Wednesday, 20 February 2013

Fanfic Aishiterukara Part 05


Hey!Say!JUMP Fanfiction (Indonesia)

AISHITERUKARA / BECAUSE I LOVE U (PART 5)

Author : Rin Fujiyama
Genre : Romance, Friendship, Action
Guest :
Kei Inoo as Kei Yamada
Daiki Arioka as Daiki Arioka
=====================
Female Characters : Nick facebook
Youn Inja as Airi Suzuki
Hei Say Jump as Aiko Suzuki
IntanEonie as Sora Misaki

*********************
Part sebelumnya:
Sosok itu seketika langsung roboh. Timah panas telah menembus tubuhnya yang kini sukses membuat anak itu terbaring hampir kehilangan kesadaran.

Rasa terkejut yang luar biasa, menghinggapi kesebelas anak lainnya. Dengan segera mereka menangkap sosok orang bertopeng yang tengah tersenyum puas dari arah pintu masuk dengan senapan yang masih mengeluarkan asap hangat di ujungnya pertanda peluru baru saja ditembakkan dari senapan itu.

===================
Part 5

Pemuda itu sudah sempurna kehilangan kesadarannya. Tangannya yang sedari tadi memegangi luka tembak di perut kirinya, kini sudah terjatuh lemas di samping tubuhnya. Hanya genangan darah yang menyatu dengan derasnya hujan yang menjadi saksi pemandangan sayu di kala itu.

“Ryosuke...,” kepanikan luar biasa terkias di wajah Yuri dan yang lain melihat tubuh sahabatnya yang kini sudah terbaring tak sadarkan diri dengan darah yang terus mengalir dari luka itu.

Keinginan pemuda itu beberapa saat lalu yang ingin menyelamatkan Mimiko, menempatkannya tepat beberapa meter dari arah pintu masuk. Sebuah alasan yang membuatnya menjadi sasaran tembak paling potensial.

“Tunggu apa lagi? Cepat telpon ambul...,”

“DDOORR”

Zashi menghentikan kalimatnya ketika sekali lagi peluru telah ditembakkan oleh orang bertopeng barusan. Tapi kali ini peluru itu hanya ditembakkan ke arah langit luas di atas sana. Terkesan hanya untuk mengingatkan anak-anak tadi agar tidak bertindak seenaknya.

Mimik amarah yang meluap-luap terpancar jelas dari wajah keempat pemuda itu – Yuri, Yuto, Keito, dan Ryutaro. Keempatnya terlihat siap mengorbankan apapun karena pikiran mereka kali ini hanya ingin segera membuat Ryosuke – sahabatnya – mendapat perawatan medis sesegera mungkin.

Zashi menyadari tindakan yang mungkin akan dilakukan oleh keempat pemuda yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri itu – kecuali Ryutaro yang memang adik kandungnya.

Keempatnya sudah mengepalkan tangan mereka kuat-kuat. Meyakinkan hati. Membulatkan tekad. Memberikan balasan yang layak bagi orang yang telah menembak sahabat mereka.
Gerakan langkah kecil itu, menandakan mereka telah siap mengorbankan apapun walaupun nantinya akan ada yang tertembak di antara mereka, tapi pikiran itu tak sedikitpun menggetarkan keyakinan pemuda-pemuda ini.

“Kurang ajar...,”
“Bugh degh plak bugh bugh...,” pukulan bertubi-tubi seketika diterima oleh orang bertopeng itu. Bukan oleh Yuri, Yuto, Keito, maupun Ryutaro. Tapi...

“Chiko...,” Emi, Yui, dan Ayaka terlihat tak percaya dengan yang mereka lihat saat ini.

Entah sejak kapan gadis itu sudah di dekat si penjahat, Chiko terlihat menghajar orang itu dengan luapan emosi yang luar biasa menakutkan.

Begitu penjahat tadi roboh, ...

“Bagaimanapun juga aku adalah pemegang sabuk hitam. Sudah... cepat selamatkan dia!” tegas Chiko masih dengan wajah marah yang sempat-sempatnya menginjak perut orang bertopeng di sampingnya yang sudah tak sadarkan diri sebelum berjalan kembali ke arah teman-teman sekolahnya itu.

Keito bergegas menggendong Ryosuke. Yuto, Yuri, dan Ryutaro segera berlari duluan memastikan bahwa mereka dalam kondisi aman. Sementara Yuya dan Hikaru mengikuti paling belakang menjaga para gadis yang di tengah.

Mereka terus berlari menyusuri lorong kelas yang kali ini tengah kosong karena semua siswa yang lain telah tertangkap.

Mata itu mengawasi mereka. Seseorang yang tersenyum dari tempat yang tak disadari oleh keduabelas anak itu. Tersenyum memandangi mereka dari balik layar.

Keduabelas anak itu lupa kalau di sekolah mereka dipenuhi CCTV. Kepanikan yang luar biasalah yang membuat mereka melupakan hal yang seharusnya tidak mungkin bisa mereka lupakan itu. Hanya atap dan toiletlah tempat yang bebas dari pengawasan.

===================

Di sudut lain, di ruang monitoring Heisei Gakuen,

“Tuan... apa kita akan membiarkan anak-anak itu begitu saja?” seorang gadis yang tengah duduk di pangkuan orang yang dipanggilnya tuan itu segera mengajukan pertanyaan karena pria yang dimaksud tak segera memberikan perintah untuk menangkap keduabelas anak yang masih tersisa itu.

Si pria masih diam memandang layar besar di hadapannya. Memandang segala tingkah yang tengah dilakukan oleh keduabelas siswa itu.

“Sora, panggil Airi dan Aiko,” akhirnya si pria bersuara juga.
Si gadis lawan bicaranyapun segera merespon. “Baik, Arioka-sama!”

===================

Mereka panik…
Pemuda bertubuh besar itu merasa ngeri – sesekali memandang wajah sahabat yang tengah digendongnya itu dan menyadari betapa sahabatnya itu tengah berada di ambang batas hidupnya.

Gerakan cepat dari seorang Nakajima Yuri dengan segera membuka pintu mobilnya yang tengah terparkir rapi di parkiran sekolah.

Tubuh mereka terdiam…
Memandang dua sosok gadis cantik yang berdiri tak jauh dari mereka tengah dengan bengisnya menodongkan senapan api ke arah Yuri dan yang lain.

“Aiko, apa yang akan kita lakukan pada mereka?” tanya salah seorang gadis yang sedikit lebih tinggi dari gadis satunya – bertanya dengan senyum licik yang menghiasi wajah bersihnya yang cukup kawaii.

“Arioka-sama bilang terserah kita, ingin diapakan siswa-siswa ini. Tak masalah kita tangkap mereka. Sayang jika anak-anak tampan seperti mereka harus dibunuh kan, Airi?” jawaban yang cukup jelas terlontar dari kedua sisi bibir gadis yang dipanggil Aiko barusan.

Di sela obrolan kedua gadis bersenjata itu, salah seorang siswa di hadapan mereka berjalan ke hadapan dua gadis itu tanpa sedikitpun merasa gentar.

“Chiko…”

Lagi-lagi dia…
Gadis yang lebih sering suka nekad dibanding harus menggunakan akal sehatnya…

Dengan lantangnya ia bicara pada dua gadis di depannya – tak sedikitpun menghiraukan dua ujung pistol yang telah berpindah arah dan menghadap lurus ke wajahnya. “Kalian berdua, kalian apa tidak lihat ada yang sedang terluka di sini?” jari telunjuknya diarahkan segera ke arah Ryosuke yang terbaring diam di punggung Keito.

“Dia itu anak bos Yakuza Jepang!!” teriaknya lantang dan sukses membuat dua gadis di depannya saling menatap heran.

“Kau dengar apa yang ia katakan tadi, Airi?” belum sempat pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba handphone mereka berdering – telpon dari tuan mereka – Arioka…
Tanpa berkata apa-apa, kedua gadis itupun segera melangkah pergi dari hadapan siswa-siswa itu.

Tanpa pikir panjang, Yuri segera masuk mobil dan menyuruh Keito membaringkan Ryosuke di pangkuannya – pangkuan mungil Yuri. Keitopun segera mengambil alih mobil Yuri dan menyetirnya cepat.
Ryutaro segera menyusul mereka dengan mobil hijau kepunyaannya – ditemani Yuto dan Zashi yang duduk di kursi belakang mobil Ryutaro.

Sementara dua mobil itu berlalu cepat, enam sosok yang tersisa hanya bisa memandang penuh harap agar everything will be fine.

===================

The next day,

“Ia belum sadar juga?” Kouta yang baru saja datang setelah sebelumnya juga mengalami perawatan hasil dari sikapnya yang menentang pembajak sekolah kemarin – membuatnya mendapatkan banyak luka pukul – menanyakan kabar adik semata wayangnya yang baru ia ketahui kalau adiknya itu mengalami luka yang cukup serius setelah telepon dari Yuto setengah jam yang lalu.

Tak ada jawaban…
Semua diam…

“Kenapa kalian baru memberitahuku sekarang?” pemuda berpangkat kepala sekolah itu geram, “Katakan bagaimana keadaannya!!” siapapun yang melihat tau betapa khawatir wajah pemuda itu sekarang – mengkhawatirkan saudaranya yang sampai detik itu belum ia ketahui keadaannya.

“Kau tak perlu khawatir, ia bukan anak yang lemah,” dengan jawaban dingin ia menatap pemuda yang jauh lebih tinggi darinya itu. Yuri menatapnya dengan tatapan tanpa rasa hormat. Beberapa detik kemudian, tatapannya beralih pada saudara seayah beda ibu kepunyaannya – Yuto.

Yuri, Keito, Ryutaro, Yuto, dan siapapun yang dekat dengan mereka tau seberapa buruk hubungan pemuda bernama Kouta itu dengan adiknya. Sebagai sahabat, entah perasaan apa yang mempengaruhi mereka, mereka juga turut tak menyukai pria jangkung yang kini berdiri di hadapan mereka.
Sebagai sahabat, harusnya Yuto tau kalau bukan hal baik memberitahukan kondisi Ryosuke pada orang yang amat tak disukainya itu – Kouta. Yutopun hanya bisa menunduk menyesal tanpa berani membalas tatapan tajam saudaranya – Yuri.

===================

Waktu telah semakin senja,
Semilir angin mulai terasa semakin berhembus dingin.
Tak lagi banyak orang berlalu lalang di jalanan di waktu itu – jalanan di bukit yang dipenuhi pepohonan rindang yang menari semakin kencang…

Satu rumah di bukit itu…
Satu-satunya rumah yang ada di sana – rumah yang teramat besar hingga mampu terlihat dari kota di bawah bukit sekalipun.

Halaman yang begitu luas – bahkan akan sangat nyaman dipakai untuk bermain golf. Terlihat banyak pria bertato di berbagai sudut rumah – berdiri mematung dengan wajah yang tidak bersahabat…

Sementara di dalam kediaman tersebut, suasana sedang tidak begitu mengenakan sekarang…
“Jadi kau! Orang yang berani-beraninya menyakiti putraku?!”
BRAAKKK…
Pria itu sangat murka… “Kira-kira hukuman apa yang patut kalian terima?” pria itu tersenyum – senyum yang begitu terlihat manis namun dengan aura yang begitu keji. “Anak buahmu yang lain telah menerima hukuman setimpal dariku. Kau kira kau bisa selamat dengan mencoba lari?”

Pria itu terus bicara tanpa ada seorangpun yang berani menyela – Kei Yamada – Bos besar Yakuza – murka ketika mendengar kabar ada yang telah menembak putra bungsunya – putra yang begitu ia sayangi setelah putra pertamanya memilih keluar dari keluarga itu – keluar dengan perjanjian bahwa ayahnya itu tidak boleh lagi mencampuri hidupnya.

Yuri, Yuto, Keito, dan Ryutaro tengah duduk di samping Kei-sama – menghakimi empat orang di hadapannya yang kemarin telah menggemparkan sekolah mereka. Sementara Zashi, gadis itu tengah menunggui Ryosuke yang masih terbaring pucat di kamarnya. Kei-sama meminta putranya itu untuk dibawa pulang untuk dirawatnya sendiri secara intensif.

“Tolong maafkan kami… Tuan boleh menghukum saya seberat apapun, tapi tolong jangan anak buah tercinta saya yang ini,” Daiki Arioka – oknum tersangka dibalik pembajakan sekolah kemarin, kini hanya bisa memeluk tiga gadis di dekatnya yang juga menjadi tertuduh…
Tiga gadis yang begitu ia sayangi – Sora, Aiko, dan Airi…

“Hm, berani juga kau!! Aku bisa saja menghabisi kalian dengan keji detik ini juga!!” bentak Kei-sama

Keempat orang dengan tangan terikat itu hanya bisa terus minta maaf dengan badan yang tak henti selalu gemetaran.

===================

Heisei Gakuen…

Sekolah begitu sepi hari ini, tak seperti biasa. Mayoritas siswa masih trauma dengan kejadian kemarin sehingga untuk sementara sekolah diliburkan selama dua hari.

Gadis itu hanya berdiri mematung beberapa lama di depan gerbang sekolah yang tengah terkunci. Bukan tengah memandangi sekolahnya, tapi memandangi rumah di bukit belakang sekolah itu.

“Bagaimana ya keadaannya?” ia menggumam pelan. Menampilkan wajah sendu penuh kekhawatiran dan ingin kepastian…
Ia mendengar kabar dari sepupunya bahwa pemuda yang tengah dikhawatirkannya itu telah dibawa pulang ke rumahnya. Sebuah rumah di bukit belakang sekolah itulah tempat tinggal pemuda itu. Ia tlah mendengar semuanya dari Yuya – sepupunya…

Yah,
Sebagai pacar Zashi, tidak sulit bagi Yuya tuk mendapatkan informasi itu.

“Perasaan apa ini? Kenapa aku begitu mengkhawatirkannya??” lagi-lagi Chiko menggumam pelan…

===================

To Be Continued

No comments:

Post a Comment

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers