A.
PENGERTIAN
HADITS
Menurut ahli bahasa, al-hadits adalah al-sunnah, al-khabar,
al-atsar. Dalam arti terminologi, istilah-istilah tersebut menurut kebanyakan
ulama hadits adalah sama dengan terminologi al-hadits (Mahmud al-Thahan,
1985:15-16 dan Fathurrahman, 1974:28), meskipun ulama lain ada yang membedakan.
Dalam mengartikan al-hadits secara istilah atau terminologi,
antara ulama hadits dan ulama ushul fiqh terjadi perbedaan pendapat. Menurut
ulama hadits, arti dari hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi
Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat (Mahmud
al-Thahan, 1985:a15). Sedangkan ulama ahli ushul fiqh mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan hadits adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Saw
yang berkaitan dengan penetapan hukum.
Al-sunnah dalam pengertian etimologi, dapat dilihat dalam
Al-Qur’an surat al-Kahfi (18) ayat 55, surat Fathir (35) ayat 43, surat
al-Anfal (8) ayat 38, surat al-Hijr (15) ayat 3 dan surat al-Ahzab (33) ayat 38
dan ayat 62. Adapun pengertian al-sunnah secara istilah (terminologi), seperti
dikemukakan oleh Muhammad Ajaj al-Khatib (1981:89), adalah segala yang
bersumber dari Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat
maupun perjalanan hidupnya sebelum atau sesudah diangkat menjadi rasul.
Terhadap pengertian istilah di atas, al-hadits, al-sunnah,
al-khabar dan al-atsar, terutama dilihat dari aspek terminologinya, ada ulama
yang mempersamakan artinya, ada pula yang membedakannya. Ulama yang membedakan
arti istilah-istilah tersebut mengatakan bahwa al-hadits adalah sesuatu yang
sandarannya adalah Nabi Muhammad Saw, sedangkan al-sunnah adalah sesuatu yang
sandarannya tidak hanya Nabi Muhammad Saw, tetapi juga sahabatnya. (Nur al-Din
‘Athar, 1979:29)
Adanya perbedaan makna terminologi dari istilah-istilah
tersebut, menurut Fathurrahman (1974:28), tidaklah prinsipil. Pendapat yang
serupa juga dikemukakan oleh Utang Ranuwijaya dan Munzir Suparta (1996:15) yang
mengatakan bahwa sebetulnya istilah-istilah tersebut mengacu pada pengertian
yang sama, yaitu segala sesuatu yang sandarannya adalah Nabi Muhammad Saw, baik
berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir.
B.
FUNGSI
HADITS
Umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam
kedua setelah Al-Qur’an.
Menurut T.M. Hasybi al-Shiddieqi sebagaimana dikutip oleh Endang
Soetari Ad (1994:111-128) dan Mundzir Suparta (1996:49-56), dan Fathurrahman
(1974:65), fungsi hadits terhadap Al-Qur’an itu sebagai penjelas (al-bayan).
Mereka kemudian membagi al-bayan menjadi beberapa kategori sesuai dan mengikuti
kategorisasi yang diajukan oleh ulama.
Malik bin Anas dan al-Syafi’i menyebut lima kategori, sedangkan Ahmad bin Hanbal
menyebutkan empat kategori. Fathurrahman (1974:65-68) menyimpulkan penjelasan
serta kategori al-bayan ke dalam tiga hal:
1. Hadits berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang
telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Contohnya, ada
kewajiban menjalankan puasa jika melihat bulan (Q.S. al-Baqarah : 185) lalu
dikuatkan dengan hadits yang disampaikan oleh Abu al-Husain Muslim bin
al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi (1992:481) yang menyatakan bahwa Nabi
Muhammad Saw bersabda, “Berpuasalah jika kamu melihat bulan, dan berbukalah
jika melihatnya.”
2. Hadits berfungsi merinci dan menginterpretasi ayat-ayat
Al-Qur’an yang global. Contohnya dalam sabda Nabi
Muhammad, yang artinya sebagai berikut: “Salatlah seperti halnya engkau melihat
aku salat”
3. Hadits berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat
dalam Al-Qur’an. Contohnya hadits yang menerangkan tidak
dibolehkannya memadu antara bibi dan keponakan.
C.
SEJARAH
DAN KODIFIKASI HADITS
Penulisan resmi hadits dalam kitab-kitab hadits, seperti
dijumpai sekarang ini, baru dimulai pada masa Bani Umayah, yaitu pada zaman
Umar bin Abd al-Aziz. Penulisan secara resmi atau disebut juga tadwin, dimulai
setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Ad al-Aziz kepada para pakar
hadits untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadits yang dilakukan
oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan kepada lingkup
pengertian kodifikasi.
- Periode Nabi dan disebut Masa Wahyu dan
Pembentukan (‘ashr al-wahy wa al-takwin)
Pada periode ini, Nabi melarang para sahabat menulis hadist,
karena di samping adanya rasa takut bercampur antara hadist dan Al-Qur’an, juda
agar potensi umat islam lebih tercurah kepada Al-Qur’an. Namun, walaupun ada
larangan, sebagaian sahabat ada juga yang berinisiatif menulisnya untuk
berbagai alasan. Pada masa ini, para sahabat menerima hadist dari Nabi melalui
dua cara: langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung di antaranya
melalui ceramah atau khutbah, pengajian, atau penjelasan terhadap pertanyaan
yang disampaikan kepada Nabi. Adapun yang tidak langsung di antaranya mendengar
dari sahabat yang lain atau mendengar dari utusan-utusan, baik utusan dari Nabi
ke daerah-daerah atau utusan dari daerah yang datang kepada Nabi. Ciri utama
periode ini ialah aktifnya para sahabat dlam menerima hadist dan menyalinnya
secara sendiri-sendiri. Di samping itu, sahabat menerima hadist dan
menyampaikannya kepada yang lain melalui kekuatan hafalan. Para
sahabat yang banyak menerima hadist ialah khulafa rasyidun, Abd Allah bin
Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Siti Aisyah, dan Ummu Salamah.
- Zaman khulafa rasyidun
Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadist dan
penyedikitan riwayat (zaman al-tatsabut wa al-iqlal min al-riwayah).
Usaha-usaha para sahabat di dalam membatasi hadist dilatarbelakangi oleh rasa
khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran muncul karena suhu politik
umat islam secara internal mulai labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan
yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya, para sahabat
sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayat kan hadist. Mereka melakukan periwayatan
hadist dengan dua cara: lafzi ma’nawai. Periwayatan bi al-lafdz adalah redaksi
hadist yang diriwayatkan betul-betul sama dengan disabdakan oleh Nabi. Adapun
periwayatan ma’nawi ialah redaksi hadist yang diriwayatkan berbeda dengan yang disabdakan
Nabi, tapi substansinya sama.
- Periode penyebaran hadist ke berbagai
wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang berlangsung pada
masa sahabat kecil dan tabi’in besar
Pada masa ini, wilayah islam sudah sampai ke Syam (Suriah),
Irak, Mesir , Persia , Samarkand , dan Spanyol. Bertambah luasnya
wilayah berdampak kepada menyebarnya hadist ke wilayah-wilayah tersebut yang
dibawa oleh para sahabat yang pindah ke wilayah-wilayah tadi untuk menjadi
pimpinan atau menjadi guru di sana .
Di antara tokoh-tokoh hadits pada masa ini ialah Sa’id dan Urwah di Madinah,
Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi’ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha’I di Kufah,
Muhammad bin Sirin di Bashrah, Umar bin Abd al-Aziz di Syam, Yazid bin Habib di
Mesir, dan Wahab bin Munabih di Yaman.
- Periode penulisan dan pembukuan hadits
secara resmi (‘ashr al-kitabat wa al-tadwin)
Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar
bin Abd al-‘Aziz (717-720 M) sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani
Umayah kedelapan yang menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr
bin Hazm, Gubernur Madinah untuk menulis hadits.
Latar belakang Umar bin Abd al-Aziz menginstruksikan untuk
mengkodifikasi hadits adalah bercampurbaurnya hadits sahih dengan hadits palsu,
di samping rasa takut dan khawatir lenyapnya hadits-hadits dengan meninggalnya
para ulama dalam perang. Pentadwinan terus berlangsung sampai masa Bani Abbas
sehingga melahirkan para ulama hadits, seperti Ibnu Juraij di Mekkah, Abi Ishaq
dan Imam Malik di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih dan Abd al-Rahman al-Auzi di
Suriah.
Di samping lahirnya para ulama hadits, dihasilkan pula sejumlah
kitab-kitab hadits karya para ulama. Misalnya, al-Musnad karya Imam Syafi’i,
al-Musnaf karya al-Auza’I, dan al-Muwaththa’ karya Imam Malik yang disusun atas
perintah khalifah Abu-Ja’far al-Mansur.
Kitab-kitab hadits terbitan periode ini belum terseleksi betul
sehingga isinya masih bercampur antara hadits Nabi dan fatwa sahabat di samping
juga hadits palsu.
- Periode pemurnian, penyehatan dan
penyempurnaan (‘ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang
berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 Hijriah atau
tepatnya saat Dinasti Abbasiah dipegang oleh Khalifah al-Ma’mun sampai
al-Mu’tadir
Pada masa ini, para ulama mengadakan gerakan penyeleksian,
penyaringan dan pengklasifikasian hadits-hadits. Hasil dari gerakan ini adalah
lahirnya kitab-kitab hadits yang sudah terseleksi, seperti Kitab Shahih, Kitab
Sunan dan Kitab Musnad.
Pada periode ini tersusun 6 kitab hadits terkenal yang bisa disebut
Kutub al-Sitah, yaitu:
1. Al-Jami’ al Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H)
2. Al-Jami’ al Shahih karya Imam Muslim (204-261 H)
3. Al-Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202-275 H)
4. Al-Sunan karya al-Tirmidzi (200-279 H)
5. Al-Sunan karya al-Nasai (215-302 H)
6. Al-Sunan karya Ibnu Majah (207-273 H)
- Masa pemeliharaan, penertiban,
penambahan dan penghimpunan (‘ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak
wa al-jam’u)
Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara
abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti
Abbasiah ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H / 1258 M.
Gerakan ulama hadits pada periode keenam sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan gerakan ulama pada periode kelima. Hasil dari gerakan mereka
adalah lahirnya sejumlah kitab hadits yang berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab
Mustakhrij, Kitab Athraf, Kitab Mustadrak dan Kitab Jami’.
Ulama-ulama hadits dan kitab-kitab hadits yang masyhur pada
periode ini di antaranya ialah sebagai berikut:
1. Sulaiman bin Ahmad al-Thabari. Kitab karyanya ialah al-Mu’jam
al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausath, dan al-Mu’jam al-Shagir.
2. ‘Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquhni. Kitab
karyanya ialah Sunan al-Daruquthni.
3. Abu Awanah Ya’kub al-Safrayani. Kitabnya ialah Shahih Awanah.
4. Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq yang menulis kitab Shahih Ibnu
Khuzaimah.
5. Abu Bark Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi yang menulis kitab
al-Sunan al-Kubra.
6. Majuddin al-Harrani yang menulis kitab Muntaq al-Akbar.
7. Al-Syaukani yang menulis kitab Nail al-Authar.
8. Al-Munziri yang menulis kitab al-Taqrib wa al-Tahrib.
9. Al-Shiddiqi yang menulis kitab Dalil al-Falihin.
10. Muhyiddin Abi Zakaria al-Nawawi yang menulis kitab Riyadl
al-Shalihin.
- Periode persyarahan, penghimpunan dan
pentakhrijan (‘ahd al-syarh wa al-jamu’ wa al-takhrij wa al-bahts)
Periode ini merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya,
terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadits-hadits. Ulama pada
periode ini mulai mensistemisasi hadits-hadits menurut kehendak penyusun,
memperbarui kitab-kitab dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya.
Mereka cenderung menyusun hadits sesuai dengan topik pembicaraan.
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^