| Oleh: Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi 
 Pertanyaan
 1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang   dinikahi dalam keadaan hamil?
 
 2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus   cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus   bercerai terlebih dahulu?
 
 3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
 
 
 Kami jawab dengan meminta pertolongan dari Allah Al-'Alim Al-Hakim sebagai   berikut :
 1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :
 Satu : Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
 Dua : Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak   terjadi di zaman ini –Wal 'iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita   dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.
 
 Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi   sampai lepas 'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan   sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
 
 Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka   melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4).
 
 Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan   nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :
 
 Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum   habis 'iddahnya. (QS. Al-Baqarah : 235).
 
 Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini :
 Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas 'iddah-nya. Kemudian   beliau berkata : Dan para 'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada   masa 'iddah.
 Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263   dan Zadul Ma'ad 5/156.
 
 Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas   karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi diseputarnya.   Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-'Alim   Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut :
 Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam   hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat   dikalangan para 'ulama.
 
 Secara global para 'ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara   untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
 Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
 
 Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para 'ulama :
 Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan   pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu 'Ubaid.
 Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik,   Syafi'iy dan Abu Hanifah.
 
 Tarjih
 
 Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan   disyaratkan untuk bertaubat.
 Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 :
 Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang   menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar   tanpa keraguan. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah 'Azza Wa Jalla :
 
 Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau   perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan   oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal   tersebut atas kaum mu`minin. (QS. An-Nur : 3).
 
 Dan dalam hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya 'Abdullah bin   'Amr bin 'Ash, beliau berkata :
 
 Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari   Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama)   'Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : Maka saya datang   kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam lalu saya berkata :   Ya Rasulullah, Saya nikahi 'Anaq ?. Martsad berkata : Maka beliau diam, maka   turunlah (ayat) : Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh   laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Kemudian beliau memanggilku   lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : Jangan kamu nikahi dia.
 
 (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i   6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy   dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu   dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
 
 Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina.   Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah   bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut   berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam :
 
 Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.   (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho'ifah 2/83 dari seluruh   jalan-jalannya)
 Adapun para 'ulama yang mengatakan bahwa kalimat 'nikah' dalam ayat An-Nur   ini bermakna jima' atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya)   ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan   bermakna jima' atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah   dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan   perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy   dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma'ad 5/114-115.
 Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563   (cet. Dar 'Alamil Kutub), dan Al-Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.
 
 Catatan :
 Sebagian 'ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat   perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak   berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam   Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari 'Umar dan Ibnu 'Abbas dan pendapat Imam   Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat   ini.
 Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata :   Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan   memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan   tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun   untuk mengajarinya Al-Qur'an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan   dalam merayunya untuk berzina ?.
 
 Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia   bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :
 1. Ikhlash karena Allah.
 2. Menyesali perbuatannya.
 3. Meninggalkan dosa tersebut.
 4. Ber'azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
 5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari   Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
 Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu   A'lam.
 
 Syarat Kedua : Telah lepas 'iddah. Para 'ulama berbeda pendapat apakah lepas   'iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau   tidak, ada dua pendapat :
 Pertama : Wajib 'iddah.
 Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha'iy, Rabi'ah bin 'Abdurrahman,   Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
 Kedua : Tidak wajib 'iddah.
 Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara   mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi'iy boleh untuk   melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima'   dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang   menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat   boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima' dengannya, apabila   yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang   menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah   tapi tidak boleh ber-jima' sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari   janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut   dalam keadaan hamil.
 
 Tarjih
 
 Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib 'iddah   berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
 1. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi   shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang   Authos :
 
 Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang   tidak hamil sampai ia telah haid satu kali.
 (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212,   Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul   Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama   Syarik bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek   tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang   shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh   Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).
 
 2. Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu   'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau bersabda :
 
 Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan   airnya ke tanaman orang lain.
 (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449,   Ibnu Qoni' dalam Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot   2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam   Al-Irwa` no. 2137).
 
 3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala   alihi wa sallam :
 
 Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath.   Beliau bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?. (Para sahabat)   menjawab : Benar. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam   bersabda : Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat   yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal   baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.
 
 Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat   jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena   suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan   orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada   kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.
 
 Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib 'iddah dan   pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy,   Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu   A'lam.
 
 Catatan :
 Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena   zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini 'iddah bagi perempuan   yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah   'Azza Wa Jalla :
 
 Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka   melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4).
 
 Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, 'iddahnya   diperselisihkan oleh para 'ulama yang mewajibkan 'iddah bagi perempuan yang   berzina. Sebagian para 'ulama mengatakan bahwa 'iddahnya adalah istibro`   dengan satu kali haid. Dan 'ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid   yaitu sama dengan 'iddah perempuan yang ditalak.
 Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup   dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh   Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudry di atas. Dan 'iddah   dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur'an bagi perempuan yang   ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla   Sya`nuhu :
 
 Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu)   selama tiga kali quru`(haid). (QS. Al-Baqarah : 228).
 
 Kesimpulan Pembahasan :
 1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat   yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan   telah lepas 'iddah-nya.
 
 2. etentuan perempuan yang berzina dianggap lepas 'iddah adalah sebagai   berikut :
 kalau ia hamil, maka 'iddahnya adalah sampai melahirkan.
 kalau ia belum hamil, maka 'iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali   semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta'ala A'lam.
 Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh   8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu' 17/348-349, Raudhah   Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul   Ma'ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami' Lil Ikhtiyarat   Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.
 
 3. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil   karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, 'iddahnya adalah sampai   melahirkan. Dan para 'ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa 'iddah adalah   akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah   dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan   akad pada masa 'iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi   hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam,   demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
 
 Kalau ada yang bertanya : Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya   kembali setelah lepas masa 'iddah?.
 Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama. Jumhur   (kebanyakan) 'ulama berpendapat : Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya   bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas 'iddah-nya.
 Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan   telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan   dengan atsar 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan hal   tersebut.
 pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi'iy tapi   belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan.   Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam   tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar 'Umar yang menjadi dalil bagi Imam   Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari 'Umar bin   Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai   kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah   kembali setelah lepas 'iddah. Wal 'Ilmu 'Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir   1/355 (Darul Fikr).
 
 4. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan   keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka   berdua tetap melakukan jima' maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas   hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya   hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut. Adapun kalau   keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini   dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak   sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan. Adapun   mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum   ia ambil atau belum dilunasi.
 Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shollallahu   'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
 
 Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil,   nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan)   maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka   berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.
 (HR. Syafi'iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm   5/13,166, 7/171,222, 'Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb   sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin   Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy   dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083,   At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no.   700, Sa'id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy   dalam Syarah Ma'any Al-Atsar 3/7, Abu Ya'la dalam Musnadnya no.   4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim   2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu'aim   dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy   dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu 'Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan   dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840).
 
 Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa   'iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits   mencakup semuanya.
 Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
 
 Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia   melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman   Allah Ta'ala :
 
 Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan   penuh kerelaan (QS. An-Nisa` : 4).
 
 Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
 
 Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.(QS.An-Nisa` :   24)
 
 Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A'lam.
 Lihat : Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494,   Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma'ad 5/104-105.
 
 Referensi: Dari: Majalah An-Nashihah Volume 05 Th.1/1424 H/2004 M Rubrik:   Masalah Anda, Diasuh oleh Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi; hal.2-6 Catatan:   Jika memperbanyak artikel ini mohon mencantumkan sumbernya. Terima kasih
 | 
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^