Saturday 23 February 2013

Fanfic Aishiterukara 10


Hey!Say!JUMP Fanfiction (Indonesia)

AISHITERUKARA / BECAUSE I LOVE U (PART 10)

Author : Rin Fujiyama
Genre : Romance, Friendship, Action
Rating : PG
Cast : All HSJ membe
Warning : Hati-hati dengan adegan NC di part ini, yo… [jika ada] <<< woe… sedang puasa, oe…

*********************
Part sebelumnya:
Kouta memeluk erat Ryosuke…
“Ibu sangat menyayangimu, Ryosuke. Kau tak pernah tau kan kalau dia sangat menyayangimu?” Kouta berbisik lembut. Membuat adik di pelukannya itu semakin menangis menjadi-jadi – derasnya air mata Ryosuke menyiratkan betapa ia sangat merindukan ibunya – ibu yang tlah tiada…

“Apa yang ibu lakukan selama ini hanyalah untuk melindungimu…”

“Dia sangat menyayangimu melebihi yang pernah kau bayangkan…”

===================
Part 10

Flashback
15 tahun yang lalu

“Apa yang akan kau lakukan pada anakku? Kembalikan dia!!” Yuriko mencoba bangun dari tidurnya – terjatuh dari ranjang hingga membuat darah mengalir keluar dari alat vitalnya.
Wanita itu terlihat begitu lemas – tapi alasan itu tak membuatnya berdiam diri melihat jabang bayi yang baru saja dilahirkannya 5 menit lalu dirampas oleh orang yang begitu membuatnya tak tenang semenjak menikahinya 11 tahun yang lalu.

Bayi itu terus menangis…
Merasakan kepedihan yang tengah dirasakan si ibu yang telah menghidupinya selama dalam kandungan.

“Tou-san… Kembalikan adik. Kasian dia…,” Kouta yang tak tega melihat tangis di wajah ibu dan adiknya segera berlari dan memegangi erat kaki Kei – ayahnya. “Tou-san… Kumohon…”

Kei tetap saja tak bergeming. Tak menghiraukan tiga manusia yang tengah menangis di hadapannya. Tak menghiraukan permohonan dari darah dagingnya sendiri – Kouta.


“Aku salah membiarkan Kouta tumbuh besar dalam pengawasanmu,” akhirnya ia bicara.
“Anak lemah dan pengecut seperti dia, tak layak menjadi penerusku – kau membuatnya jadi anak yang terlalu berperasaan – membuatku merasa jijik…” Kei yang memang dikenal memiliki hati yang teramat keras, tak pernah menyangka putra pertamanya akan mengecewakannya seperti ini – mengecewakan karena tak sedikitpun memiliki kemampuan dan insting sebagai penerus bos besar Yakuza – tumbuh sebagai anak yang begitu lembut di bawah asuhan sang ibu.

“Anak ini akan hidup di bawah didikanku,” Kei memandang lembut pada bayi yang nangkring nyaman di pelukannya – memandangi cukup lama wajah bayi yang kini sudah tak lagi menangis – membuatnya nyaman melihat bayi mungil itu yang kini sudah terlelap tak menghiraukan kebisingan di sekelilingnya.

Kei menendang keras Kouta yang tadi masih memeluki kakinya – membuat anak 10 tahun itu lagi-lagi terlempar – menandakan ayahnya yang memang tak sedikitpun menyayanginya.

“Kalian boleh tetap tinggal di sini…” dari tepi pintu Kei kembali bicara.

“Jika kalian berani mendekati anak ini, kalian akan menyesal,” kalimat itu mengakhiri perselisihan di malam itu…

Flashback, End

===================

“Saat itu, semalaman ibu tak berhenti menangis…,” Kouta semakin erat memeluk Ryosuke dalam dekapannya – pemuda itu senang akhirnya ia bisa bertindak layaknya seorang kakak – bisa memeluk adik yang selama 15 tahun ini belum sekalipun diperlakukannya sebagai seorang adik.

“Beberapa kali ibu sempat mendekatimu sewaktu bayi, tapi ayah selalu mengetahuinya dan akhirnya ayah berulang kali menyiksaku sebagai bentuk ancaman agar kami tak mendekatimu”

“Ia juga mengancam akan membunuhmu jika kami melakukannya lagi…”

Ryosuke masih menangis…
Tak pernah sekalipun terlintas di benaknya bahwa ibu dan kakaknya selama ini berkorban besar demi dirinya – mengorbankan segala perasaan mereka untuk membuatnya tetap aman menjadi penerus keluarga Yamada.

Sementara Emi, gadis itu akhirnya sadar bahwa setiap keluarga memang memiliki masalah. Gadis itu ikut menangis tersedu-sedu mendengar setiap cerita dari kepala sekolahnya itu. Namun, alasan terbesar kenapa hatinya ikut sakit hingga ia tak lagi mampu menahan linangan itu adalah karena tak tega melihat Ryosuke menangis – perasaan yang lagi-lagi tak mampu dipahaminya.

Bbrrrttthhh…
Keitai kepunyaan si gadis bergetar – telepon dari Yui, sahabatnya. Buru-buru Emi mengangkatnya dan tiba-tiba saja rentetan kalimat-kalimat dari Yui segera memenuhi telinganya sebelum ia sempat bicara apapun.

“Gawat…”
Satu kata dari Emi itu membuat kakak beradik Yamada segera memandangnya – menginginkan kejelasan dari kata yang baru saja diucapkannya.

“Yui dapat kabar dari kak Yuya kalau kak Zashi dan yang lain sedang dalam bahaya sekarang!!”

===================

Kediaman keluarga Yamada

“Tolong jangan siksa mereka lebih dari ini, Kei” kepala keluarga Nakajima itu akhirnya menangis memohon – tak lagi tega menyaksikan kedua putranya disiksa di hadapannya. Sementara Okamoto-san dan Tomomi-san juga hanya mampu menunduk dan sesekali memejamkan mata ketika anak-anak mereka juga mendapat siksaan yang sama.

“Aku tak bisa mentolelir segala bentuk pengkhianatan!!”
PLLAAKKK…
Kei kembali mengayunkan cambuknya. Pistol yang sepuluh menit lalu masih nangkring di genggamannya, kini telah diistirahatkannya.
Giliran cambuknya yang sekarang berbicara…

Yuto, Yuri, Keito, Zashi, dan Ryutaro hanya mampu menahan setiap cambukan. Darah segar mengalir dari beberapa sudut badan mereka. Baju merekapun telah terkoyak – menyiratkan betapa keras cambukan yang mereka terima.

Memang itu bukan pertama kalinya mereka mendapatkan hukuman sedemikian rupa.
Sebagai anak Yakuza, hukuman itu memang akan mereka terima setiap kali mereka melakukan hal yang dipandang salah.

Ini kali kedua mereka mendapatkannya…
Mendapatkan rentetan cambukan yang terasa bagaikan sayatan dari sebilah pedang tajam.
Rasa yang tak ingin lagi mereka rasakan semenjak mereka mendapatkan hukuman itu beberapa tahun lalu ketika gagal dalam latihan.

PLAAKK
AARRGGHH…

PLAAKK
AARRGGHH…

PLAAKK
AARRGGHH…

“Kei-sama, tolong hentikan…”

PLAAKK
AARRGGHH…

PLAAKK
AARRGGHH…

Teriakan-teriakan itu terus menderu tiap kali cambuk itu menyentuh kulit mereka dengan kasar.
Tak ada seorangpun yang mampu menghentikan Kei sekarang – perasaannya memang sedang amat tidak bagus saat ini.

Tubuh-tubuh itu akhirnya merosot lemas…
Tak lagi mampu menerima cambukan susulan yang mungkin akan kembali mereka terima.

“Kalian benar-benar payah!” Kei melemparkan cambuk itu ke meja di sampingnya.
“Kurung mereka selama 3 hari dan jangan beri mereka makan!”

===================

Tujuh manusia itu terlihat tegang setelah beberapa menit lalu menyelesaikan pembicaraan di antara mereka. Yuya, Hikaru, Ayaka, Yui, Emi, Kouta, dan Ryosuke – ketujuhnya merasakan kekhawatiran yang sama sekarang.

“Aku akan tetep pergi menyelamatkan mereka…,” Yuya beranjak dari duduknya – merasakan gadis yang dicintainya mungkin sedang dalam bahaya, membuatnya sangat tak tenang.
Sementara Kouta yang juga menyukai gadis yang sama, iapun bangkit dan segera berdiri sejajar dengan Yuya.

“Ini semua salahku, biar aku yang mengurusnya. Akan berbahaya buat kalian jika nekad” Ryosuke ikut beranjak dari duduknya. Raut wajahnya terlihat begitu merasa bersalah.
Pemuda itu sadar betul apa yang pastinya telah terjadi pada sahabat-sahabatnya. Memikirkan hukuman berat yang telah diterima sahabat-sahabatnya membuatnya semakin merasa bersalah menempatkan mereka dalam posisi itu.

“Sebagai kakak, aku tak kan membiarkanmu pergi sendiri” Kouta menepuk ringan pundak kanan Ryosuke – menyadari bahwa ayahnya memang tak kan begitu saja melepaskannya setelah insiden beberapa jam lalu – pemuda itu tak ada pilihan lain. Ia tak kan lari – mungkin ini akan jadi kesempatan terakhirnya untuk bisa melindungi adiknya.

===================

“Aarrgghh… sakit… sakit sekali…,” Ryutaro tak henti-hentinya mengeluhkan sakit. Sementara Yuri dan Keito, keduanya hanya mampu menahan setiap perih yang menyelimuti badan mereka.

Mereka berlima tengah dikurung dalam ruang hukuman sekarang.

Yuto terus menangis lirih…
Tak kuasa melewati detik demi detik dengan luka perih yang menganga seperti itu.

Penampilan mereka semakin kacau. Baju-baju itu sudah tak lagi layak tuk dikenakan – namun kelimanya tak ada pilihan lain mengingat dinginnya ruangan yang tengah mereka tempati – menahan rasa sakit sekaligus dingin, membuat orang yang tak berhati kuat akan lebih memilih mengakhiri hidup detik itu juga.

Zashi berusaha duduk tegak dan mengelus setiap pinggir luka para pemuda itu – memberi mereka sedikit kenyamanan. Wajar baginya untuk bersikap lebih kuat mengingat ia yang paling tua – tanggung jawab yang diembannya untuk bisa selalu menjaga pemuda-pemuda itu…

CCKKRREEKK…
Suara pintu ruang hukuman terbuka…
Dengan lemas kelimanya memandangi sosok gadis yang hanya mampu mereka lihat bayangannya itu.

“Apakah hukuman ini belum cukup?” Yuri bertanya lemas – tak lagi mampu berpikir andai mereka harus kembali disiksa.

Tangan itu mengayun perlahan.
Melemparkan sebuah botol kecil ke arah kelimanya.
Zashi dengan sigap menangkap botol itu dan segera kembali mengarahkan pandangan pada sosok di balik kegelapan yang belum mampu dikenalinya itu.

“Obati luka kalian,” suara itu mengalir mengiringi langkah kaki oknum dari kegelapan itu yang berjalan pasti meninggalkan mereka.

“Sora…” hanya nama itu yang muncul di benak mereka – menyadari benar siapa pemilik suara barusan.

===================

KKKRRSSKK…
Sssttt…

KKKRRSSKK…

Manusia-manusia itu berjalan perlahan mengendap-endap di gelapnya malam kala ini.
“Kenapa kalian semua juga ikut?” Yuya memprotes teman-temannya yang diam-diam mengikuti mereka ke tempat itu beberapa saat yang lalu.
Hikaru, Ayaka, Emi, dan Yui, sebagai oknum tertuduh, mereka hanya bisa nyengir kuda – tak tau harus merespon apa.

“Jangan berisik…” Ryosuke kembali mengingatkan manusia-manusia itu bahwa sekarang mereka sedang berada di sarang harimau – kenekadan mereka tak lain hanyalah ingin menyelamatkan Zashi dan lainnya.

Mereka terus melangkah perlahan…
Mengikuti setiap langkah Ryosuke sebagai oknum yang paling mengenal lokasi itu.

DDEEGGHH…
Ia berhenti – membuat manusia-manusia lain yang mengikutinyapun ikut berhenti.

“Kak Zashi dan yang lain pasti sedang dikurung di ruang hukuman itu,” telunjuk Ryosuke terangkat pelan – mengisyaratkan yang lain untuk memandang arah yang ditunjuknya.

“Yuto-kun…” Ayaka bicara lirih – merasa khawatir andai hal buruk telah terjadi pada orang yang disukainya itu.

“Zashi…” Yuya dan Koutapun tak kalah khawatir dibanding Ayaka.
“Matte yo… Kami akan menyelamatkan kalian.”

===================

“Yuri, sekarang giliranmu.” Zashi memberi komando pada pemuda chibi itu untuk membuka bajunya. Gadis itu telah selesai mengoleskan obat ke badan tiga pemuda lainnya dan sekarang giliran Yuri.

Jemari lembut Zashi segera mengobati luka-luki Yuri, perlahan. Sementara itu, Ryutaropun membuka baju Zashi dan ikut mengoleskan obat itu di badan kakaknya.
Dilihatnya bra itu telah terputus akibat cambukan yang begitu keras. Biarpun ia sering bertengkar dengan kakaknya itu, hatinya begitu sakit tiap kali melihat ada luka di badan kakaknya yang begitu halus.

“Sakit ya?” Ryutaro mengelus lembut punggung Zashi – membuat gadis itu sedikit mengerang geli – melupakan sementara segala sakit yang dirasa.
Dari awal Zashi memang tak pernah mengeluh di hadapan mereka. Tapi… siapapun pasti tau, ia pasti tramat kesakitan sekarang. Apalagi ia adalah seorang wanita yang tentunya tak memiliki kulit setebal pemuda-pemuda itu.

DDOOGGHH…

Mereka berlima terkaget…

DDOOGGHH…
Jeruji besi yang menghalangi jendela di atas mereka seakan diketuk seseorang dari luar – diketuk dengan sedikit paksa, menyiratkan agar jeruji-jeruji itu bisa terlepas.

“Zashi…”
Jendela yang akhirnya terbuka menganga itu membuat kelimanya terus memandang ke arah tersebut.

Sebuah tangan terulur…
Dibarengi sebuah wajah yang sekarang mampu dilihat kelimanya dengan jelas.

“Yuya…” Zashi segera bangkit dan membantu yang lainnya untuk bangun.
Tanpa menanyakan apapun, merekapun satu per satu meraih tangan itu – menyadari bukan hal bagus jika mereka menyia-nyiakan kesempatan ini.

Kelimanya telah bebas sekarang.

Buru-buru mereka meninggalkan tempat itu tanpa memikirkan untuk menumpahkan kekangenan menyadari bahaya yang akan datang jika mereka berlama-lama.

NNGGIIUUNNGG…
Sirine itu berbunyi…
Membuat lampu-lampu di seluruh bangunan itu dinyalakan.

“Gawat… Kita ketahuan!!”

===================

Kedua belas anak itu terus berlari menghindari kejaran dari para Yakuza itu.
“Yuto-kun, bertahanlah…” Ayaka terus memapah Yuto – menopangnya agar terus melanjutkan langkahnya, mencari tempat yang aman. Sementara Yuto yang sebenarnya daritadi melirik Yui, tak kuasa berbuat banyak sekarang mengingat kondisi badannya yang sudah luar biasa sakit…

Yuya menggendong Zashi di punggungnya…
Tak tega memandangi gadis yang dicintainya itu merintih sakit setiap kali tubuhnya digerakkan.

Kouta mengikhlaskan sejenak Yuya bermesraan dengan Zashi. Hanya lari dari tempat itulah pikiran yang ada di kepalanya sekarang.

Gerakan mereka begitu lambat…

Menyadari itu, Ryosuke segera menarik Ryutaro – yang tadi dipapah Emi – dan lekas menggendongnya.
Koutapun segera mengambil alih badan Keito yang mulai lemas berlarian dalam papahan Yui, menarik badan itu dan dengan segera meletakkan di punggungnya seperti yang lainnya.

Hikaru, sebagai satu-satunya pria sehat yang tersisa, iapun paham yang dipikirkan teman-temannya. Dalam sekejap, Yuto telah berpindah dan nangkring nyaman di gendongannya, sementara Yuri yang memiliki badan paling chibi, harus ikhlas nangkring di punggung Yui – gadis berpostur paling tinggi di situ.

Kini mereka berlari semakin cepat.
Menyadari para pengejarnya itu masih belum berhenti mengejar mereka, merekapun terus lari dan akhirnya berhasil meraih mobil mereka dan segera memacunya cepat…

DDOOORRR…
Letuhan pistol menghujani mereka.
Pengejaran masih saja belum selesai…

DDOORRR…

CCIIITTT…

DDOORRR…

Yuya masih memacu mobilnya kencang. Mencoba memainkan setirnya untuk menghindari kejaran mobil di belakangnya.

“Ayo, cepat… Pacu lebih cepat lagi…” Yui yang ada di mobil yang sama, tak henti-hentinya mengucapkan kata itu. Wajar bagi gadis muda sepertinya panik ditembaki sedemikian rupa.
Sementara Hikaru yang mengemudikan mobil di depan, tak kalah panik memandangi spionnya – khawatir memandangi sahabatnya ditembaki seperti itu.

“Tak bisa dibiarkan…” Ryosuke yang berada satu mobil dengan Hikaru, akhirnya gerah melihat itu semua. Jujur, ia sudah menahan amarahnya sedari tadi. Dan kini…
Kesabarannya telah habis…

DDOOORRRR…
DDOOORRRR…
Dua tembakan yang berasal dari mobil Hikaru itu membuat orang-orang di mobil itu kaget seketika.
Sosok Ryosukelah yang barusan melepaskan tembakan. Tembakan yang diarahkannya ke ban-ban mobil para pengejarnya itu sukses membuat mobil-mobil itu kehilangan keseimbangan dan menabrak pembatas jalan.

Tak ada seorangpun yang tau darimana pemuda itu memperoleh pistol yang dipegangnya kali ini.
Tapi setidaknya, itu mampu menyelamatkan mereka kali ini…

Syukurlah…

===================

Hari telah pagi…
Mataharipun telah bersinar terang di negeri yang pertama kali memperoleh sinar mentari ini setiap harinya.

Yui, Ayaka, dan Emi, mereka sibuk memasak di dapur. Sesekali memandangi sembilan orang yang masih tertidur pulas setelah kejadian menegangkan semalam.
Pengalaman seperti itu…
Sekalipun mereka tak pernah memikirkannya. Bagaimanapun juga, mereka hanyalah anak-anak yang baru saja lulus SMP dan memulai hidupnya di dunia anak SMA.

Kepergian mereka tanpa pamit, tentunya tak akan menjadi masalah mengingat orangtua mereka sedang tidak tinggal bersama mereka – orangtua yang selalu sibuk dengan karirnya hingga memilih meninggalkan anak demi meraih apa yang diinginkan – meninggalkan untuk sementara tentunya.

“Hm… Oishii…” Emi berkomentar – mencicipi sedikit kuah sayur buatan Yui. Sementara Ayaka, gadis itu masih sibuk menggoreng ikan dengan sesekali mencuri pandang ke arah Yuto.

CCLLLEEEKKK…
Pintu depan terbuka…
Ketiga gadis itu seketika mengarahkan bola mata mereka ke sumber suara.

“Ternyata kalian di sini…”

DDEEEGGHH…

“Kau…”

===================

TBC ^^v

No comments:

Post a Comment

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers