Ketika arus kolonialisme
melanda dan mengungkung negeri-negeri umat islam, pada saat inilah umat islam
menemui puncak kesengsaraannya, karena hal tersebut kebodohan menjangkiti umat
islam. Dimulai dengan serangan Tatar ke pusat peradaban islam Bagdad
pada tahun 656 H (abad ketiga belas masehi). Mereka benar-benar membuat peradaban
islam menemui ajalnya, buku-buku yang berjumlah ribuan atau mungkin jutaan dari
perpustakaan pusat di Bagdad sebagai hasil
pemikiran islam yang sangat berharga itu mereka buang ke sungai Dajlah. Begitu
banyaknya buku-buku yang menandakan kecemerlangan pemikiran islam saat itu,
sampai-sampai digambarkan bahwa setelah dibuangnya buku-buku tersebut ke sungai
Dajlah yang besar tersebut, kuda-kuda pasukan Tatar bisa menyeberangi sungai
tersebut dengan menjadikan buku-buku tersebut sebagai jembatan.
Selanjutnya, pusat peradaban
islam kedua, Andalus, tanah air filosof islam besar Ibnu Rusydi Al-Syârih
dihancurkan oleh Kerajaan Katolik Spanyol pada tahun 897 H/1492 M. Tidak hanya
itu, pada tahun antara 1018-1023 H/1609-1614 M ribuan umat islam diusir dari
Spanyol secara paksa oleh Pemerintahan Kristen yang berkuasa ketika itu.
Dan puncak kolonialisme
tersebut terjadi di abad kesembilan belas masehi di mana negeri-negeri eropa
seperti Inggris dan Perancis datang menguasai negeri-negeri islam. Pada tahun
1830 Perancis mulai mencengkeramkan kukunya di Aljazair. Selanjutnya Inggris
pada tahun 1841 bekerjasama dengan sultan Turki Utsmani yang berkuasa ketika
itu berhasil memaksa Mesir untuk mengurangi perbatasannya. Pada tahun 1860,
Inggris dan Perancis memulai penjajahannya di Syam. Pada tahun 1868, aliran
Mamâli` Inggris meraih kemenangan di negeri Afganistan. Dan pada abad tersebut
juga arus kolonialisme terus membanjiri dan menghancurkan Iran , Mesir , Tunis ,
Libiya , Sudan dan India .
Malik bin Nabi berusaha
menggambarkan kondisi umat islam ketika zaman kolonialisme barat menghunjamkan
kuku-kukunya di tubuh umat, dengan mengambil contoh apa yang terjadi di
Aljazair pada tahun 1900 (tepatnya dimulai pada tahun 1830). Ia mengatakan,
bahwa Aljazair mempunyai tiga periode yang telah dilaluinya. Pertama,
masa di mana umat islam Aljazair tenggelam dalam tidurnya. Kedua,
periode kebangkitan yang diilhami pemikiran dua orang syaikh; Syaikh Ibnu Muhna
dan Syaikh Abdul Qadir Al-Mujawi. Mereka datang sebagai dua orang pahlawan yang
memerangi khurafat yang telah memenuhi 'akal' umat islam Aljazair. Dan ketiga,
periode penjajahan atau kolonialisme barat.
Ia melanjutkan, bahwa ketika
'kebangkitan' mulai berkembang di Aljazair dengan pemikiran yang dibawa oleh
Syaikh Muhna dan Abdul Qadir Al-Mujawi untuk melepaskan pemikiran umat dari
khurafat, datanglah penjajah Perancis yang ingin menguasai Aljazair. Para kolonial tersebut menyadari bahwa saat itu mereka
sedang berhadapan dengan bangsa yang sedang berusaha membuka matanya (baca:
menggunakan akalnya). Pertama kali mereka mengira bahwa dengan mengasingkan dua
pahlawan tersebut mereka sudah mengahapus benih kebangkitan umat. Mereka
ternyata salah, pemikiran yang diusung oleh kedua Syaikh tersebut ternyata
sudah mengakar pada diri umat ketika itu. Sehingga walaupun kedua pelopor
pemikiran tersebut diasingkan dari umat perlawanan itu masih tetap ada.
Di
depan para penjajah itu haya ada dua jalan untuk bisa menguasai Aljazair; cara
kekerasan atau cara yang lunak (baca: tipu daya). Cara yang pertama sudah
ditempuh dan tidak membuahka hasil. Hanya tinggal satu cara yang tersisa. Maka
mereka pun mulai menempuh 'perang pemikiran' (al-shirâ'u-l-fikrî). Ini
adalah perang pemikiran yang sebenarnya, karena kali ini para penjajah akan
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menaklukkan Aljazair melalui pengikisan
kekuatan mental umat dengan segala cara sampai mereka mampu menghilangkan ide
kedua syaikh tersebut di hati umat islam Aljazair. Mereka pun sampai
menggunakan bahasa agama untuk menghapus pemahaman yang benar dari ingatan umat
islam. Dan sebelum Malik bin Nabi menggambarkan
peperangan pemikiran yang terjadi di Aljazair antara kolonialisme dan umat
islam,ia menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Aljazair tersebut hanya contoh
kecil saja dari sekian banyak daerah umat islam yang menjadi korban kerakusan
kolonialisme.
Kolonialisme yang menguasai
umat islam selain memberikan pengaruh yang buruk terhadap pemikiran islam yang
mengakibatkan kemunduran dan tumbuh suburnya taklîd. Di sisi lain
memberikan pengaruh baik bagi pemikiran islam. Bukankah gerakan tajdîd yang
diusung Jamaluddin Al-Afgahani dan Muhammad Abduh muncul ke arena sejarah islam
sebagai raddu-l-fi'li
dari kebodohan dan taklîd umat islam yang disebabkan oleh kolonialisme.
Hal ini bisa terlihat dari perkataan Al-Afghani untuk memberikan semangat dan
harapan kepada umat islam untuk bisa terlepas dari penjajahan, ia berkata:
Fajar
timur hampir menyingsing, ketika kegelapan malapetaka menyelimuti. Namun setiap
kesulitan pasti ada jalan keluarnya. Bangsa timur ini tidak lama lagi akan
segera terbangun dari tidurnya dan merobek segala ketakutan yang mengungkung.
Bangsa ini pun mulai mempersiapkan generasi mereka untuk meraih kemerdekaannya.
Justru ketika merajalelanya
kolonialisme di tanah arab-islam, lahirlah pemikiran islam modern dengan jargonnya yang terkenal tajdîdu-d-dîn.
Yang dimaksud pembaruan di sini adalah mengembalikan umat islam kepada sumber
agamanya yang murni; Al-Qur`ân dan Al-Sunnah, dan bukannya taklîd kepada
madzhab-madzhab yang dianut oleh umat islam dalam menjawab realita.
Sebagai gerakan yang
tumbuh dari respon terhadap stimulus realita umat islam di bawah pengaruh
kolonialisme yang buruk, gerakan ini ingin merubah realita buruk umat islam
ketika itu. Umat islam yang memiliki jihad sebagai salah satu ajarannya untuk
melawan kezhaliman, megapa bisa rela begitu saja dijajah. Oleh kaerna itu
Jamaluddin Al-Afghani ingin kembali menghidupkan jihad melawan kezhaliman yang
kali ini diwakili oleh koloialisme eropa. Menurutnya perang melawan penjajah
bukan sekedar kewajiban negara melainkan kewajiban agama.
Selain itu gerakan ini pun
ingin menyadarkan umat islam agar tidak diam saja diperlakukan semena-mena oleh
pemerintah yang berkuasa. Saat itu umat islam diam saja karena para penguasa
telah berhasil menanaman keyakinan theokrasi bahwa sultan sebagai penguasa
merupakan anugrah dan pilihan Tuhan untuk manusia, oleh karena itu harus
ditaati. Keyakinan inilah yang ingin diperangi oleh gerakan pembaruan ini. Dan
Muhammad Abduh yang paling vokal dalam menentang masalah ini. Ia mengatakan,
bahwa keyakinan seperti itu bukanlah dari islam melainkan keyakinan katolik
pada zaman kegelapan dahulu. Islam tidaklah seperti itu. Islam menjadikan iman
kepada Allah sebagai penghormatan bagi setiap insan untuk tidak menjadi budak
para penguasa yang mengatasnamakan agama atau dunia.
Dan pemikiran tajdîd
yang mereka usung akhirnya mengakar di jiwa umat sehingga zaman itu dianggap
sebagai era dimulainya kebangkitan islam.
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^