
Sudah tak tahan lagi…
Gadis itu benar-benar sudah tak tahan lagi…
“Pergi…” teriakan penuh luapan emosi itu kembali
terdengar menggema di telinga pemuda itu.
Demi apapun, lebih baik batinnya tersiksa karena
melepas orang yang sebenarnya begitu dicintainya.
Rela melepaskannya daripada harus kehilangan
sahabatnya sendiri.
“Yui-chan…”
Yuto tak tau harus merespon apa. Gadis di
hadapannya itu terlihat teramat marah saat mengatakan kata-kata barusan.
“Apakah memang harus berakhir seperti ini?” pemuda
itu sekali lagi bertanya.
Tapi…
Gadis yang ditanya malah melangkah pergi dan
berlalu begitu saja dari pandangan Yuto yang masih terdiam berharap mendapatkan
jawaban.
“Yui-chan… matte yo…,” kaki jenjang Yuto segera
melangkah cepat mencoba menggerakan lengannya untuk meraih tangan Yui.
“Matte…” lengan itupun berhasil diraihnya…
Baru saja Yuto hendak bersuara, tapi mulutnya
hanya terbuka tanpa adanya kata-kata susulan karena sebuah tamparan telah
mendarat telak di pipinya hingga meninggalkan bekas yang teramat jelas di pipi
pemuda itu.
“Aku jijik denganmu!!” kata-kata bernada keras itu
sekali lagi telah berhasil menusuk hati pemuda itu hingga membuatnya tak lagi
mampu menopang tubuhnya – terduduk lemas memandangi punggung Yui yang berlalu
pergi.
“Yuto-kun, gomenasai…” batin Yui setelah sempurna
berlalu dari hadapan pemuda itu.
Ia menangis…
Yui menangis terisak…
Si gadis masih berusaha untuk meyakini
keputusannya itu.
Tapi… ini benar-benar menyakitkan…
Gadis itu tak menyangka, membohongi perasaan
sendiri akan sesakit ini…
Apalagi…
Demi apapun, Yui telah benar-benar berhasil
menghancurkan perasaan Yuto.
“Apakah semua yang kulakukan ini sudah benar?”
masih saja ia membatin gundah…
Iapun hanya mampu terus tenggelam dalam isakan
tangisnya.
Hingga…
Tiba-tiba sebuah suara terdengar…
“Menangislah sepuasnya sampai hatimu lega…,”
Sebuah tangan terulur dengan sapu tangan di ujung
jemarinya.
Yui memaksa kepalanya untuk terangkat – mencoba
memandang sosok yang mengulurkan sapu tangan itu padanya.
“Semua akan baik-baik saja. Percayalah” si pemberi
sapu tangan itu tersenyum – tersenyum dan segera melangkah pergi setelah si
gadis meraih sapu tangan yang barusan diulurkannya.
“Keito-kun…”
“Arigatou…”
===================
===================
Hari ini Ayaka dan Hikaru pamit untuk kembali
pulang ke rumah. Begitu juga dengan Emi.
Tapi…
Sedari tadi mereka masih menunggui Yui yang
beberapa saat lalu mengatakan ingin pulang bersama mereka tapi sampai detik ini
masih belum kembali setelah sempat diajak keluar oleh Yuto.
“Yui-chan, daijoubu?” Emi khawatir melihat wajah
kusut Yui yang baru saja datang. Sayang… Yang ditanya malah tak merespon
pertanyaan dari sahabatnya barusan.
Gadis itu malah langsung mendekati Ayaka dan
memegang erat-erat dua telapak tangan Ayaka.
“Kau tak perlu khawatir… Aku tak akan lagi
mendekati Yuto. Percayalah…”
“Jadi…” Yui kembali menangis…
“Jangan pernah bilang kau tak ingin lagi menjadi
sahabatku,” tanpa meminta ijin, Yui langsung memeluk erat badan Ayaka yang
masih menatapnya sedih.
Sambil terus memeluk tubuh itu, Yui masih saja
menangis meminta maaf…
“Jangan lagi bilang kau rela mati asal Yuto
bahagia hidup denganku. Aku tak akan memaafkanmu jika kau mengatakan itu lagi!”
Ayaka hanya diam terpaku…
Ia merasa bersalah atas semua sikapnya seminggu
ini yang selalu mendiamkan Yui tanpa mau diajak bicara sedikitpun olehnya.
“Kita adalah sahabat. Tak ada yang namanya mantan
sahabat, ne?!”
Dengan terisak, Ayaka akhirnya menggerakkan kedua
lengannya untuk membalas pelukan Yui.
“Gomen ne, Yui-chan”
Hikaru dan Emi yang juga menyaksikan drama itu
dari awal, ikut tersenyum lega akhirnya dua sahabat itu telah kembali seperti
dulu – kembali sebagai sahabat karib tak terpisahkan.
===================
“Jadi kalian sudah mau pulang sekarang?”
“Iya… Orangtua kami akan segera kembali, jadi kami
harus segera pulang. Lagi pula, Kouta-sensei sudah kembali beraktivitas di
sekolah, karena itu kami juga harus segera kembali bersekolah,” Hikaru menjawab
pertanyaan Yuya barusan dengan lengkungan senyum di bibirnya. “Kau tak pulang?”
kini ia yang balik bertanya.
Yuya tersenyum membalas senyum Hikaru…
“Aku akan menemani Zashi untuk sementara sampai
semua kembali normal. Setelah itu, aku baru bisa kembali bersekolah dengan
tenang. Dia dan adiknya sedang bersembahyang ke makam ayah mereka sekarang,”
sekali lagi senyuman terpampang damai di wajah sangar Yuya Takaki biarpun jujur
hatinya juga ikut sakit melihat kesedihan di raut wajah Zashi semenjak
kepergian ayahnya.
“Sampaikan salam kami pada yang lain…,” kalimat
itu mengakhiri pembicaraan mereka kala itu.
Hikaru, Ayaka, Yui, dan Emi, akhirnya kembali
pulang ke rumah mereka…
===================
===================
“Hm… Dia pergi…”
Dari balik pintu itu, Yuri memandang sedih
kepergian Hikaru dan yang lain – atau lebih tepatnya, kepergian Ayaka.
Ia kembali melangkah lemas ke ranjangnya –
melangkah dengan sebuah tongkat penopang badan mengingat kaki kirinya masih belum
bisa digunakannya untuk berjalan.
Ia terduduk di ranjangnya…
Memandangi sebuah perban yang melilit kuat
membungkus kaki kirinya dari bawah lutut hingga mata kaki.
Pemuda itu masih mengingat semuanya.
Mengingat luka yang dideritanya demi melindungi gadis
yang diam-diam disukainya tanpa sepengetahuan si gadis.
Tanpa sadar, air matanya mulai berlinang.
“Seperti inikah perasaanmu saat melihat
kebersamaan Yuto dengan orang lain?”
Yuri memegangi jantungnya…
Terasa begitu sakit karena si gadis terang-terangan
menyukai orang lain tanpa sedikitpun meliriknya – tak sedikitpun melirik bahkan
setelah pengorbanan yang diberikan pemuda itu.
“Hapus air matamu, Yuri…” sebuah lengan tiba-tiba
menepuk ringan pundak pemuda yang tengah menangis itu.
“Ryosuke…” buru-buru Yuri menghapus air mata yang
membasahi wajahnya barusan – menghapusnya hingga tak tersisa sedikitpun.
Yuri tak tau, sejak kapan sahabatnya itu ada di
kamarnya. Bahkan, sejak tadi ia tak sedikitpun menyadari kalau ada orang yang
membuka pintu kamarnya itu.
“Bukankah kau masih harus istirahat? Kenapa malah
ke sini?” Yuri memprotes.
Dan orang yang diprotespun malah memberikan
tatapan mautnya, biarpun masih ada kesan lemah dalam tatapan itu.
“Tak boleh ya?”
“Eh, bukan begitu…,” Yuri menjadi salah tingkah –
raut wajahnya terlihat sudah kembali cerah, nampak tak seperti orang yang habis
menangis.
“Aku tau perasaanmu pada gadis bernama Ayaka itu,”
wajah Ryosuke tiba-tiba berubah serius.
“Tapi… Ada hal yang lebih penting harus kita
pikirkan daripada hanya menangis menyesali cinta bertepuk sebelah tangan,”
kata-kata Ryosuke barusan sangat mengena di hati Yuri.
Memang benar…
Ini bukan waktu yang tepat untuk merenungi masalah
cinta.
Yuri paham apa maksud Ryosuke. Nakayama Yuma telah
kembali. Hal itu berarti, sekali lagi mereka akan menghadapi kehidupan yang
jauh dari kata tenang.
“Kita harus kembali ke sekolah…”
Seakan memahami pemikiran Ryosuke, Yuripun
terlihat bersiap untuk kembali ke sekolah mereka detik itu juga.
Kenapa?!
Yah…
Karena manusia laknat bernama Nakayama Yuma itu
pasti akan kembali menggunakan orang yang mereka kenal untuk memancing mereka.
Bisa jadi Yui akan diculik lagi, atau bisa juga
yang lain…
“Apa memang harus sekarang juga?” sesaat Ryosuke
melihat wajah Yuri yang memang teramat serius dengan kata-katanya barusan.
Bagi Yuri,
Kejadian minggu lalu yang hampir merenggut nyawa
Ayaka, tentunya tak lagi ingin hal serupa terulang lagi.
Ia benar-benar tak akan membiarkan hal itu terjadi
lagi – menempatkan gadis itu dalam bahaya yang serupa atau bahkan lebih dari
itu.
Ryosukepun menyadari perasaan dan pemikiran
sahabatnya itu.
“Baiklah…”
“Aku akan beritahu yang lain kalau kita akan
keluar dari rumah sakit hari ini juga,” pemuda bertitel Yamada Ryosuke itupun
hendak melangkah keluar sesaat sebelum tiba-tiba langkahnya terhenti – terhenti
bukan karena orang lain, namun juga bukan karena keinginannya sendiri.
“Ryosuke…”
Yuri seketika bangkit dari ranjangnya – memaksa
tubuhnya yang sudah terjatuh dari ranjang untuk bergerak sedekat mungkin ke
posisi Ryosuke – tak mempedulikan rasa perih di kakinya.
“Baka!! Sakit lagi kah?” pemuda yang lebih pendek
beberapa centi itu terlihat khawatir memandangi sahabatnya yang tengah menahan
sakit sambil memegang ringan dadanya yang masih diperban.
Yah…
Ini memang bukan pertama kalinya hal itu terjadi
dalam seminggu ini. Alasan itu jugalah yang membuat Yuri dengan cekatan segera
memanggil dokter untuk sahabatnya itu.
Dengan terpincang-pincang ia mencoba melangkah
cepat – mengikuti dokter dan perawat yang menopang tubuh sahabatnya itu kembali
ke kamarnya.
“Yuri, doushite?”
Keito yang baru saja datang sehabis membeli
makanan terlihat bingung memandangi Yuri yang berdiri resah di depan kamar
Ryosuke.
“Anak itu…”
“Ah, baka…”
Alih-alih mendapat jawaban, pemuda yang ditanya
malah mengomel sendiri – omelan yang tak jelas maksudnya.
Seakan mulai memahami kegelisahan Yuri, Keitopun
ikut menghela nafas berat, “Yah, bagaimana lagi… anak itu memang tak pernah
bisa dikontrol oleh siapapun – selalu melakukan apapun sesuka dirinya.”
“Ia pasti keluyuran lagi ya tadi?”
Sebuah pertanyaan yang mengalir ringan dari bibir
Keito seakan terjawab hanya dengan mendengar helaan nafas kesal Yuri.
===================
TO BE CONTINUED
===================
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^