Ada beberapa karakteristik yang mendasari sistem
akuntansi syariah yaitu:
a. Uang merupakan alat
tukar dan bukan merupakan komoditi yang dapat diperjualbelikan.
b. Tidak dikenal adanya
konsep value of money.
c. Tidak diperkenankan
kegiatan yang bersifat spekulatif karena adanya ketidakpastian.
d. Tidak diperkenankan dua
transaksi untuk satu barang.
e. Tidak diperkenankan dua
harga satu barang (IAI, 2003).
Dengan beberapa karakteristik tersebut kemudian
dijabarkan dalam aplikasi operasi akuntansi syariah kepada prinsip-prinsip
pengimpunan dana meliputi: dana modal yaitu dana dari pendiri perusahaan dan
dari para pemegang saham perusahaan tersebut, dana titipan masyarakat yang
dikelola dengan sistem wadi’ah, dan dana yang diinvestasikan melalui
perusahaan dalam bentuk dana investasi khusus (Mudharabah Muqayyadah)
atau investasi terbatas ( Mudharabah Mutlaqoh) (Al-Qardawi Yousof, 1405
H). Biasanya dilakukan oleh Bank Syariah sebagai perantara antara investor
(Shohibul maal) dengan pengelola dana (mudhorib)..
Pengertian dari masing-masing transaksi tersebut yang
bisa diimplementasikan dalam perusahaan antara lain (AAOIFI/ ,2004);(MASB,2003);(IAI,2003):
a. Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerjasama di antara para pemilik modal yang mencampurkan
modal mereka untuk tujuan mencari keuntungan. Dalam pembiayaan musyarakah mitra (perusahaan) dan bank syariah sama-sama menyediakan modal untuk
membiayai suatu usaha tertentu, baik yang sudah berjalan mahupun yang baru.
Selanjutnya mitra dapat mengembalikan modal tersebut berikut bagi hasil yang
telah disepakati. Pembiayaan musyarakah dapat
diberikan dalam bentuk kas, setara kas, atau aktiva non-kas, termasuk aktiva
tidak berwujud, seperti lisensi dan hak paten.
Setiap mitra tidak dapat menjamin mitra lainnya, oleh karena
itu setiap mitra dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan jaminan atas
kelalaian atau kesalahan yang disengaja. Keuntungan musyarakah dibagi
diantara para mitra, baik secara proporsional sesuai dengan dana yang
disetorkan (baik berupa kas mahupun aktiva lainnya) maupun sesuai nisbah yang
disepakati oleh semua mitra. Sedangkan kerugian dibebankan secara proporsional
sesui dengan dana yang disetorkan (baik berupa kas mahupun aktiva lainnya).
Musyarakah dapat bersifat musyarakah
permanen mahupun menurun. Dalam musyarakah permanen, bagian modal setiap
mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir waktu akad.
Sedangkan dalam musyarakah menurun, bagian modal bank akan dialihkan
secara bertahap kepada mitra sehingga bagian modal bank akan menurun dan pada
akhir waktu akad akan menjadi pemilik usaha tersebut.
Dalam firman Allah SWT QS. Shad (38): 24 yang artinya ”....Dan sesungguhnya kebanyakan
orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada
sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat
sedikitlah mereka ini...”. Landasan lain transaksi musyarakah dalam hadits riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah,
Rasulullah SAW berkata:”Allah SWT berfirman: ’Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah
satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari
mereka.” (HR Abu Daud, yang
dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).
b. Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal
(pemilik modal) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisbah bagi hasil
menurut kesepakatan di muka. Modal
yang diberikan adalah 100% dari pemilik modal, sedangkan mudharib mengelolan secara penuh atas usaha yang telah disepakati. Apabila
usaha mengalami kerugian, maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana,
kecuali jika ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana, seperti
penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
Mudharabah terdiri dari dua jenis,
yaitu mudharabah muthlaqah (investasi tidak terikat) dam mudharabah
muqayyadah (investasi terikat). Mudharabah muthlaqah adalah akad mudharabah
dimana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam mengelola
investasinya. Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah akad mudharabah
dimana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola dan mengenai tempat,
cara, dan objek investasi. Sebagai contoh, pengelola dana dapat diperintahkan
untuk: tidak mencampurkan dana pemilik dana dengan dana lainnya, tidak
menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa penjamin, atau
tanpa jaminan, mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri
tanpa melalui pihak ketiga.
Bank syariah dapat bartindak baik sebagai pemilik dana
mahupun sebagai pengelola dana. Apabila bank bartindak sebagai pemilik dana,
maka dana yang disalurkan disebut pembiayaan mudharabah. Apabila bank
sebagai pengelola dana maka dalam akad mudharabah muqayyadah dana yang
diterima disajikan dalam laporan perubahan investasi terikat sebagai investasi
terikat dari nasabah. Sedangkan dalam akad mudharabah mutlaqah dana yang
diterima disajikan dalam neraca sebagai investasi tidak terikat. Pengembalian
pembiayaan mudharabah dapat dilakukan bersamaan dengan distribusi bagi
hasil atau pada saat diakhirinya akad mudharabah.
Dasar dari transaksi mudharabah seperti dalam firman
Allah QS. An-Nisa (4):29 yang artinya:”Hai orang-orang yang beriman! Janganlah
kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan sukarela diantaramu….”. Juga dalam QS.Al-Baqarah (2):283
yang artinya:”…Maka, jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya….”. Dalam Hadits
Nabi riwayat Thabrani: “Abbas bin Abdul
Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada
mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta
tidak membeli hewan ternak, jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar
Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas). Dalam
dari hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari
Shuhaib: “Nabi bersabda,’ada tiga hal
yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah)
dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
c.
Murabahah
Murabahah
adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan
keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Murabahah
dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan
pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah.
Pembayaran dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Dalam murabahah
diperkenankan adanya perbedaan harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda.
Perusahaan dagang dapat memberikan muqashah
(potongan) apabila nasabah mempercepat pembayaran cicilan atau melunasi piutang
murabahah sebelum jatuh tempo. Harga
yang disepakati dalam murabahah
adalah harga beli. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad maka
pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam
akad. Oleh karena itu dalam akad hendaknya diperjanjikan pembagian potongan
setelah akad ditandatangani.
Dasar penerapan transaksi
murabahah pada Firman Allah QS.An-Nisa (4):29 yang artinya:”Hai orang yang beriman! Janganlah kalian
saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”. Dalam
QS: Al-Baqarah (2):275:”…Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”. Dalam QS: Al-Maidah
(5):1:”Hai orang-orang yang beriman!
Penuhilah akad-akad itu…”, QS: Al-Baqarah (2):280: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai ia berkelapangan…”.
d.
Ijarah
Ijarah
adalah akad sewa-menyewa antara pemilik ma’jur (objek sewa) dan musta’jir
(penyewa) untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya.
Pemilik objek sewa dapat meminta penyewa menyerahkan jaminan atas Ijarah
untuk menghindari risiko kerugian. Jumlah, ukuran dan jenis objek sewa harus
jelas diketahui dan tercantum dalam akad. Sebagai objek kontrak adalah:
pembayaran (sewa), dan manfaat dari penggunaan asset. Manfaat dari penggunaan
asset dalam Ijarah adalah objek
kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari
sewa dan bukan asset itu sendiri. Sighat
Ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak,
baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara
penawaran dari pemilik asset (LKS) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa
(nasabah).
Dasar penerapan transaksi Ijarah dalam firman Allah QS. Az-Zukhruf (43):32:”Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami
telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan
rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”. Dalam surat lain QS. Al-Baqarah (2):233:”...Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan menurut yang patut.
Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.”
Ketentuan Objek Ijarah
antara lain:
1. Objek Ijarah adalah manfaat dari penggunaan
barang dan/ atu jasa tenaga kerja.
2. Manfaat barang harus
bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak
3. Pemenuhan manfaat harus
yang bersifat dibolehkan.
4. Kesanggupan memenuhi
manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
5. Manfaat harus dikenali
secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan)
yang akan mengakibatkan sengketa.
6. Spesifikasi manfaat
harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali
dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa adalah sesuatu yang
dijanjikan dan dibayar customer sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat
dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam Ijarah.
8. Pembayaran sewa boleh
berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan objek kontrak.
9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat
diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak
e. Ijarah Muntahiya bittamlik
Ijarah
Muntahiya bittamlik adalah akad
sewa-menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas
objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa pada
saat tertentu sesuai dengan akad sewa. Perpindahan hak milik objek sewa kepada
penyewa dapat dilakukan dengan; hadiah, penjualan sebelum akad berakhir sebesar
harga yang sebanding dengan sisa cicilan sewa, penjualan pada akhir waktu sewa
dengan pembayaran tertentu yang disepakati pada awal akad, penjualan secara
bertahap sebesar harga tertentu yang disepakati dalam akad.
Dasar transaksi Ijarah
Muntahiya bittamlik pada dasarnya sama dengan transaksi Ijarah, sebab
perpindahan kepemilikan setelah transaksi Ijarah
berakhir yang dilanjutkan dengan transaksi berikutnya yaitu perpindahan kepemilikan.
Beberapa hadits Nabi yang mendasari transaksi ini antara lain: Hadits Nabi
riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i dari Sa’ad Ibn Abi Waqqash, dengan teks Abu
Daud, ia berkata: “Kami pernah menyewakan
tanah dengan (bayaran) hasil tanaman yang tumbuh pada parit yang teraliri air,
maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar
kami menyewakan tanah itu dengan emas atau perak (uang)”. Dan hadits yang
lain, Hadits Nabi riwayat Ahmad dari Ibnu Mas’ud:”Rasulullah melarang dua bentuk akad sekaligus dalam satu objek”.
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^