Tuesday, 26 February 2013

Fanfic Aishiterukara Part 14


Hey!Say!JUMP Fanfiction (Indonesia)
AISHITERUKARA / BECAUSE I LOVE U (PART 14)

Author : Rin Fujiyama
Genre : Romance, Friendship, Action
Rating : PG-15

*********************
Part sebelumnya:
Seakan mulai memahami kegelisahan Yuri, Keitopun ikut menghela nafas berat, “Yah, bagaimana lagi… anak itu memang tak pernah bisa dikontrol oleh siapapun – selalu melakukan apapun sesuka dirinya.”

“Ia pasti keluyuran lagi ya tadi?”
Sebuah pertanyaan yang mengalir ringan dari bibir Keito seakan terjawab hanya dengan mendengar helaan nafas kesal Yuri.

===================
PART 14
===================

Sebuah tarikan nafas penuh kenyamanan terealisasi dari sosok Hikaru Mizuno. “School life… Rasanya sudah lama sekali tak merasakan sensasi ini.”

Ketiga gadis di samping pemuda itupun hanya bisa tersenyum senang – juga merasakan hal yang sama.

Yui, Ayaka, dan Emi…
Yah, setidaknya mereka layak untuk mendapatkan ketenangan setelah akhir-akhir ini hidup mereka penuh cobaan.

Ketiganya mencoba untuk tak lagi mengingat pemuda-pemuda yang kenyataannya memang sering membuat mereka mendapat tekanan batin. Untuk beberapa hari saja… Mereka ingin kembali hidup normal biarpun faktanya hal itu tak akan mudah bagi mereka yang sudah terlanjur benar-benar menaruh hati.

Khawatir…
Pastinya perasaan itu selalu ada…


===================
===================

Keempat anak SMA itu kini telah berpisah – masuk ke kelas mereka masing-masing.

Suasana sekolah seakan tak berubah sedikitpun setelah kejadian pembajakan terakhir.

Dengan kepemimpinan Kouta Yamada-sensei, para wali dari siswa merasa cukup aman mempercayakan anak-anak mereka untuk tetap bersekolah di sekolah swasta yang memang tersohor ini.

“Kira-kira mereka sedang apa, ya?” tanpa sadar, Emi menanyakan pertanyaan yang harusnya merupakan pantangan bagi mereka saat ini untuk membicarakan pemuda-pemuda itu – mengingat bahwa mereka sedang tengah mencoba kembali hidup normal.

“Eh…”

Yui dan Ayaka yang duduk di depan Emipun segera membalikan badan menatap sahabat mereka yang satu itu.

“Ah, gomenasai…”
Buru-buru Emi mengambil buku di tasnya dan segera menempatkan buku itu di depan wajahnya – jaga-jaga andai harus kena semprot Yui dan Ayaka.

Baru saja semprotan itu hampir terealisasi, tapi tiba-tiba kejadian itu teralihkan oleh suara-suara teman sekelas mereka.

“Eh, Yuri-kun… Kenapa kakimu?” tanya seorang siswa yang segera berdiri dari kursinya sesaat setelah pemuda-pemuda maha terkenal di sekolah itu memasuki kelas.

Ryosuke, Yuri, Yuto, Keito, dan Ryutaro…

Mereka kembali…

Tak seorangpun yang tau kemana mereka selama ini…

Tak ada pula yang tau hal-hal yang telah terjadi pada mereka…

Termasuk kejadian di kediaman Yamada – berita itu tak sedikitpun menyebar…

“Hah?!” trio AYE – Ayaka, Yui, Emi – pun hanya bisa melongo setelah tau siapa yang barusan masuk ke kelas.

Yuri memberikan senyum kelincinya pada teman-teman sekelas yang menyambut mereka. Rasanya ada perubahan setelah kepergian mereka selama ini – teman-teman sekelas mereka terasa lebih friendly – tak lagi takut untuk berurusan dengan mereka atau hanya sekedar menyapa.

“Saat kalian tak ada, kepala sekolah juga ikut tak ada… Ternyata beda sekali saat tidak ada kalian,” seorang siswa menyampaikan pengakuan dengan sedikit isakan haru.

Yang lainpun hanya mengangguk…

Sementara Yuri dan kawan-kawan, mereka tak menyangka sedikitpun ada perasaan seperti itu di hati teman-teman sekelas mereka. Padahal, selama ini mereka tak pernah sedikitpun peduli dengan kehidupan sekolah…

“Kalian adalah ikon sekolah ini, jadi jangan pergi lagi…” pinta anak-anak di kelas itu sambil menitihkan air mata.

Trio AYEpun hanya bisa membatin ria… “kayaknya ini terlalu lebay dah…” batin mereka…

“Ehem… Jangan kira kalian bisa mengambil hati kami hanya dengan kata-kata semacam itu…”
Nada dingin itu tiba-tiba terdengar lagi setelah entah berapa lama menghilang tak berbekas. Seakan paham situasi yang mungkin akan terjadi setelah ini, semuapun segera berbaris rapi kembali ke tempat duduk mereka masing-masing.

“Ah, Ryosuke… Haruskah bersikap sedingin itu setelah mendengar kata-kata yang menyentuh hati dari teman-teman tadi?” Yuto protes manja – tingkah laku asli dari pemuda jangkung itu yang sempat hilang beberapa hari ini.

“Mulai hari ini aku akan sekelas dengan kalian,” Keito merangkul Yuto dan Ryutaro sambil mengajak mereka tuk sedera duduk – sedikit melirik Ryosuke dan Yuri sebelum mengatakan kata-kata barusan – jelas tau pasti bahwa dua sahabatnya itu meringis dalam hati minta segera duduk…

Memang benar…

Keito yang paling dewasa di antara mereka. Dan kadang… Sikap dewasanya itu sangat dibutuhkan ketika keempat sahabatnya mulai kambuh kekanakannya.

“Apakah mereka baik-baik saja?” Ayaka berbisik lirih ke telinga Yui yang duduk di sampingnya.
Yuipun segera membalas dengan bisikan yang tak kalah lirih. “Mereka hebat ya… Bisa bersikap seolah tak terjadi apa-apa.”

Sementara di belakang mereka, Emi nampak gelisah…
Memandangi setiap langkah pemuda itu hingga sosok yang dipandanginya telah dengan nyaman duduk di kursinya.

Secara kasat mata…
Tak ada sedikitpun yang berubah.

“Aku boleh duduk di sini?”

Sebuah suara mengagetkan Emi. Dengan canggung, gadis itupun segera menganggukan kepalanya kaku – masih terkejut dengan kehadiran pemuda itu di sampingnya.

Keitopun melayangkan senyum mendengar kesediaan gadis itu untuk membiarkannya menempati kursi di samping si gadis yang saat itu memang masih kosong.

“Bersikaplah wajar seperti saat sebelum kita kenal…”
Suara lirih Keito yang mungkin memang hanya bisa didengar Emi yang duduk di sampingnya saat itu. Kata-kata yang terlontar dari si pemuda yang masih memandang lurus ke depan seolah tak sedang bicara dengan siapapun.

Emi yang masih belum memahami maksud pemuda itu mengatakan hal barusan, hanya bisa tetap diam, takut andai ia bakal salah bicara jika memutuskan untuk bertanya.

“Ohayou…”
Sensei akhirnya memasuki ruangan…

Pelajaran hari itupun dimulai…

Trio AYE sedari tadi tak merasa tenang dengan situasi canggung ini. Bingung melirik-lirik kecil ke arah pemuda-pemuda itu yang bisa bersikap biasa saja.
Padahal…
Kaki Yuri masih jauh dari kata pulih…
Sementara Ryosuke… jelas kondisinya lebih ekstrim dari kelihatannya.

Tapi…
Pemuda-pemuda itu tetap saja bersikap seperti tak terjadi apapun…

Benar-benar teramat mengganggu pikiran trio AYE hingga tak mampu sedikitpun berkosentrasi dengan pelajaran.

===================
===================

Bel istirahat telah berbunyi…

Seperti biasanya, pemuda-pemuda paling terkenal di sekolah itupun telah lenyap dengan begitu cepatnya dari kelas sesaat setelah bel berbunyi.
Sebuah kebiasaan…
Makan siang di atap sekolah…

“Huft, berat juga menaiki tangga sekolah dengan kaki terluka seperti ini,” Yuri menghela pasrah…

Mereka bukan orang pertama di atap itu kali ini…
Sudah ada Zashi dan Yuya yang entah sejak kapan mampu datang mendahului mereka untuk berduaan di tempat favorit mereka itu.

Sementara di pojok yang hampir tak terlihat, ada Kouta-sensei di sana – berdiri diam melipat kedua lengannya di depan dada, memandangi kemesraan dua muridnya itu.

Ia masih belum bisa melepas Zashi sepenuhnya. Tapi… Apa yang harus dilakukannya?!

Memaksa mendapatkan cinta dari orang yang tidak mencintai kita, itu bukanlah tindakan jantan dari seorang pria.

“Ah, Ryo-chan… Kau sudah datang… Ayo duduk sini!” Zashi buru-buru bangun dari pangkuan Yuya dan segera membuka bekal makanannya.

“Oe, oe, oe, aku ini adik kandungmu…” Ryutaro protes…
Keceriaan yang sudah terasa begitu lama tak mereka rasakan.

“Yuto…”
Tiba-tiba terdengar suara gadis yang meneriakkan nama Yuto dari arah pintu masuk atap.

“Ayaka…” pemuda yang dipanggilpun hanya bisa bergumam tak mengerti kenapa tumben gadis itu bisa meneriakan namanya dengan begitu lantang dan tanpa beban.

TAP TAP TAP…
Kaki-kaki itu melangkah dengan begitu pasti.

Kini Ayaka sudah berdiri tepat di hadapan Yuto – ada Yui dan Emi dibelakangnya.

“Mulai sekarang, aku tak akan mengejar-ngejarmu lagi…,” dengan mantap si gadis bicara tepat di hadapan tubuh pemuda jangkung itu.
Dengan cepat tubuh mungil gadis itu berganti arah pandangan…
“Yuri-kun… Maukah kau jadi malaikat penjagaku yang akan selalu menemaniku?”

“Eh?!”
Semua mulut terbuka tak mengerti maksud si gadis…
Terutama Yuri…
Pemuda yang tak kalah mungilnya itu juga syok mendengar kata-kata gadis itu barusan.

“Itu artinya ia ingin jadi pacarmu…” Ryutaro segera membisikkan kata-kata itu di telinga Yuri setelah menyadari wajah tak mengerti dari sahabatnya itu.

“Kenapa begitu tiba-tiba…”
Yuri berbicara terbata-bata – sementara Yutopun masih mangap memandangi adegan itu.

“Dan Keito, apakah kau mau jadi pacarku?!”

DUOORR…

Otak Yuto seakan meledak saking tak mengertinya dengan adegan-adegan di hadapannya itu.

“Apa ini…”

Yuto masih terperangah…

Ayaka baru saja menyatakan kesediaannya menerima cinta Yuri yang sebenarnya perlahan perasaan Yuri telah tersampaikan pada gadis itu.
Dan tadi…
Setelah itu…

Yui menembak Keito?!!

Otak Yuto bagaikan tali-tali yang tengah menggumpal membentuk sebuah bentuk yang tak beraturan.
Ia semakin tak mengerti…

“Yuto-kun, maaf, kami lebih memilih persahabatan kami…” Yui dan Ayaka berdiri tepat di hadapan Yuto sambil tersenyum. Sementara yang diajak bicara masih saja melongo belum mampu mencerna maksud semua ini…

“Eh, Ayaka…”
Mata Yuri berkaca-kaca…
Terharu atas kata-kata gadis itu tadi – biarpun pemuda itu cukup pandai untuk menyadari bahwa si gadis belum sepenuhnya menerimanya, tapi sedang belajar untuk menerimanya.

“Sepertinya otak Yuto memang sedang tidak bisa digunakan kali ini,” bisik Ryutaro pada calon kakak iparnya itu – Yuya. Dan Yuyapun segera membalas, “maklumlah… bukannya itu malah sifat aslinya?”

PLAAKK… PLAAKK…
Dua pukulan mendarat di kepala Ryu dan Yuya.

“Aku mendengarnya…,” kata Yuto pada kedua manusia itu dengan pandangan ingin berkelahi.

“Bisa kita lanjutkan acara makan siangnya?”

Suara dari seorang Yamada Ryosuke, sudah lebih dari cukup untuk membuat orang-orang di sekitarnya itu kembali merilekskan pikiran sejenak.

Tanpa disangka-sangka,
Gadis itu dengan begitu berani mendekat dan duduk di samping Ryosuke.

“Ryosuke-kun… Apakah kau sudah baik-baik saja?!”

Baru saja Ryosuke ingin memberikan tatapan mautnya, tapi niatannya itu tak jadi terealisasi melihat wajah tulus gadis itu yang nampak masih begitu khawatir.
Pemuda itupun kembali memalingkan wajahnya – tak tega melihat tatapan mata gadis itu lebih lama lagi.

“Aku baik-baik saja, tak perlu khawatir…”


Semua pasang mata hanya mampu memandang tanpa komentar…
Kecuali satu orang itu…
Biarpun komentarnya sedikit tak berkaitan dengan adegan yang baru saja menghias layar kasat mata itu.

“Ryosuke… harusnya kau bilang dulu kalau kau sudah memutuskan masuk sekolah lagi,”
Kouta Yamada ingin marah pada adiknya itu tapi ditahannya – marah karena si adik yang selalu bertindak sesuka hatinya tanpa memperhatikan perasaan orang-orang di sekitarnya – termasuk perasaan kakaknya ini.

Kouta telah terduduk di samping adiknya – Ryosuke. Jemarinya yang langsing nan panjang mulai menelusuri wajah orang di sampingnya itu.

Entah sampai kapan ia harus terus mengkhawatirkan adiknya itu…

“Nii-chan, daijoubu…” dengan sedikit kasar, Ryosuke menampik kedua telapak tangan kakaknya itu dan menjauhkannya agar tak lagi memegangi sembari menatapi wajahnya.

Kouta mengalah…
Menghela nafas cukup dalam, mencoba menerima semua sikap Ryosuke yang memang rasa-rasanya tak kan bisa berubah sampai kapanpun.

“Ih, dasar kamu…”
Sebuah kata-kata mengalir gemes…
Setiap orang di atap itupun langsung melongo tak percaya dengan pemandangan yang teramat langka itu.

“Ahh… ahh… ittai… ittai…”
Ryosuke meringis memegangi lengan kecil yang tengah menarik paksa telinganya.

“Sugee na…”
Yuri, Yuto, Keito, dan Ryutaropun hanya bisa terpana menyaksikannya.

“Dia itu kakakmu… Setidaknya kau bisa lebih sopan sedikit padanya!!” Emi semakin menarik keras telinga pemuda itu – tak mempedulikan ringisan dan teriakan sakit dari si empunya kuping.

“Ish… Gadis ini…” gerutu Ryosuke begitu telinganya telah bebas dari jeweran Emi.

Sementara yang lain,
Mereka masih saja saling bisik – takjub…
“Tumben dia tak murka diperlakukan seperti itu?!” bisik Ryu pada Keito – masih tetap memandangi wajah sahabatnya itu yang belum lepas dari mengelus telinganya yang telah memerah padam.

“Jadi, Keito-kun, apakah aku diterima?”

“Yuri-kun, apa jawabanmu?”

“Jadi Ryosuke, kau janji tak kan galak lagi pada Kouta-sensei?!”


Ada apa ini…
Semuapun hanya mampu melongo melihat tingkah trio AYE yang jauh dari kata normal kali ini – tak seperti diri mereka yang biasa.

“Berkat kejadian akhir-akhir ini dengan kalian, kini kami tak kan ragu-ragu lagi dalam melangkah,” Yui tersenyum mantap – didukung dengan senyuman Ayaka dan Emi yang tak kalah imutnya.

“Cotto matte…”
Yuto mencoba meyakinkan sekali lagi tentang apa yang sebenarnya terjadi…

“Yui-chan… Kau benar-benar memutuskan untuk berpacaran dengan Keito?”
Yuto bertanya…
Berharap ia akan mendengar jawaban yang memang ingin didengarnya. Jawaban “tidak” tentunya.

“Yups… Aku rasa aku mulai menyukai Keito-kun saat ia meminjamiku sapu tangannya… ia benar-benar gagah saat itu…” gadis itupun kembali melayang dalam angan-angannya sembari mengingat kejadian yang dimaksud.

“Hah??”
Yuto mangap…
“Jatuh cinta hanya karena sapu tangan??”

Ryutaro, Zashi, Yuya, dan Yuripun ngakak dibuatnya…

“Hahahah…”
Yuri bisa tertawa lepas kali ini – sungguh kangen dengan tampang bloon saudaranya itu yang memang sempat tak menghiasi wajah Yuto beberapa hari terakhir ini.

“Yuri-kun…”
Tangan Ayaka dengan lembut menggenggam tangan Yuri – membuat pemuda itu segera menghentikan tawanya dan kembali berwajah serius.

“Aishiteru…”

Pemuda itu yang mengawalinya – membuat Ayaka terperanjat sekaligus terharu. Keduanyapun langsung berpelukan seketika. Begitu juga dengan Keito yang sudah mulai main mata dengan Yui, menyisakan Yuto yang terduduk lemas karena kabel otaknya tengah konslet.

“Apa-apaan ini…” Yutopun hanya mampu bergumam lirih – masih belum mampu mencerna semuanya…

“Makanya jangan memaksakan perasaan cintamu pada orang yang tak mencintaimu hingga membuatmu buta dengan orang lain yang jelas-jelas mencintaimu,” komentar tak bertanggungjawab dari sosok Ryosuke, semakin menenggelamkan perasaan pemuda itu.

CUUPP…
Sebuah kecupan terjadi…
Sekali lagi,
Semua terperangah,
Kecuali Yuto yang memang masih melamunkan nasib cintanya yang berakhir tragis.

“Kenekadan ini kami pelajari dari kalian…” sebuah senyuman terealisasi dari bibir gadis itu yang masih basah setelah mengecup tiba-tiba bibir merah Ryosuke. Sementara si korban kecup, ikut terpana dan membatu beberapa saat mendapat serangan yang begitu tak terduga itu.

“Gadis-gadis ini memang gila…” batin Ryosuke masih tak percaya sekaligus kagum.

===================
===================

“Kouta-kun…”

Gadis yang baru saja datang ke atap itu terlihat berlari terburu-buru.

“Ternyata benar kau sudah kembali ke sekolah hari ini. Dari tadi aku mencarimu…” dengan terengah-engah, gadis itu berbicara dengan wajah yang berbinar-binar – senang setelah kembali bisa melihat wajah orang yang sedari dulu ditaksirnya itu…

“Azukawa-san…”
Kouta benar-benar tak menduga gadis itu akan menemuinya di tempat itu. Sejenak pemuda itu melirik Ryosuke – takut andai pemandangan ini akan membuat adiknya itu kembali tak terkendali lagi seperti kejadian yang sama lebih dari seminggu yang lalu.

“Mimi-chan…”
Ryosuke segera memberikan pandangannya pada gadis yang baru saja datang itu – hanya memandang gadis itu seorang.

Dari dalam lubuk hati terdalamnya, ia benar-benar rindu gadis itu – gadis yang jelas masih dicintainya sampai detik ini.

Kouta menyadari perubahan raut wajah adiknya…

Sementara Emi…

Rasa percaya diri yang sedari tadi dibanggakannya kini lenyap seketika melihat mimik wajah pemuda itu yang langsung berubah setelah melihat Mimiko – siswi kelas satu seperti dirinya, namun beda kelas.

“Selama ini sensei kemana?”
Mimiko bertanya manja sambil menarik-narik kemeja kepala sekolahnya itu. Sedikitpun ia tak menyadari ada pemuda lain yang memandanginya sepenuh hati seakan ingin segera memeluknya karena rasa rindu yang semakin meluap.

“Ah, Azukawa-san… Sebaiknya kita ngobrol di tempat lain…”
Tak ingin membuat perasaan adiknya semakin terluka, Kouta segera menggandeng gadis ke arah pintu keluar atap gedung sekolah, hingga akhirnya sosok keduanyapun telah lenyap dari pandangan.

“Makanya jangan memaksakan perasaan cintamu pada orang yang tak mencintaimu hingga membuatmu buta dengan orang lain yang jelas-jelas mencintaimu…”
Seakan ingin membalas…
Yuto mengembalikan kata-kata barusan pada sahabatnya itu dengan suara yang pastinya cukup bagi Ryosuke untuk mendengarnya.

Tak seperti biasa…
Ryosuke menerima dengan begitu saja kata-kata Yuto barusan. Atau lebih tepatnya, ia tak menghiraukannya.

“Sejak kapan saudaramu itu sudah sadar dari perasaan hancurnya itu?” giliran Yuya yang berbisik ringan ke telinga Yuri.

“Dalam keadaan biasa, pastinya Ryosuke akan membantai Yuto tanpa belas kasihan,” Yuri membalas bisikan kakak tingkatnya itu sambil menghela nafas pendek, bersyukur Yuto tak diapa-apakan oleh Ryosuke yang bagaimanapun masih mewarisi darah Kei Yamada, sekaligus mewarisi beberapa sifat buruknya.

Sementara pemuda yang sedang dibicarakan,
Ryosuke…
Masih berusaha meyakinkan hatinya untuk tak lagi menyalahkan kakaknya kali ini…

“Percayalah… Jika ia jodohmu, maka ia kelak pasti akan menjadi milikmu…” Emi berusaha menghibur Ryosuke, dan pemuda itupun seakan terpanggil untuk menatap wajah gadis di hadapannya itu yang terlihat menahan tangis.

Ryosuke memahami perasaan Emi padanya, tapi…
Apa mau dikata, hatinya masih milik Mimi-chan – begitulah panggilannya selama ini pada Mimiko Azukawa.

“Kuatkan hatimu ya…” sekali lagi Emi bersuara…
Memegang ringan wajah Ryosuke dan menatap matanya – dalam…
Ryosukepun tak bisa menolak sedikitpun bentuk perhatian gadis itu padanya.

Entah kenapa…

===================
===================

“Kalian… Awas…”
Sebuah teriakan dari arah pintu tiba-tiba menusuk telinga Ryosuke dan yang lain.

“Sora…”
Semua membatin diam melihat gadis yang datang begitu buru-buru dengan wajah tegangnya.

“Awas…”
Sekali lagi ia berteriak…
Segera diraihnya tubuh Yuto dan mendekapnya kuat…

DOORRR DOORRR DOORRR DOORRR…

Sebuah rentetan tembakan terdengar membahana di atap sekolah itu…

Kepanikan luar biasa menyelimuti kesebelas anak di atap tadi…
Ryosuke, Yuri, Yuto, Keito, Ryutaro, Yuya, Zashi, Ayaka, Yui, Emi, dan Sora…
Semuanya tengah mencoba berlindung dan saling melindungi.

Yuri terus menggenggam erat telapak tangan Ayaka…
Begitu juga dengan Keito – Yui, Yuya – Zashi, Sora – Yuto, dan Ryosuke – Emi.

Rentetan tembakan itu masih terus menggema…

Lantai itu mulai ternodai dengan bercak darah…
Entah siapa yang terluka kali ini…

Semua masih terus mempertahankan nyawa mereka hingga tembakan itupun akhirnya terhenti – menyisakan satu sosok di ujung gedung lain yang tersenyum senang sambil menjinjik senjatanya – melangkah pergi…

“Aarrgghh…”
Lagi-lagi pemuda itu merintih sakit…
Tapi kali ini jelas bukan karena tembakan mengingat tak ada sedikitpun darah di kemejanya.

“Ryosuke, daijoubu?!” Emi terlihat panik – tak menyadari genggaman erat Ryosuke yang sedari tadi menggenggamnya – mencoba melindungi gadis itu dari tembakan-tembakan tadi.

Zashi buru-buru memberikan obat pada pemuda yang sudah dianggapnya seperti adik kandungnya itu.
Obat pengganti suntikan yang selama ini diberikan pada Ryosuke saat rasa nyerinya itu kambuh.

“Daijoubu… daijoubu… Semua akan baik-baik saja,” Zashi dan yang lain terus berusaha menenangkan pemuda itu agar rasa sakitnya tak berkepanjangan. Dan pada akhirnya… pemuda itupun bisa tertidur nyaman…
Efek dari obat barusan…

“Hm, Emi… Punggungmu…”
Ayaka berbicara lirih – membuat yang lain mengikuti arah yang dilihat oleh gadis bernama Ayaka itu.

Sementara Emi,
Iapun masih tak memahami kenapa yang lain memandangnya seperti itu…

Tapi begitu disadarinya…


Ternyata ia telah tertembak…
Darah itu masih terus mengalir dari lukanya.


“Ryosuke…”
Gadis itupun hanya mampu menangis…
Menyadari perasaan dingin yang mulai menjalari tubuhnya.

And finally…


Totally blackout…


===================
TO BE CONTINUED
===================


No comments:

Post a Comment

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers