Friday 4 May 2012

Kolonialisme dan Pemikiran Islam


Ketika arus kolonialisme melanda dan mengungkung negeri-negeri umat islam, pada saat inilah umat islam menemui puncak kesengsaraannya, karena hal tersebut kebodohan menjangkiti umat islam. Dimulai dengan serangan Tatar ke pusat peradaban islam Bagdad pada tahun 656 H (abad ketiga belas masehi). Mereka benar-benar membuat peradaban islam menemui ajalnya, buku-buku yang berjumlah ribuan atau mungkin jutaan dari perpustakaan pusat di Bagdad sebagai hasil pemikiran islam yang sangat berharga itu mereka buang ke sungai Dajlah. Begitu banyaknya buku-buku yang menandakan kecemerlangan pemikiran islam saat itu, sampai-sampai digambarkan bahwa setelah dibuangnya buku-buku tersebut ke sungai Dajlah yang besar tersebut, kuda-kuda pasukan Tatar bisa menyeberangi sungai tersebut dengan menjadikan buku-buku tersebut sebagai jembatan.
Selanjutnya, pusat peradaban islam kedua, Andalus, tanah air filosof islam besar Ibnu Rusydi Al-Syârih dihancurkan oleh Kerajaan Katolik Spanyol pada tahun 897 H/1492 M. Tidak hanya itu, pada tahun antara 1018-1023 H/1609-1614 M ribuan umat islam diusir dari Spanyol secara paksa oleh Pemerintahan Kristen yang berkuasa ketika itu.
Dan puncak kolonialisme tersebut terjadi di abad kesembilan belas masehi di mana negeri-negeri eropa seperti Inggris dan Perancis datang menguasai negeri-negeri islam. Pada tahun 1830 Perancis mulai mencengkeramkan kukunya di Aljazair. Selanjutnya Inggris pada tahun 1841 bekerjasama dengan sultan Turki Utsmani yang berkuasa ketika itu berhasil memaksa Mesir untuk mengurangi perbatasannya. Pada tahun 1860, Inggris dan Perancis memulai penjajahannya di Syam. Pada tahun 1868, aliran Mamâli` Inggris meraih kemenangan di negeri Afganistan. Dan pada abad tersebut juga arus kolonialisme terus membanjiri dan menghancurkan Iran, Mesir, Tunis, Libiya, Sudan dan India.
Malik bin Nabi berusaha menggambarkan kondisi umat islam ketika zaman kolonialisme barat menghunjamkan kuku-kukunya di tubuh umat, dengan mengambil contoh apa yang terjadi di Aljazair pada tahun 1900 (tepatnya dimulai pada tahun 1830). Ia mengatakan, bahwa Aljazair mempunyai tiga periode yang telah dilaluinya. Pertama, masa di mana umat islam Aljazair tenggelam dalam tidurnya. Kedua, periode kebangkitan yang diilhami pemikiran dua orang syaikh; Syaikh Ibnu Muhna dan Syaikh Abdul Qadir Al-Mujawi. Mereka datang sebagai dua orang pahlawan yang memerangi khurafat yang telah memenuhi 'akal' umat islam Aljazair. Dan ketiga, periode penjajahan atau kolonialisme barat.
Ia melanjutkan, bahwa ketika 'kebangkitan' mulai berkembang di Aljazair dengan pemikiran yang dibawa oleh Syaikh Muhna dan Abdul Qadir Al-Mujawi untuk melepaskan pemikiran umat dari khurafat, datanglah penjajah Perancis yang ingin menguasai Aljazair. Para kolonial tersebut menyadari bahwa saat itu mereka sedang berhadapan dengan bangsa yang sedang berusaha membuka matanya (baca: menggunakan akalnya). Pertama kali mereka mengira bahwa dengan mengasingkan dua pahlawan tersebut mereka sudah mengahapus benih kebangkitan umat. Mereka ternyata salah, pemikiran yang diusung oleh kedua Syaikh tersebut ternyata sudah mengakar pada diri umat ketika itu. Sehingga walaupun kedua pelopor pemikiran tersebut diasingkan dari umat perlawanan itu masih tetap ada.
Di depan para penjajah itu haya ada dua jalan untuk bisa menguasai Aljazair; cara kekerasan atau cara yang lunak (baca: tipu daya). Cara yang pertama sudah ditempuh dan tidak membuahka hasil. Hanya tinggal satu cara yang tersisa. Maka mereka pun mulai menempuh 'perang pemikiran' (al-shirâ'u-l-fikrî). Ini adalah perang pemikiran yang sebenarnya, karena kali ini para penjajah akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menaklukkan Aljazair melalui pengikisan kekuatan mental umat dengan segala cara sampai mereka mampu menghilangkan ide kedua syaikh tersebut di hati umat islam Aljazair. Mereka pun sampai menggunakan bahasa agama untuk menghapus pemahaman yang benar dari ingatan umat islam. Dan sebelum Malik bin Nabi menggambarkan peperangan pemikiran yang terjadi di Aljazair antara kolonialisme dan umat islam,ia menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Aljazair tersebut hanya contoh kecil saja dari sekian banyak daerah umat islam yang menjadi korban kerakusan kolonialisme.
Kolonialisme yang menguasai umat islam selain memberikan pengaruh yang buruk terhadap pemikiran islam yang mengakibatkan kemunduran dan tumbuh suburnya taklîd. Di sisi lain  memberikan pengaruh baik bagi pemikiran islam. Bukankah gerakan tajdîd yang diusung Jamaluddin Al-Afgahani dan Muhammad Abduh muncul ke arena sejarah islam sebagai raddu-l-fi'li dari kebodohan dan taklîd umat islam yang disebabkan oleh kolonialisme.  Hal ini bisa terlihat dari perkataan Al-Afghani untuk memberikan semangat dan harapan kepada umat islam untuk bisa terlepas dari penjajahan, ia berkata:
Fajar timur hampir menyingsing, ketika kegelapan malapetaka menyelimuti. Namun setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya. Bangsa timur ini tidak lama lagi akan segera terbangun dari tidurnya dan merobek segala ketakutan yang mengungkung. Bangsa ini pun mulai mempersiapkan generasi mereka untuk meraih kemerdekaannya.
Justru ketika merajalelanya kolonialisme di tanah arab-islam, lahirlah pemikiran islam modern dengan jargonnya yang terkenal tajdîdu-d-dîn. Yang dimaksud pembaruan di sini adalah mengembalikan umat islam kepada sumber agamanya yang murni; Al-Qur`ân dan Al-Sunnah, dan bukannya taklîd kepada madzhab-madzhab yang dianut oleh umat islam dalam menjawab realita.
 Sebagai gerakan yang tumbuh dari respon terhadap stimulus realita umat islam di bawah pengaruh kolonialisme yang buruk, gerakan ini ingin merubah realita buruk umat islam ketika itu. Umat islam yang memiliki jihad sebagai salah satu ajarannya untuk melawan kezhaliman, megapa bisa rela begitu saja dijajah. Oleh kaerna itu Jamaluddin Al-Afghani ingin kembali menghidupkan jihad melawan kezhaliman yang kali ini diwakili oleh koloialisme eropa. Menurutnya perang melawan penjajah bukan sekedar kewajiban negara melainkan kewajiban agama.
Selain itu gerakan ini pun ingin menyadarkan umat islam agar tidak diam saja diperlakukan semena-mena oleh pemerintah yang berkuasa. Saat itu umat islam diam saja karena para penguasa telah berhasil menanaman keyakinan theokrasi bahwa sultan sebagai penguasa merupakan anugrah dan pilihan Tuhan untuk manusia, oleh karena itu harus ditaati. Keyakinan inilah yang ingin diperangi oleh gerakan pembaruan ini. Dan Muhammad Abduh yang paling vokal dalam menentang masalah ini. Ia mengatakan, bahwa keyakinan seperti itu bukanlah dari islam melainkan keyakinan katolik pada zaman kegelapan dahulu. Islam tidaklah seperti itu. Islam menjadikan iman kepada Allah sebagai penghormatan bagi setiap insan untuk tidak menjadi budak para penguasa yang mengatasnamakan agama atau dunia.
Dan pemikiran tajdîd yang mereka usung akhirnya mengakar di jiwa umat sehingga zaman itu dianggap sebagai era dimulainya kebangkitan islam.

No comments:

Post a Comment

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers