Hey!Say!JUMP Fanfiction (Indonesia)
AISHITERUKARA / BECAUSE I LOVE U (PART 5)
Author
: Rin Fujiyama
Genre
: Romance, Friendship, Action
Guest :
Kei Inoo as Kei
Yamada
Daiki Arioka as Daiki Arioka
=====================
Female Characters : Nick facebook
Youn Inja as Airi Suzuki
Hei Say Jump as Aiko Suzuki
IntanEonie as Sora Misaki
*********************
Part sebelumnya:
Sosok
itu seketika langsung roboh. Timah panas telah menembus tubuhnya yang kini
sukses membuat anak itu terbaring hampir kehilangan kesadaran.
Rasa
terkejut yang luar biasa, menghinggapi kesebelas anak lainnya. Dengan segera
mereka menangkap sosok orang bertopeng yang tengah tersenyum puas dari arah
pintu masuk dengan senapan yang masih mengeluarkan asap hangat di ujungnya
pertanda peluru baru saja ditembakkan dari senapan itu.
===================
Part 5
Pemuda itu sudah sempurna kehilangan kesadarannya.
Tangannya yang sedari tadi memegangi luka tembak di perut kirinya, kini sudah
terjatuh lemas di samping tubuhnya. Hanya genangan darah yang menyatu dengan
derasnya hujan yang menjadi saksi pemandangan sayu di kala itu.
“Ryosuke...,” kepanikan luar biasa terkias di wajah Yuri
dan yang lain melihat tubuh sahabatnya yang kini sudah terbaring tak sadarkan
diri dengan darah yang terus mengalir dari luka itu.
Keinginan pemuda itu beberapa saat lalu yang ingin
menyelamatkan Mimiko, menempatkannya tepat beberapa meter dari arah pintu
masuk. Sebuah alasan yang membuatnya menjadi sasaran tembak paling potensial.
“Tunggu apa lagi? Cepat telpon ambul...,”
“DDOORR”
Zashi menghentikan kalimatnya ketika sekali lagi peluru
telah ditembakkan oleh orang bertopeng barusan. Tapi kali ini peluru itu hanya
ditembakkan ke arah langit luas di atas sana. Terkesan hanya untuk mengingatkan
anak-anak tadi agar tidak bertindak seenaknya.
Mimik amarah yang meluap-luap terpancar jelas dari wajah
keempat pemuda itu – Yuri, Yuto, Keito, dan Ryutaro. Keempatnya terlihat siap
mengorbankan apapun karena pikiran mereka kali ini hanya ingin segera membuat
Ryosuke – sahabatnya – mendapat perawatan medis sesegera mungkin.
Zashi menyadari tindakan yang mungkin akan dilakukan oleh
keempat pemuda yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri itu – kecuali Ryutaro
yang memang adik kandungnya.
Keempatnya sudah mengepalkan tangan mereka kuat-kuat.
Meyakinkan hati. Membulatkan tekad. Memberikan balasan yang layak bagi orang
yang telah menembak sahabat mereka.
Gerakan langkah kecil itu, menandakan mereka telah siap
mengorbankan apapun walaupun nantinya akan ada yang tertembak di antara mereka,
tapi pikiran itu tak sedikitpun menggetarkan keyakinan pemuda-pemuda ini.
“Kurang ajar...,”
“Bugh degh plak bugh bugh...,” pukulan bertubi-tubi
seketika diterima oleh orang bertopeng itu. Bukan oleh Yuri, Yuto, Keito, maupun
Ryutaro. Tapi...
“Chiko...,” Emi, Yui, dan Ayaka terlihat tak percaya
dengan yang mereka lihat saat ini.
Entah sejak kapan gadis itu sudah di dekat si penjahat,
Chiko terlihat menghajar orang itu dengan luapan emosi yang luar biasa
menakutkan.
Begitu penjahat tadi roboh, ...
“Bagaimanapun juga aku adalah pemegang sabuk hitam.
Sudah... cepat selamatkan dia!” tegas Chiko masih dengan wajah marah yang
sempat-sempatnya menginjak perut orang bertopeng di sampingnya yang sudah tak
sadarkan diri sebelum berjalan kembali ke arah teman-teman sekolahnya itu.
Keito bergegas menggendong Ryosuke. Yuto, Yuri, dan
Ryutaro segera berlari duluan memastikan bahwa mereka dalam kondisi aman.
Sementara Yuya dan Hikaru mengikuti paling belakang menjaga para gadis yang di
tengah.
Mereka terus berlari menyusuri lorong kelas yang kali ini
tengah kosong karena semua siswa yang lain telah tertangkap.
Mata itu mengawasi mereka. Seseorang yang tersenyum dari
tempat yang tak disadari oleh keduabelas anak itu. Tersenyum memandangi mereka
dari balik layar.
Keduabelas anak itu lupa kalau di sekolah mereka dipenuhi
CCTV. Kepanikan yang luar biasalah yang membuat mereka melupakan hal yang
seharusnya tidak mungkin bisa mereka lupakan itu. Hanya atap dan toiletlah
tempat yang bebas dari pengawasan.
===================
Di sudut lain, di ruang monitoring Heisei Gakuen,
“Tuan... apa kita akan membiarkan anak-anak itu begitu
saja?” seorang gadis yang tengah duduk di pangkuan orang yang dipanggilnya tuan
itu segera mengajukan pertanyaan karena pria yang dimaksud tak segera
memberikan perintah untuk menangkap keduabelas anak yang masih tersisa itu.
Si pria masih diam memandang layar besar di hadapannya.
Memandang segala tingkah yang tengah dilakukan oleh keduabelas siswa itu.
“Sora, panggil Airi dan Aiko,” akhirnya si pria bersuara
juga.
Si gadis lawan bicaranyapun segera merespon. “Baik, Arioka-sama!”
===================
Mereka panik…
Pemuda bertubuh besar itu merasa ngeri –
sesekali memandang wajah sahabat yang tengah digendongnya itu dan menyadari
betapa sahabatnya itu tengah berada di ambang batas hidupnya.
Gerakan cepat dari seorang Nakajima Yuri dengan segera
membuka pintu mobilnya yang tengah terparkir rapi di parkiran sekolah.
Tubuh mereka terdiam…
Memandang dua sosok gadis cantik yang berdiri tak jauh dari
mereka tengah dengan bengisnya menodongkan senapan api ke arah Yuri dan yang
lain.
“Aiko, apa yang akan kita lakukan pada mereka?” tanya salah
seorang gadis yang sedikit lebih tinggi dari gadis satunya – bertanya dengan
senyum licik yang menghiasi wajah bersihnya yang cukup kawaii.
“Arioka-sama bilang terserah kita, ingin diapakan siswa-siswa
ini. Tak masalah kita tangkap mereka. Sayang jika anak-anak tampan seperti
mereka harus dibunuh kan, Airi?” jawaban yang cukup jelas terlontar dari kedua
sisi bibir gadis yang dipanggil Aiko barusan.
Di sela obrolan kedua gadis bersenjata itu, salah seorang
siswa di hadapan mereka berjalan ke hadapan dua gadis itu tanpa sedikitpun
merasa gentar.
“Chiko…”
Lagi-lagi dia…
Gadis yang lebih sering suka nekad dibanding harus
menggunakan akal sehatnya…
Dengan lantangnya ia bicara pada dua gadis di depannya – tak
sedikitpun menghiraukan dua ujung pistol yang telah berpindah arah dan
menghadap lurus ke wajahnya. “Kalian berdua, kalian apa tidak lihat ada yang
sedang terluka di sini?” jari telunjuknya diarahkan segera ke arah Ryosuke yang
terbaring diam di punggung Keito.
“Dia itu anak bos Yakuza Jepang!!” teriaknya lantang dan
sukses membuat dua gadis di depannya saling menatap heran.
“Kau dengar apa yang ia katakan tadi, Airi?” belum sempat
pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba handphone mereka berdering – telpon dari
tuan mereka – Arioka…
Tanpa berkata apa-apa, kedua gadis itupun segera melangkah
pergi dari hadapan siswa-siswa itu.
Tanpa pikir panjang, Yuri segera masuk mobil dan menyuruh
Keito membaringkan Ryosuke di pangkuannya – pangkuan mungil Yuri. Keitopun
segera mengambil alih mobil Yuri dan menyetirnya cepat.
Ryutaro segera menyusul mereka dengan mobil hijau kepunyaannya
– ditemani Yuto dan Zashi yang duduk di kursi belakang mobil Ryutaro.
Sementara dua mobil itu berlalu cepat, enam sosok yang
tersisa hanya bisa memandang penuh harap agar everything will be fine.
===================
The next day,
“Ia
belum sadar juga?” Kouta yang baru saja datang setelah sebelumnya juga
mengalami perawatan hasil dari sikapnya yang menentang pembajak sekolah kemarin
– membuatnya mendapatkan banyak luka pukul – menanyakan kabar adik semata
wayangnya yang baru ia ketahui kalau adiknya itu mengalami luka yang cukup
serius setelah telepon dari Yuto setengah jam yang lalu.
Tak
ada jawaban…
Semua
diam…
“Kenapa
kalian baru memberitahuku sekarang?” pemuda berpangkat kepala sekolah itu
geram, “Katakan bagaimana keadaannya!!” siapapun yang melihat tau betapa
khawatir wajah pemuda itu sekarang – mengkhawatirkan saudaranya yang sampai
detik itu belum ia ketahui keadaannya.
“Kau
tak perlu khawatir, ia bukan anak yang lemah,” dengan jawaban dingin ia menatap
pemuda yang jauh lebih tinggi darinya itu. Yuri menatapnya dengan tatapan tanpa
rasa hormat. Beberapa detik kemudian, tatapannya beralih pada saudara seayah
beda ibu kepunyaannya – Yuto.
Yuri,
Keito, Ryutaro, Yuto, dan siapapun yang dekat dengan mereka tau seberapa buruk
hubungan pemuda bernama Kouta itu dengan adiknya. Sebagai sahabat, entah
perasaan apa yang mempengaruhi mereka, mereka juga turut tak menyukai pria
jangkung yang kini berdiri di hadapan mereka.
Sebagai
sahabat, harusnya Yuto tau kalau bukan hal baik memberitahukan kondisi Ryosuke
pada orang yang amat tak disukainya itu – Kouta. Yutopun hanya bisa menunduk
menyesal tanpa berani membalas tatapan tajam saudaranya – Yuri.
===================
Waktu
telah semakin senja,
Semilir
angin mulai terasa semakin berhembus dingin.
Tak
lagi banyak orang berlalu lalang di jalanan di waktu itu – jalanan di bukit
yang dipenuhi pepohonan rindang yang menari semakin kencang…
Satu
rumah di bukit itu…
Satu-satunya
rumah yang ada di sana – rumah yang teramat besar hingga mampu terlihat dari
kota di bawah bukit sekalipun.
Halaman
yang begitu luas – bahkan akan sangat nyaman dipakai untuk bermain golf.
Terlihat banyak pria bertato di berbagai sudut rumah – berdiri mematung dengan
wajah yang tidak bersahabat…
Sementara
di dalam kediaman tersebut, suasana sedang tidak begitu mengenakan sekarang…
“Jadi
kau! Orang yang berani-beraninya menyakiti putraku?!”
BRAAKKK…
Pria
itu sangat murka… “Kira-kira hukuman apa yang patut kalian terima?” pria itu
tersenyum – senyum yang begitu terlihat manis namun dengan aura yang begitu
keji. “Anak buahmu yang lain telah menerima hukuman setimpal dariku. Kau kira
kau bisa selamat dengan mencoba lari?”
Pria
itu terus bicara tanpa ada seorangpun yang berani menyela – Kei Yamada – Bos
besar Yakuza – murka ketika mendengar kabar ada yang telah menembak putra
bungsunya – putra yang begitu ia sayangi setelah putra pertamanya memilih
keluar dari keluarga itu – keluar dengan perjanjian bahwa ayahnya itu tidak
boleh lagi mencampuri hidupnya.
Yuri,
Yuto, Keito, dan Ryutaro tengah duduk di samping Kei-sama – menghakimi empat
orang di hadapannya yang kemarin telah menggemparkan sekolah mereka. Sementara
Zashi, gadis itu tengah menunggui Ryosuke yang masih terbaring pucat di
kamarnya. Kei-sama meminta putranya itu untuk dibawa pulang untuk dirawatnya
sendiri secara intensif.
“Tolong
maafkan kami… Tuan boleh menghukum saya seberat apapun, tapi tolong jangan anak
buah tercinta saya yang ini,” Daiki Arioka – oknum tersangka dibalik pembajakan
sekolah kemarin, kini hanya bisa memeluk tiga gadis di dekatnya yang juga
menjadi tertuduh…
Tiga
gadis yang begitu ia sayangi – Sora, Aiko, dan Airi…
“Hm,
berani juga kau!! Aku bisa saja menghabisi kalian dengan keji detik ini juga!!”
bentak Kei-sama
Keempat
orang dengan tangan terikat itu hanya bisa terus minta maaf dengan badan yang
tak henti selalu gemetaran.
===================
Heisei Gakuen…
Sekolah
begitu sepi hari ini, tak seperti biasa. Mayoritas siswa masih trauma dengan
kejadian kemarin sehingga untuk sementara sekolah diliburkan selama dua hari.
Gadis
itu hanya berdiri mematung beberapa lama di depan gerbang sekolah yang tengah
terkunci. Bukan tengah memandangi sekolahnya, tapi memandangi rumah di bukit
belakang sekolah itu.
“Bagaimana
ya keadaannya?” ia menggumam pelan. Menampilkan wajah sendu penuh kekhawatiran
dan ingin kepastian…
Ia
mendengar kabar dari sepupunya bahwa pemuda yang tengah dikhawatirkannya itu
telah dibawa pulang ke rumahnya. Sebuah rumah di bukit belakang sekolah itulah
tempat tinggal pemuda itu. Ia tlah mendengar semuanya dari Yuya – sepupunya…
Yah,
Sebagai
pacar Zashi, tidak sulit bagi Yuya tuk mendapatkan informasi itu.
“Perasaan
apa ini? Kenapa aku begitu mengkhawatirkannya??” lagi-lagi Chiko menggumam
pelan…
===================
To Be Continued
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^