Hey!Say!JUMP Fanfiction (Indonesia)
AISHITERUKARA / BECAUSE I LOVE U (PART 10)
Author : Rin Fujiyama
Genre : Romance, Friendship, Action
Rating : PG
Cast : All HSJ
membe
Warning : Hati-hati dengan adegan NC di part ini, yo… [jika ada]
<<< woe… sedang puasa, oe…
*********************
Part sebelumnya:
Kouta memeluk erat Ryosuke…
“Ibu sangat menyayangimu, Ryosuke. Kau tak pernah tau kan
kalau dia sangat menyayangimu?” Kouta berbisik lembut. Membuat adik di
pelukannya itu semakin menangis menjadi-jadi – derasnya air mata Ryosuke
menyiratkan betapa ia sangat merindukan ibunya – ibu yang tlah tiada…
“Apa yang ibu lakukan selama ini hanyalah untuk
melindungimu…”
“Dia sangat menyayangimu melebihi yang pernah kau bayangkan…”
===================
Part 10
Flashback
15 tahun yang lalu
“Apa yang akan kau lakukan pada
anakku? Kembalikan dia!!” Yuriko mencoba bangun dari tidurnya – terjatuh dari
ranjang hingga membuat darah mengalir keluar dari alat vitalnya.
Wanita itu terlihat begitu lemas
– tapi alasan itu tak membuatnya berdiam diri melihat jabang bayi yang baru
saja dilahirkannya 5 menit lalu dirampas oleh orang yang begitu membuatnya tak
tenang semenjak menikahinya 11 tahun yang lalu.
Bayi itu terus menangis…
Merasakan kepedihan yang tengah
dirasakan si ibu yang telah menghidupinya selama dalam kandungan.
“Tou-san… Kembalikan adik.
Kasian dia…,” Kouta yang tak tega melihat tangis di wajah ibu dan adiknya
segera berlari dan memegangi erat kaki Kei – ayahnya. “Tou-san… Kumohon…”
Kei tetap saja tak bergeming.
Tak menghiraukan tiga manusia yang tengah menangis di hadapannya. Tak
menghiraukan permohonan dari darah dagingnya sendiri – Kouta.
“Aku salah membiarkan Kouta
tumbuh besar dalam pengawasanmu,” akhirnya ia bicara.
“Anak lemah dan pengecut seperti
dia, tak layak menjadi penerusku – kau membuatnya jadi anak yang terlalu
berperasaan – membuatku merasa jijik…” Kei yang memang dikenal memiliki hati
yang teramat keras, tak pernah menyangka putra pertamanya akan mengecewakannya
seperti ini – mengecewakan karena tak sedikitpun memiliki kemampuan dan insting
sebagai penerus bos besar Yakuza – tumbuh sebagai anak yang begitu lembut di
bawah asuhan sang ibu.
“Anak ini akan hidup di bawah
didikanku,” Kei memandang lembut pada bayi yang nangkring nyaman di pelukannya
– memandangi cukup lama wajah bayi yang kini sudah tak lagi menangis –
membuatnya nyaman melihat bayi mungil itu yang kini sudah terlelap tak
menghiraukan kebisingan di sekelilingnya.
Kei menendang keras Kouta yang
tadi masih memeluki kakinya – membuat anak 10 tahun itu lagi-lagi terlempar –
menandakan ayahnya yang memang tak sedikitpun menyayanginya.
“Kalian boleh tetap tinggal di
sini…” dari tepi pintu Kei kembali bicara.
“Jika kalian berani mendekati
anak ini, kalian akan menyesal,” kalimat itu mengakhiri perselisihan di malam
itu…
Flashback, End
===================
“Saat itu, semalaman ibu tak berhenti menangis…,” Kouta
semakin erat memeluk Ryosuke dalam dekapannya – pemuda itu senang akhirnya ia
bisa bertindak layaknya seorang kakak – bisa memeluk adik yang selama 15 tahun
ini belum sekalipun diperlakukannya sebagai seorang adik.
“Beberapa kali ibu sempat mendekatimu sewaktu bayi, tapi ayah
selalu mengetahuinya dan akhirnya ayah berulang kali menyiksaku sebagai bentuk
ancaman agar kami tak mendekatimu”
“Ia juga mengancam akan membunuhmu jika kami melakukannya
lagi…”
Ryosuke masih menangis…
Tak pernah sekalipun terlintas di benaknya bahwa ibu dan
kakaknya selama ini berkorban besar demi dirinya – mengorbankan segala perasaan
mereka untuk membuatnya tetap aman menjadi penerus keluarga Yamada.
Sementara Emi, gadis itu akhirnya sadar bahwa setiap keluarga
memang memiliki masalah. Gadis itu ikut menangis tersedu-sedu mendengar setiap
cerita dari kepala sekolahnya itu. Namun, alasan terbesar kenapa hatinya ikut
sakit hingga ia tak lagi mampu menahan linangan itu adalah karena tak tega
melihat Ryosuke menangis – perasaan yang lagi-lagi tak mampu dipahaminya.
Bbrrrttthhh…
Keitai kepunyaan si gadis bergetar – telepon dari Yui,
sahabatnya. Buru-buru Emi mengangkatnya dan tiba-tiba saja rentetan
kalimat-kalimat dari Yui segera memenuhi telinganya sebelum ia sempat bicara
apapun.
“Gawat…”
Satu kata dari Emi itu membuat kakak beradik Yamada segera
memandangnya – menginginkan kejelasan dari kata yang baru saja diucapkannya.
“Yui dapat kabar dari kak Yuya kalau kak Zashi dan yang lain
sedang dalam bahaya sekarang!!”
===================
Kediaman keluarga Yamada
“Tolong jangan siksa mereka lebih dari ini, Kei” kepala keluarga
Nakajima itu akhirnya menangis memohon – tak lagi tega menyaksikan kedua
putranya disiksa di hadapannya. Sementara Okamoto-san dan Tomomi-san juga hanya
mampu menunduk dan sesekali memejamkan mata ketika anak-anak mereka juga
mendapat siksaan yang sama.
“Aku tak bisa mentolelir segala bentuk pengkhianatan!!”
PLLAAKKK…
Kei kembali mengayunkan cambuknya. Pistol yang sepuluh menit
lalu masih nangkring di genggamannya, kini telah diistirahatkannya.
Giliran cambuknya yang sekarang berbicara…
Yuto, Yuri, Keito, Zashi, dan Ryutaro hanya mampu menahan
setiap cambukan. Darah segar mengalir dari beberapa sudut badan mereka. Baju
merekapun telah terkoyak – menyiratkan betapa keras cambukan yang mereka
terima.
Memang itu bukan pertama kalinya mereka mendapatkan hukuman
sedemikian rupa.
Sebagai anak Yakuza, hukuman itu memang akan mereka terima
setiap kali mereka melakukan hal yang dipandang salah.
Ini kali kedua mereka mendapatkannya…
Mendapatkan rentetan cambukan yang terasa bagaikan sayatan
dari sebilah pedang tajam.
Rasa yang tak ingin lagi mereka rasakan semenjak mereka
mendapatkan hukuman itu beberapa tahun lalu ketika gagal dalam latihan.
PLAAKK
AARRGGHH…
PLAAKK
AARRGGHH…
PLAAKK
AARRGGHH…
“Kei-sama, tolong hentikan…”
PLAAKK
AARRGGHH…
PLAAKK
AARRGGHH…
Teriakan-teriakan itu terus menderu tiap kali cambuk itu
menyentuh kulit mereka dengan kasar.
Tak ada seorangpun yang mampu menghentikan Kei sekarang –
perasaannya memang sedang amat tidak bagus saat ini.
Tubuh-tubuh itu akhirnya merosot lemas…
Tak lagi mampu menerima cambukan susulan yang mungkin akan
kembali mereka terima.
“Kalian benar-benar payah!” Kei melemparkan cambuk itu ke
meja di sampingnya.
“Kurung mereka selama 3 hari dan jangan beri mereka makan!”
===================
Tujuh manusia itu terlihat tegang setelah beberapa menit lalu
menyelesaikan pembicaraan di antara mereka. Yuya, Hikaru, Ayaka, Yui, Emi,
Kouta, dan Ryosuke – ketujuhnya merasakan kekhawatiran yang sama sekarang.
“Aku akan tetep pergi menyelamatkan mereka…,” Yuya beranjak
dari duduknya – merasakan gadis yang dicintainya mungkin sedang dalam bahaya,
membuatnya sangat tak tenang.
Sementara Kouta yang juga menyukai gadis yang sama, iapun
bangkit dan segera berdiri sejajar dengan Yuya.
“Ini semua salahku, biar aku yang mengurusnya. Akan berbahaya
buat kalian jika nekad” Ryosuke ikut beranjak dari duduknya. Raut wajahnya
terlihat begitu merasa bersalah.
Pemuda itu sadar betul apa yang pastinya telah terjadi pada
sahabat-sahabatnya. Memikirkan hukuman berat yang telah diterima
sahabat-sahabatnya membuatnya semakin merasa bersalah menempatkan mereka dalam
posisi itu.
“Sebagai kakak, aku tak kan membiarkanmu pergi sendiri” Kouta
menepuk ringan pundak kanan Ryosuke – menyadari bahwa ayahnya memang tak kan
begitu saja melepaskannya setelah insiden beberapa jam lalu – pemuda itu tak
ada pilihan lain. Ia tak kan lari – mungkin ini akan jadi kesempatan
terakhirnya untuk bisa melindungi adiknya.
===================
“Aarrgghh… sakit… sakit sekali…,” Ryutaro tak henti-hentinya
mengeluhkan sakit. Sementara Yuri dan Keito, keduanya hanya mampu menahan
setiap perih yang menyelimuti badan mereka.
Mereka berlima tengah dikurung dalam ruang hukuman sekarang.
Yuto terus menangis lirih…
Tak kuasa melewati detik demi detik dengan luka perih yang
menganga seperti itu.
Penampilan mereka semakin kacau. Baju-baju itu sudah tak lagi
layak tuk dikenakan – namun kelimanya tak ada pilihan lain mengingat dinginnya
ruangan yang tengah mereka tempati – menahan rasa sakit sekaligus dingin,
membuat orang yang tak berhati kuat akan lebih memilih mengakhiri hidup detik
itu juga.
Zashi berusaha duduk tegak dan mengelus setiap pinggir luka
para pemuda itu – memberi mereka sedikit kenyamanan. Wajar baginya untuk bersikap
lebih kuat mengingat ia yang paling tua – tanggung jawab yang diembannya untuk
bisa selalu menjaga pemuda-pemuda itu…
CCKKRREEKK…
Suara pintu ruang hukuman terbuka…
Dengan lemas kelimanya memandangi sosok gadis yang hanya
mampu mereka lihat bayangannya itu.
“Apakah hukuman ini belum cukup?” Yuri bertanya lemas – tak
lagi mampu berpikir andai mereka harus kembali disiksa.
Tangan itu mengayun perlahan.
Melemparkan sebuah botol kecil ke arah kelimanya.
Zashi dengan sigap menangkap botol itu dan segera kembali
mengarahkan pandangan pada sosok di balik kegelapan yang belum mampu
dikenalinya itu.
“Obati luka kalian,” suara itu mengalir mengiringi langkah
kaki oknum dari kegelapan itu yang berjalan pasti meninggalkan mereka.
“Sora…” hanya nama itu yang muncul di benak mereka –
menyadari benar siapa pemilik suara barusan.
===================
KKKRRSSKK…
Sssttt…
KKKRRSSKK…
Manusia-manusia itu berjalan perlahan mengendap-endap di
gelapnya malam kala ini.
“Kenapa kalian semua juga ikut?” Yuya memprotes teman-temannya
yang diam-diam mengikuti mereka ke tempat itu beberapa saat yang lalu.
Hikaru, Ayaka, Emi, dan Yui, sebagai oknum tertuduh, mereka
hanya bisa nyengir kuda – tak tau harus merespon apa.
“Jangan berisik…” Ryosuke kembali mengingatkan manusia-manusia
itu bahwa sekarang mereka sedang berada di sarang harimau – kenekadan mereka
tak lain hanyalah ingin menyelamatkan Zashi dan lainnya.
Mereka terus melangkah perlahan…
Mengikuti setiap langkah Ryosuke sebagai oknum yang paling
mengenal lokasi itu.
DDEEGGHH…
Ia berhenti – membuat manusia-manusia lain yang
mengikutinyapun ikut berhenti.
“Kak Zashi dan yang lain pasti sedang dikurung di ruang
hukuman itu,” telunjuk Ryosuke terangkat pelan – mengisyaratkan yang lain untuk
memandang arah yang ditunjuknya.
“Yuto-kun…” Ayaka bicara lirih – merasa khawatir andai hal
buruk telah terjadi pada orang yang disukainya itu.
“Zashi…” Yuya dan Koutapun tak kalah khawatir dibanding
Ayaka.
“Matte yo… Kami akan menyelamatkan kalian.”
===================
“Yuri, sekarang giliranmu.” Zashi memberi komando pada pemuda
chibi itu untuk membuka bajunya. Gadis itu telah selesai mengoleskan obat ke
badan tiga pemuda lainnya dan sekarang giliran Yuri.
Jemari lembut Zashi segera mengobati luka-luki Yuri,
perlahan. Sementara itu, Ryutaropun membuka baju Zashi dan ikut mengoleskan
obat itu di badan kakaknya.
Dilihatnya bra itu telah terputus akibat cambukan yang begitu
keras. Biarpun ia sering bertengkar dengan kakaknya itu, hatinya begitu sakit
tiap kali melihat ada luka di badan kakaknya yang begitu halus.
“Sakit ya?” Ryutaro mengelus lembut punggung Zashi – membuat
gadis itu sedikit mengerang geli – melupakan sementara segala sakit yang
dirasa.
Dari awal Zashi memang tak pernah mengeluh di hadapan mereka.
Tapi… siapapun pasti tau, ia pasti tramat kesakitan sekarang. Apalagi ia adalah
seorang wanita yang tentunya tak memiliki kulit setebal pemuda-pemuda itu.
DDOOGGHH…
Mereka berlima terkaget…
DDOOGGHH…
Jeruji besi yang menghalangi jendela di atas mereka seakan
diketuk seseorang dari luar – diketuk dengan sedikit paksa, menyiratkan agar
jeruji-jeruji itu bisa terlepas.
“Zashi…”
Jendela yang akhirnya terbuka menganga itu membuat kelimanya
terus memandang ke arah tersebut.
Sebuah tangan terulur…
Dibarengi sebuah wajah yang sekarang mampu dilihat kelimanya
dengan jelas.
“Yuya…” Zashi segera bangkit dan membantu yang lainnya untuk
bangun.
Tanpa menanyakan apapun, merekapun satu per satu meraih
tangan itu – menyadari bukan hal bagus jika mereka menyia-nyiakan kesempatan
ini.
Kelimanya telah bebas sekarang.
Buru-buru mereka meninggalkan tempat itu tanpa memikirkan
untuk menumpahkan kekangenan menyadari bahaya yang akan datang jika mereka
berlama-lama.
NNGGIIUUNNGG…
Sirine itu berbunyi…
Membuat lampu-lampu di seluruh bangunan itu dinyalakan.
“Gawat… Kita ketahuan!!”
===================
Kedua belas anak itu terus berlari menghindari kejaran dari
para Yakuza itu.
“Yuto-kun, bertahanlah…” Ayaka terus memapah Yuto –
menopangnya agar terus melanjutkan langkahnya, mencari tempat yang aman.
Sementara Yuto yang sebenarnya daritadi melirik Yui, tak kuasa berbuat banyak
sekarang mengingat kondisi badannya yang sudah luar biasa sakit…
Yuya menggendong Zashi di punggungnya…
Tak tega memandangi gadis yang dicintainya itu merintih sakit
setiap kali tubuhnya digerakkan.
Kouta mengikhlaskan sejenak Yuya bermesraan dengan Zashi.
Hanya lari dari tempat itulah pikiran yang ada di kepalanya sekarang.
Gerakan mereka begitu lambat…
Menyadari itu, Ryosuke segera menarik Ryutaro – yang tadi
dipapah Emi – dan lekas menggendongnya.
Koutapun segera mengambil alih badan Keito yang mulai lemas
berlarian dalam papahan Yui, menarik badan itu dan dengan segera meletakkan di
punggungnya seperti yang lainnya.
Hikaru, sebagai satu-satunya pria sehat yang tersisa, iapun
paham yang dipikirkan teman-temannya. Dalam sekejap, Yuto telah berpindah dan
nangkring nyaman di gendongannya, sementara Yuri yang memiliki badan paling
chibi, harus ikhlas nangkring di punggung Yui – gadis berpostur paling tinggi
di situ.
Kini mereka berlari semakin cepat.
Menyadari para pengejarnya itu masih belum berhenti mengejar
mereka, merekapun terus lari dan akhirnya berhasil meraih mobil mereka dan
segera memacunya cepat…
DDOOORRR…
Letuhan pistol menghujani mereka.
Pengejaran masih saja belum selesai…
DDOORRR…
CCIIITTT…
DDOORRR…
Yuya masih memacu mobilnya kencang. Mencoba memainkan
setirnya untuk menghindari kejaran mobil di belakangnya.
“Ayo, cepat… Pacu lebih cepat lagi…” Yui yang ada di mobil
yang sama, tak henti-hentinya mengucapkan kata itu. Wajar bagi gadis muda
sepertinya panik ditembaki sedemikian rupa.
Sementara Hikaru yang mengemudikan mobil di depan, tak kalah
panik memandangi spionnya – khawatir memandangi sahabatnya ditembaki seperti
itu.
“Tak bisa dibiarkan…” Ryosuke yang berada satu mobil dengan
Hikaru, akhirnya gerah melihat itu semua. Jujur, ia sudah menahan amarahnya
sedari tadi. Dan kini…
Kesabarannya telah habis…
DDOOORRRR…
DDOOORRRR…
Dua tembakan yang berasal dari mobil Hikaru itu membuat
orang-orang di mobil itu kaget seketika.
Sosok Ryosukelah yang barusan melepaskan tembakan. Tembakan
yang diarahkannya ke ban-ban mobil para pengejarnya itu sukses membuat
mobil-mobil itu kehilangan keseimbangan dan menabrak pembatas jalan.
Tak ada seorangpun yang tau darimana pemuda itu memperoleh
pistol yang dipegangnya kali ini.
Tapi setidaknya, itu mampu menyelamatkan mereka kali ini…
Syukurlah…
===================
Hari telah pagi…
Mataharipun telah bersinar terang di negeri yang pertama kali
memperoleh sinar mentari ini setiap harinya.
Yui, Ayaka, dan Emi, mereka sibuk memasak di dapur. Sesekali
memandangi sembilan orang yang masih tertidur pulas setelah kejadian
menegangkan semalam.
Pengalaman seperti itu…
Sekalipun mereka tak pernah memikirkannya. Bagaimanapun juga,
mereka hanyalah anak-anak yang baru saja lulus SMP dan memulai hidupnya di
dunia anak SMA.
Kepergian mereka tanpa pamit, tentunya tak akan menjadi
masalah mengingat orangtua mereka sedang tidak tinggal bersama mereka –
orangtua yang selalu sibuk dengan karirnya hingga memilih meninggalkan anak
demi meraih apa yang diinginkan – meninggalkan untuk sementara tentunya.
“Hm… Oishii…” Emi berkomentar – mencicipi sedikit kuah sayur
buatan Yui. Sementara Ayaka, gadis itu masih sibuk menggoreng ikan dengan
sesekali mencuri pandang ke arah Yuto.
CCLLLEEEKKK…
Pintu depan terbuka…
Ketiga gadis itu seketika mengarahkan bola mata mereka ke
sumber suara.
“Ternyata kalian di sini…”
DDEEEGGHH…
“Kau…”
===================
TBC ^^v
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^