Hey!Say!JUMP Fanfiction (Indonesia )
SEISHUN AMIGO (ONESHOOT – RIN FUJIYAMA ’S VERSION)
Author : Rin Fujiyama
Pairing : Yamajima (Yamada Ryosuke and
Nakajima Yuto)
Ide crita n Plot : Chajar Fathmala
Douzo……
=================
SUMMARY
Ryosuke kembali
merintih, sakit. Kepalanya menggeleng pelan, membuat sensasi luar bisa
menyeramkan menelusup ke dalam diri Yuto.
Sakit. Perih. Luar
biasa rasanya. Dekapan Ryosuke pada dua lututnya semakin mengerat, ringisannya
semakin menguat. Kepalanya sakit, mata dan wajahnya luar biasa perih.
Ia tidak kuat……..
“Yama-chan,
bicaralah!!”
Tidak bisa. Tidak
bisa, Yuto-kun. Maaf……….
“Yama-chan…..”
Yuto melepaskan dekapannya, tenggorokannya terasa tercekat ketika ia sama
sekali tidak bisa lagi mendengar suara Ryosuke sedikitpun, sekalipun itu
rintihan. “Yama-chan??”
Yang menjawab hanya desir angin yang
dihasilkan dari gerak tubuh Ryosuke yang limbung, terjatuh sempurna pada bahu
Yuto tanpa ada gerakan lanjutan sedikitpun yang menyusulnya.
*****************
STORY, START!!
*****************
April 2007
“Yama-chan… Yama-chan…” teriak Yuto
memanggil sahabatnya sambil segera berlari ke arah sahabatnya itu.
Yamada yang merasa namanya dipanggilpun
segera menoleh dan seketika itu juga Yuto merangkulnya erat dengan begitu
mendadak.
“Whooaa…. Yuto-kun, ada apa?!” respon
Yamada hampir jatuh karena kaget dengan ulah Yuto barusan.
“Nanti pulang bareng ya?! Aku kan kangen banget sama Yama-chan.
Habisnya kemarin libur….” jawab Yuto dengan senyuman.
Yamada terbahak dengan tingkah temannya
itu.
Sudah hampir 3 tahun berlalu sejak
perkenalannya dengan Yuto saat ia mengikuti audisi tahun 2004 silam. Siapa yang
menyangka bahwa Johnny Kitagawa begitu baiknya menyatukan mereka dalam
Hey!Say!7 beserta 3 orang lainnya yang untungnya tidak terlalu asing bagi
mereka berdua.
*****************
“Ohayou…” Takaki Yuya segera menyapa Yuto
dan Yamada yang baru saja memasuki tempat latihan.
“Ohayou…” jawab Yuto dan Yamada bersamaan
dengan senyum menghiasi wajah imut mereka.
Sementara sosok
Daiki hanya turut nyengir menyapa, begitu pula dengan Chinen yang sedang
menggoyang-goyangkan kakinya dengan posisi tubuhnya di pangkuan Daiki seperti
kebiasaannya.
“Yama-chan,
Yama-chan…” Chinen memanggil, melompat dari pangkuan Daiki.
“Kau bisa
handstand, kan ?!”
tambah Chinen.
“Eh? Kok tahu?”
respon Yamada sedikit bingung sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Alih-alih
menjawab, Chinen malah menunjukkan senyuman.
“A—apa?” Yamada
mengangkat dua alisnya, bingung.
“Kuajari backflip
mau tidak?” senyum manis Chinen mengembang.
“EH?!” respon
Yamada heran.
“Backflip! Aku mau
Yama-chan backflip bersamaku. Tapi aku minta hadiah kalau kau sudah bisa
backflip.” terang Chinen pada Yamada.
“Aku mau duduk di
pangkuan Yama-chan!” tambah Chinen dengan begitu polos.
“Un. OK!!” jawab Yamada dengan mantap.
Suara tawa kelima anak yang masih belasan
tahun itu terdengar begitu menentramkan hati. Namun entah sampai kapan
kebersamaan mereka akan berlanjut di Jimusho ini……
*****************
Juni 2009
Sudah hampir 2 tahun semenjak Hey!Say!JUMP
terbentuk.
Tapi tiga bulan
lalu, program TV Showa x Heisei selesai. Ditambah satu minggu yang lalu,
Kitagawa-san mengumumkan ada unit NYC Boys – yang entah bagaimana caranya ia
berfirasat akan menjadi permanen. Menggunakan Yamada dan Chinen sebagai anggota
di dalamnya.
“Bagus. Hebat
sekali. Semakin hebat saja dia. Semakin bersinar lah dia. Semakin jauh saja ia
dariku” Nakajima Yuto menghela nafas, berat.
Tidak. Bukan
sepenuhnya ia iri akan keberhasilan kawannya itu. Yang masih ia tidak habis
pikir, seiring dengan bergulirnya waktu, kepopuleran Yamada mengalahkan Yuto
begitu saja dan begitu cepat. Namun, entah apa yang ia rasakan, rasanya seperti
ada satu tembok Cina imaji di antara ia dan Yamada Ryosuke hampir setahun ini.
Apalagi sekarang Yamada lebih akrab dengan
Chinen.
Setiap pelajaran terakhir di Horikoshi
selesai, Yuto secepat mungkin mengucapkan salam perpisahan pada kedua teman
sekelasnya itu. Ia sadar diri bahwa Yamada dan Chinen saat ini sedang
disibukkan dengan persiapan shooting School Kakumei setiap minggunya……
Ya!! Anak yang jangkung itu haruslah selalu
mencoba sadar diri biarpun sebenarnya ada suatu beban yang membebani
perasaannya setiap melihat kebersamaan Yamada dan Chinen.
*****************
Oktober 2009
Tidak peduli
seberapa pun berisik suara yang tergaung dalam satu ruangan dance tersebut,
kepala dari seseorang berlabel Yamada Ryosuke tersebut masih terus menunduk.
Bibirnya terkatup rapat, mengimbangi posisi siluetnya yang sedang terduduk apik
di pinggir salah satu ruangan dance Jimusho dengan satu buku terpajang di
pangkuan.
Hanya ada Yamada
dan Yuto di ruangan itu. Entah apa alasannya, suatu kebetulan mereka berdua bisa
bersamaan berangkat lebih awal tuk latihan hari ini.
Sesekali sambil
melakukan moonwalk, Yuto melayangkan pandangannya pada sahabat kecil yang dulu
sering bersamanya itu.
Setelah berjuang
keras memantapkan hati, Yuto segera berjalan ke arah Yamada…
“Yama-chan…
Seishun Amigo, yuk...” kata Yuto nyengir mengulurkan tangan kirinya pada sahabat yang
dulu sering berduet dengannya saat mereka masih junior.
“Eh… Kenapa
tiba-tiba?!” Yamada terlihat heran.
“Ingin saja.
Ayolah. Sudah 3 tahun kita tidak menyanyi dan menari lagu itu bersama.” Yuto
menurunkan sudut bibirnya, menyadari Yamada tidak memusatkan sedikitpun lensa
matanya pada Yuto.
“Gomen ne
Yuto-kun” jawaban itu keluar dari mulut Yamada.
“What for…??” Yuto
masih mencoba menatap Yamada yang terlihat masih belum memusatkan pandangan
padanya.
“Gomen karena anak
ingusan sepertiku yang dulu sering jadi back-dancermu kini sudah jarang lagi
bisa meluangkan waktu bersamamu”
“Ne.. jangan
bilang kau meminta maaf karena kau berpikir bahwa kau mengambil posisiku.
Begitu?” entah kenapa Yuto mulai terpancing emosinya.
“Cetek sekali
pikiranmu, Yamada-san” ujar Yuto keras.
Bola mata Ryosuke
membesar, panggilan
yang baru saja menusuk telinganya tersebut terasa menimbulkan efek panas yang
luar biasa sakit.
“Dengar!!” Nada
yang tidak biasa terujar. Yuto membungkukkan badannya. Dipakukannya kembali
tatapannya pada kawannya satu itu.
“Sebagai manusia
normal memang aku tidak munafik bahwa aku merasa sedikit aneh karena seiring berjalannya
waktu Johnny-san menaruh perhatian lebih kepadamu. Menandakan bahwa kau
menggeserku perlahan-lahan. Ya, memang benar. Benar sekali. Tapi satu hal, asal
kau tahu. Aku tidak akan pernah butuh berada di posisimu jika itu akan
membuatku lupa akan sahabat kecil yang pernah tumbuh besar bersamaku.”
Rahang Ryosuke
mengeras, kepalannya tertunduk. Wajahnya sempurna memanas, campuran rasa malu
dan kesal pada dirinya sendiri.
“Setidaknya, kau
membuatku lupa bahwa aku pernah mengajak anak laki-laki yang terlihat gugup
sehabis audisi lima
tahun lalu untuk pulang bersama” Untuk yang kesekian kalinya nada itu kembali
terdengar. “Yamada-san…”
“CUKUP!”
Yuto menurut,
terdiam seperti yang diperintahkan semata-mata agar pemuda yang di hadapannya
ini puas.
“Panggil aku
Yama-chan lagi!!” Ryosuke menenggelamkan segala emosi yang nyaris tumpah.
“Maaf…” Sampai
akhirnya kata tersebut tercuat dari bibirnya.
Ryosuke menghela
nafas. Kesal…
“Kalau kau merasa
aku tidak menaruh perhatian lebih padamu, kau sendiri sebenarnya yang membuat
keadaan menjadi seperti itu” Ryosuke berujar, masih menundukkan kepalanya.
“Aku minta maaf
karena sering tidak sadar mengabaikanmu dengan alasan pekerjaan, tapi sekarang
kutanya… ke mana kau saat waktuku luang, hm? Bermain gitar dengan Keito?
Mendiskusikan band dengan Yabu-kun? Bermanja dengan Ryuu dan Chinen? Mengerjakan
PR bersama Inoo-kun? Atau…” Ryosuke mulai meneteskan air matanya. Jarang anak
Johnny’s seperti mereka menangis di hadapan yang lain. Tapi kini Yamada sudah
tak lagi bisa membendung perasaannya….
Wajah Yuto
mengeras, bibirnya terkatup rapat. Matanya meluncurkan tatapan emosi yang
nyaris meluap karena seakan hanya Yama-chan yang sakit hati atas apa yang
menimpa mereka berdua.
Akhirnya kakinya
segera bergerak cepat, melewati Ryosuke keluar dari ruang dance di salah satu
ruangan Jimusho tersebut. Meninggalkan Ryosuke yang sedang memejamkan matanya
erat, kepalanya tertunduk, helaan nafasnya mulai tidak teratur dengan kata
emosi yang menjadi dasarnya. Gerakannya statis seperti itu sampai akhirnya Yabu
memasuki ruangan pada menit kedua setelahnya, diikuti dengan kedatangan satu
per satu personel JUMP yang lain, Yuto datang paling akhir.
Suasana masih
ceria, sama sekali tidak ada yang terlihat berubah. Tentu, perkecualian untuk
dua eksistensi yang dirasanya merasa saling menjauhi satu sama lain. Yuto dan
Yamada…
*****************
Maret 2010
“Nandayo…”
Satu nada keluhan
itu terus terulas dari pemuda itu. Yuto menggulir bola matanya kesal, kepalanya
mendongak menangkap bayangan matahari dari balik jendela koridor Jimusho yang
semakin lama semakin habis masa kerjanya itu. Warna matahari itu, ah, seolah
mengejeknya. Ada
dua bungkus hasil belanjaan yang tergenggam di dua telapak tangannya. Tidak
habis pikir, bagaimana bisa ibu dengan seenaknya menyuruhku berbelanja, huh?!
Maksudnya, ia
lelah. Untuk menuju rumah ke Jimusho saja sudah lelah menyamar, apalagi
ditambah harus belanja segala. Tidak mengerti anaknya itu, kah? Aarrgghh…….
“Hmh.” Yuto
menggelengkan kepalanya, mencoba membuang jauh-jauh pikiran yang baru saja
menyambar tersebut.
BUK!
Tabrakan klasik
terjadi. Nyaris terhuyung, Yuto spontan mengerjap sembari mencoba kembali
mengembalikan keseimbangannya. Entah jemarinya sudah tidak merasakan kembali
benda-benda belanjaan yang beberapa detik lalu masih digenggamnya, sudah
terjatuh semua.
“Eh, maaf,
Yuto-kun” suara itu familier, bahkan Yuto yang masih menunduk pun tahu siapa
pemiliknya.
“Tidak apa-apa, Yama-chan”
Yuto tersenyum tipis, agak sedikit canggung.
“Tumben?
Terburu-buru?” tambah Yuto
“Eh? Tidak... aku
kira.... err.... kau tadi di sisi sebelah kiri….” Ryosuke terlihat canggung dan
sedikit panik merespon pertanyaan temannya itu.
Ryosuke mengambil
beberapa belanjaan Yuto yang terjatuh lalu menyodorkannya.
Yuto tersenyum
tipis, menerima barangnya tersebut sembari menggumamkan terima kasih dengan
suara pelan nyaris tak terdengar. Kepalanya setengah menunduk, gugup.
Kalimat-kalimat yang beberapa bulan lalu tercelat dari dua sisi bibir Yama-chan
masih tergaung, terngiang, yang tentu saja sontak mengoyak hatinya.
*****************
“Jangan
diam-diaman lagi ya? Aku capek” Yuto menidurkan kepalanya pada sisi tepian
jembatan, bibirnya menyunggingkan garis datar, menyeimbangkan matanya yang
memerhatikan guratan wajah Ryosuke lekat.
Anak laki-laki
yang ditanya hanya menatap lurus ke depan, menumpukkan berat badannya turut
pada sisi tepian jembatan.
“Yama-chan?” Yuto
menggembungkan pipinya, berdecak setengah kesal, bingung harus melakukan apa
lagi untuk selanjutnya.
“Aku mau pulang”
jawab Ryosuke masih dengan tatapan lurus ke depan.
Sementara Yuto
mengangkat tangannya ke udara, membiarkan jemarinya terbuka, kemudian dengan
cepat pula ia mengepalkannya. “Katanya kalau begini, aku akan merasa kau sedang
menggenggam tanganku”
“Bodoh.” Ryosuke
sontak tertawa kecil. Tertawa dengan setitik kejanggalan yang menyelimuti.
“Kita akhiri saja
pertengkaran babak ini. Deal?!” tambah Ryosuke.
“Deal!!!” Yuto
tersenyum, memperhatikan wajah Ryosuke yang juga memasang ekspresi sama
dengannya namun Ryosuke masih belum sama sekali menatapnya.
“Hei, setidaknya
kalau sudah baikan, lihat aku!!” alis Yuto terangkat.
“Tatap aku. Kau
masih marah memangnya?” tambahnya sambil menggembungkan kedua pipinya.
Ryosuke tergelak
tipis. “Tidak, tentu tidak. Ngomong-ngomong, besok ada interview Myojo untuk
edisi Agustus. Kau kebagian bersamaku.”
“Serius?!” wajah
penuh antusias terpancar dari siluet Yuto.
“Un.” Ryosuke
mengangguk mantap, untuk yang kesekian kalinya ia tersenyum, namun masih tidak
menolehkan sedikitpun pandangannya pada Yuto.
“Kau benar-benar
serius, Yama-chan?!” Yuto ingin memantapkan perkataan sahabatnya itu.
“Ya, ya, aku
serius. Dan.. err, aku harus pulang” Ryosuke memotong gugup, mengabaikan
kerutan dahi Yuto begitu saja kemudian maju beberapa langkah dan mencoba
mengambil lembaran kertas miliknya yang sedaritadi dipegang oleh Yuto.
Meleset…
Satu keheranan
menelusup, Yuto menatapnya janggal. Sampai untuk yang kedua kalinya Ryosuke mencoba
untuk mengambil lembaran itu, tidak berhasil. Candaan macam apa ini, eh?
“Yama-chan?” Yuto
merasa ada yang tidak beres dalam situasi beberapa menit terakhir.
Ia maju beberapa langkah
dan mengambil posisi di hadapan pemuda itu.
“Kau kenapa, eh?
Tatap aku.”
Masih tidak
menatap Yuto juga, sungguh Yuto tidak mengerti.
“Tatap aku, Yama-chan!!”
Gemetar, dua sisi
bibir Ryosuke terbuka. “Aku…. aku sedang menatapmu daritadi.”
“Eh?” Yuto
menyipitkan matanya. Memperhatikan guratan wajah Ryosuke. Serius!! Yama-chan
tidak berbohong. Matanya juga tidak. Dua bola mata Ryosuke bergulir secara
berlainan dengan penglihatannya. Tidak, ini… Bohong. Sumpah, demi apapun, Ryosuke
sedang tidak menatapnya. Ryosuke sedang tidak menatapnya! Irisnya.... yang
tidak lagi terlihat coklat jernih seperti biasa….
Bohong!!!
“Kanker mata. Sudah
kubilang aku harus pulang, kan ?
Makanya aku menabrakmu tadi, pandanganku kabur melihatmu” Ryosuke mencoba
memberi penjelasan pada sahabat yang diyakininya pasti saat ini masih memasang
wajah tak percaya.
*****************
Agustus 2010
“Bisa lihat??”
Yuto memandangi wajah sahabatnya itu.
“Sedikit….
Buram….” Ryosuke mengusap matanya dengan sapu tangan perlahan, sesekali
mendesis. Perih, sumpah perih sekali.
Ryosuke mengerjap
beberapa kali, mencoba memasukkan udara yang bisa menetralkan kembali rasa
perihnya.
“Hei, aku tidak
akan mati. Jangan menatapku seperti itu ah” katanya setengah bercanda mencoba
memandang wajah Yuto yang tengah cemas.
Yuto mulai kembali
mengeluarkan pertanyaan yang terkesan mengkhawatirkan sahabatnya itu. “Matamu
dua-duanya sakit?!” tanyanya dan Ryosuke hanya menganggukkan kepala.
“Kalau cuma satu
mata yang sakit, aku bisa memberimu satu, kayak Yokoyama-kun di Hidarime.”
“Eh? Bodoh kau ah.
Jangan pikir yang aneh-aneh. Sekali operasi pengangkatan mata terus ditempel
mata palsu, aku akan normal lagi. Asal Johnny-san jangan sampai tahu duluan
saja. Errgh, perih….” Ryosuke kembali sedikit merintih….
Yuto menghela
nafas berat, perasaan campur aduk antara khawatir dan bingung menjadi atmosfer
buruk untuk kali ini. Oke, Yuto, tenang sedikit. Satu-satunya yang harus kau
lakukan hanya membawa Ryosuke secepat yang kau bisa, pulang untuk dirawat oleh
keluarganya sendiri sampai operasi pengangkatan mata itu dilakukan dan—selesai,
semuanya selesai. Owari. Lakukan yang kau bisa, Yuto. Dia sahabatmu, bukan?!
*****************
Suasana stasiun
cukup ramai, membuat Yuto agak sedikit jengah. Terutama akan pernak-pernik
penyamaran mereka yang tidak pernah dekat dari kata nyaman. Sedikit mengobrol
untuk membunuh rasa-rasa tidak menyenangkan tersebut sambil menunggu kereta
tiba.
Naluriah, dengan
posisi jalan mereka yang masih beriringan dan jemari Yuto yang masih bertaut
erat dengan jemari kawannya, mencoba menuntun Ryosuke agar setidaknya tidak
menabrak orang.
Memasuki gerbong
agak ke tengah, tampak satu kesalahan. Tidak dapat tempat duduk. Yuto sontak
mengernyit kesal, bukan apa-apa, tapi Ryosuke saat ini kan …………
“Daijoubu” Dan
satu tepukan halus mendarat di bahunya, seolah Ryosuke baru membaca raut wajah
Yuto.
“Di sini lebih
terang, agak sedikit membantu penglihatanku” Ryosuke tersenyum.
Anggukan sebagai
balasan, Yuto turut tersenyum lega. Keduanya mengeratkan telapak tangannya pada
pegangan kereta, terdiam selama beberapa saat sampai Yuto memecah keheningan.
“Ngomong-ngomong, Yama-chan.
Tadi interview-nya…….”
Ryosuke tersenyum,
“Kenapa?”
“Tidak tahu. Aku
suka saja” respon Yuto.
“Hem. Masa lalu?”
tambah Ryosuke.
Yuto mengangkat
bahu, turut memajang senyuman seperti yang terulas pada wajah sahabatnya, “Bisa
dibilang begitu. Err, sudah lama tidak di-interview masalah kita soalnya. Aku
kangen di panggung berdua bersama Yama-chan, aku kangen masa-masa chibi kita.
Semuaaanya………”
“Dasar” Ryosuke
tergelak, memalingkan wajahnya yang dirasanya sudah menjadi tomat rebus saking
merahnya. Entah, malu saja rasanya.
“Kau juga kangen
aku, kan ?”
tanya Yuto polos.
Ryosuke masih
tidak berpaling, pemuda itu menggigit bibirnya, membayangkan ekspresi Yuto saat
ini yang pasti sangat lucu.
“Hei, kenapa lagi
sih, Yama-chan? Hadap sini ah” Yuto menarik-narik ujung baju Ryosuke, sedikit
khawatir.
Pada akhirnya toh Ryosuke
menoleh, tersenyum geli. “Iya, tentu saja. Aku kangen Yuto-kun….“
BRAAAAK!!
Keduanya sontak
merasa terhimpit setelah suara gelegar tersebut terdengar dengan luar biasa
keras. Teriakan orang-orang yang menggema berdesing seketika memenuhi secara
kilat atmosfer seluruh gerbong kereta. Guncangan itu masih terasa, roda kereta
berjalan tidak dengan semestinya. Lajunya berjalan dengat amat sangat
berantakan, membuat guncangan semakin keras.
Yuto mencoba
sekuat tenaga untuk kembali mengeratkan dua tangannya pada pegangan kereta,
berusaha untuk tetap berdiri sekuat tenaga. Sesak. Orang-orang yang sudah
terlepas dari pegangan terdorong tidak beraturan. Untuk menoleh saja pun luar
biasa susahnya…… Di mana Yama-chan?!
“Yama-chan…….
Yama-chan…….??!!”
Tidak ada yang
menjawab. Hanya teriakan-teriakan orang lainnya, termasuk teriakan dirinya
sendiri yang menjadi satu-satunya suara yang terdengar ketika mereka merasa si
kereta sudah tidak lagi melaju pada rel.
Jatuh.
Terlihat bayangan
satu jurang yang biasa ia lewati setiap kali menaiki kereta untuk pulang dan
pergi ke Jimusho itu menjadi jawaban ke mana ia akan menuju.
Namun satu lengan
yang tiba-tiba terasa melingkari kepalanya, terasa begitu melindungi tubuhnya,
membuat Yuto tidak perlu mempertanyakan lagi milik siapa lengan ini, sebelum
seluruh tubuh kereta sempurna luar biasa keras membentur tanah yang membuat
semua sarafnya mendadak mati rasa.
*****************
Matanya terpejam
erat, jemarinya terkepal kuat menahan segala nyeri melanda sekujur tubuhnya
tanpa ampun. Bau anyir yang terasa kuat bercampur dengan oksigen di sekitarnya
membuat kepalanya semakin pening, mual, menambah segala kenegatifan pikiran
yang meluncur seperti peluru begitu saja. Yuto mengerang, gemetar kepalan
tangannya semakin keras seiring dengan campuran rasa sakit dari tubuh dan
pikirannya menyatu.
Ia tahu ia tidak
bisa terus seperti ini—setidaknya ia masih hidup. Ia masih hidup.
Perlahan, kelopak
matanya ia paksa untuk terbuka, dan detik berikutnya ia nyaris terpekik melihat
pemandangan yang amat dekat dari kata neraka sesungguhnya. Yuto mendesis miris,
ingin rasanya mengubur kepalanya ke dalam tanah jika……..
Yama? Yama-chan?
Satu sosok yang
sedang tersandar lemas di sisi gerbong dan mengubur kepalanya di dua lututnya
yang terlipat. Seluruh badannya gemetar hebat, isakan yang tertahan jelas
terdengar halus di telinganya, membuat Yuto dengan tenaga yang tersisa
menegakkan tubuhnya, mendekati sahabatnya satu itu.
Bukan, bukan
isakan yang terdengar ketika ia semakin mendekat.
Rintihan
kesakitan.
Yuto berjengit
ketika melihat ada satu aliran darah yang mengucur dari kepala sahabatnya itu.
Tidak, bukan itu saja, nyaris aliran kecil itu mewarnai seluruh wajah
sahabatnya yang tergores di mana-mana. Sangat sakit melihatnya, luar biasa
sakit.
“Yama-chan!!”
Refleks menelusup
pada Ryosuke, sontak pemuda itu langsung mengangkat kepalanya. “Yuto-kun?
Kau—kau di sana ?”
“Eh?” Yuto
mengerjap, “Aku di sini, di depanmu.”
“Yokatta ne….”
kentara sekali senyuman lega terpasang spontan di wajah Ryosuke di
tengah-tengah rasa sakit yang luar biasa menyerang.
“Wajahmu, Yama-chan!”
Ryosuke tersenyum
tipis, entah ke mana arah pandangannya saat ini, “Tidak apa-apa”.
Kepalanya kembali
tertunduk, rintihan sakit itu mengoyak suasana, “Karena aku sama sekali tidak
bisa melihatnya.”
Dua sisi bibir Yuto
yang gemetar terkatup rapat. Matanya memincing, memperhatikan mata lawan
bicaranya yang……
……..kosong. Buta.
Temannya sudah buta.
Seketika Yuto
menangis pada detik itu juga, aliran air mata yang bercampur dengan darah
sahabatnya yang sudah membentuk genangan kecil tak jauh dari posisinya.
“Perih, Yuto-kun!!”
Sekali lagi kepala itu terkubur dalam lututnya, ringisan dan rintihan yang
mewakili rasa sakit luar biasa tak tertahankan, bercampur dari rasa perih di
mata serta kepala dan wajahnya yang tergores. “Perih….. Sakit…….”
“Aku tahu, Yama-chan.
Bertahanlah sebentar.” Yuto mendekat, mendekap tubuh Ryosuke dari samping
dengan erat sembari menahan isakan yang rasanya terus ingin mengalir keluar
tanpa ampun. “Kumohon……...”
Ryosuke kembali
merintih, sakit. Kepalanya menggeleng pelan, membuat sensasi luar bisa
menyeramkan menelusup ke dalam diri Yuto.
Sakit. Perih. Luar
biasa rasanya. Dekapan Ryosuke pada dua lututnya semakin mengerat, ringisannya
semakin menguat. Kepalanya sakit, mata dan wajahnya luar biasa perih.
Ia tidak kuat……..
“Yama-chan,
bicaralah!!”
Tidak bisa. Tidak
bisa, Yuto-kun. Maaf……….
“Yama-chan…..” Yuto
melepaskan dekapannya, tenggorokannya terasa tercekat ketika ia sama sekali
tidak bisa lagi mendengar suara Ryosuke sedikitpun, sekalipun itu rintihan. “Yama-chan??”
Yang menjawab
hanya desir angin yang dihasilkan dari gerak tubuh Ryosuke yang limbung,
terjatuh sempurna pada bahu Yuto tanpa ada gerakan lanjutan sedikitpun yang
menyusulnya.
“Yama-chan!!
Bangun! Bangun, kumohon, jangan seperti ini….” Yuto terisak keras, entah sudah
berapa lama ia menangis dengan tubuh lemas Ryosuke yang ada pada dekapannya.
Entah sudah berapa lama juga ia menantikan jawaban kosong yang terlontar dari
bibir Ryosuke, rintihan atau apapun ia akan menerimanya. Asal kawannya yang
satu ini masih bisa bersuara. Sedikit saja.
Nafasnya tercekat,
tersedak, ia lelah menangis. Pikirannya kosong, tidak tahu apa yang harus ia
lakukan, mengingat mungkin dalam seantero ini hanya dia yang masih bebas
bergerak, masih hidup—itupun karena Ryosuke yang melindungi kepalanya sebelum
kereta ini jatuh. Mengingatnya hanya semakin membuat dada Yuto terasa semakin
sesak.
Ia harus keluar.
Harus…….
Jemarinya yang
masih bergetar masuk dan meraba gugup saku celananya, mencari ponsel.
Ah, sial. Benda
yang dicarinya itu sempat terjatuh tadi, tergeletak beberapa meter darinya. Yuto
mengeratkan lengan kanannya pada bahu Ryosuke, masih menahan badan sahabatnya
itu sementara lengan kirinya bergerak lurus mencoba mengambil si ponsel. Namun
ia sama sekali tidak menyadari bahwa satu gerakan yang ia lakukan membuat garis
kehidupannya tak ubah hanya tinggal sejengkal. Kakinya yang tidak sengaja
menyenggol pegangan kereta yang sudah amat rapuh akibat benturan, membuat besi
tersebut mendadak sempurna terlepas, terjatuh dari tempat asalnya.
“Ahk!!!”
Ia terdahak.
Tubuhnya sontak terjatuh ketika ia dapat merasa besi lonjong itu membuatnya
terjatuh dan terbentur keras ke pinggiran kereta. Terbentur begitu keras…..
Mengerang, ia kembali menarik tangannya, berusaha untuk kembali terduduk. Darah
mengalir deras dari kepalanya.
Lengan kanannya
yang masih menopang tubuh Ryosuke kali ini gemetar hebat. Matanya terpejam erat
dan untuk yang kedua kalinya ia harus menahan rasa sakit yang tak tertahankan
itu, yang kali ini bersumber dari kepalanya.
Tubuhnya sudah
sama sekali tidak kuat lagi untuk menopang tubuh Ryosuke yang masih di
pelukannya, nafasnya tersengal sakit. Air matanya kembali mengalir keluar,
mewakili rasa panas dari kepalanya yang menyeruak dan menyebar secara cepat ke
seluruh bagian tubuhnya. Lemas, ia menyandarkan bagian sisi tubuhnya pada
dinding kereta.
Pelan….
Sedikit saja,
sedikit demi sedikit. Berusahalah sedikit, Yuto. Kau tidak boleh mengakhiri
batas garis hidupmu di sini.
Lihat Yama-chan,
dadanya masih berkontraksi, dia masih hidup. Masih ingin bersamanya terus, kan ? Masih ingin
bersama-sama merajut masa depan yang jauh lebih baik dari sekarang, kan ?
Iya kan , Yuto?
Tidak bisa. Tidak
kuat.
Menangis lagi,
nyaris putus asa. Meminta maaf pada dirinya sendiri bahwa ia tidak sanggup lagi
untuk bertahan. Posisinya tergeser lemah, ia membenamkan kepalanya pada rambut Ryosuke,
merasakan helaian rambut sahabatnya itu dalam-dalam….. sebelum lengannya yang
sedaritadi mendekap tubuh sahabatnya itu mendadak terkulai lemas. Kepalanya
tersandar sepenuhnya pada dinding kereta tanpa ada sedikitpun gerak yang
membungkusnya. Tak ubahnya seperti selosong kosong yang tak berisi.
Matanya terpejam,
bibirnya merapat lemas.
Totally
blackout.
*****************
Yamada Ryosuke
berdiri di sana .
Menghela nafasnya perlahan, kepalanya terangkat, menatap refleksinya tepat pada cermin besar di
hadapannya. Ruang dance Jimusho. Hanya ada satu refleksi bayangannya.
Delapan orang yang
lain entah sedang apa kabarnya. Sementara Ryosuke masih berdiam tegap di sana .
Matanya menatap
langsung pada dua bola mata hitamnya yang jernih. Bola mata yang terasa begitu
familier. Entah apa yang terjadi di kereta saat itu ia sama sekali tidak bisa
mengingatnya, namun ada satu sensasi menenangkan yang menelesak setiap kali ia
bercermin dan menangkap sorot matanya sendiri.
Seperti ada yang
memperhatikan dan amat peduli padanya. Membuatnya merasa ia tidak pernah
sendiri.
Sekali lagi, Yamada
Ryosuke menghela nafas. Mengiringi tangannya terangkat pada detik berikutnya,
bergerak luwes, sebelum satu nada yang meluncur sendiri dari bibirnya
mengiringi segala gerak tariannya.
Si….
oretachi wa itsu demo.... futari de hitotsu datta.... jimoto ja makeshirazu sou
daro....
(Yes, the
two of us were always one, at home we were invincible, weren’t we?)
Si....
oretachi wa mukashi kara…. kono machi ni akogarete.... shinjite ikite kita
(Yes, we’d
longed to come to this town for a long time)
Naze
darou.. omoidashita keshiki wa.. tabidatsu hi no kirei na sora.. dakishimete..
(For some
reason, I remember the scenery, embracing the beautiful sky the day we left )
Hampir 5 tahun
yang lalu ketika lagu tersebut dibawakan, lirik terakhir teriringi oleh gerakan
dari dua tangan milik dua penari yang terangkat ke atas secara bersamaan.
Dan keadaannya
tidak jauh berbeda untuk kali ini.
Ryosuke tidak
melihat, tapi ia merasa ada satu tangan yang turut terangkat ke atas mengiringi
gerakannya. Tangan sahabat yang akan selalu ada bersamanya……
Nakajima Yuto…….
THE END…………
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^