Wednesday 17 April 2013

[Fanfic Hey! Say! JUMP] Seishun Amigo - YamaJima

Hey!Say!JUMP Fanfiction (Indonesia)


SEISHUN AMIGO (ONESHOOT – RIN FUJIYAMA’S VERSION)

Author : Rin Fujiyama
Pairing : Yamajima (Yamada Ryosuke and Nakajima Yuto)
Ide crita n Plot : Chajar Fathmala


Douzo……

=================
SUMMARY

Ryosuke kembali merintih, sakit. Kepalanya menggeleng pelan, membuat sensasi luar bisa menyeramkan menelusup ke dalam diri Yuto.
Sakit. Perih. Luar biasa rasanya. Dekapan Ryosuke pada dua lututnya semakin mengerat, ringisannya semakin menguat. Kepalanya sakit, mata dan wajahnya luar biasa perih.

Ia tidak kuat……..

“Yama-chan, bicaralah!!”

Tidak bisa. Tidak bisa, Yuto-kun. Maaf……….

“Yama-chan…..” Yuto melepaskan dekapannya, tenggorokannya terasa tercekat ketika ia sama sekali tidak bisa lagi mendengar suara Ryosuke sedikitpun, sekalipun itu rintihan. “Yama-chan??”
Yang menjawab hanya desir angin yang dihasilkan dari gerak tubuh Ryosuke yang limbung, terjatuh sempurna pada bahu Yuto tanpa ada gerakan lanjutan sedikitpun yang menyusulnya.


*****************
STORY, START!!
*****************

April 2007

“Yama-chan… Yama-chan…” teriak Yuto memanggil sahabatnya sambil segera berlari ke arah sahabatnya itu.
Yamada yang merasa namanya dipanggilpun segera menoleh dan seketika itu juga Yuto merangkulnya erat dengan begitu mendadak.
“Whooaa…. Yuto-kun, ada apa?!” respon Yamada hampir jatuh karena kaget dengan ulah Yuto barusan.

“Nanti pulang bareng ya?! Aku kan kangen banget sama Yama-chan. Habisnya kemarin libur….” jawab Yuto dengan senyuman.

Yamada terbahak dengan tingkah temannya itu.
Sudah hampir 3 tahun berlalu sejak perkenalannya dengan Yuto saat ia mengikuti audisi tahun 2004 silam. Siapa yang menyangka bahwa Johnny Kitagawa begitu baiknya menyatukan mereka dalam Hey!Say!7 beserta 3 orang lainnya yang untungnya tidak terlalu asing bagi mereka berdua.

*****************

“Ohayou…” Takaki Yuya segera menyapa Yuto dan Yamada yang baru saja memasuki tempat latihan.
“Ohayou…” jawab Yuto dan Yamada bersamaan dengan senyum menghiasi wajah imut mereka.

Sementara sosok Daiki hanya turut nyengir menyapa, begitu pula dengan Chinen yang sedang menggoyang-goyangkan kakinya dengan posisi tubuhnya di pangkuan Daiki seperti kebiasaannya.

“Yama-chan, Yama-chan…” Chinen memanggil, melompat dari pangkuan Daiki.
“Kau bisa handstand, kan?!” tambah Chinen.
“Eh? Kok tahu?” respon Yamada sedikit bingung sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Alih-alih menjawab, Chinen malah menunjukkan senyuman. 

“A—apa?” Yamada mengangkat dua alisnya, bingung.
“Kuajari backflip mau tidak?” senyum manis Chinen mengembang.
“EH?!” respon Yamada heran.

“Backflip! Aku mau Yama-chan backflip bersamaku. Tapi aku minta hadiah kalau kau sudah bisa backflip.” terang Chinen pada Yamada.
“Aku mau duduk di pangkuan Yama-chan!” tambah Chinen dengan begitu polos.

“Un. OK!!” jawab Yamada dengan mantap.

Suara tawa kelima anak yang masih belasan tahun itu terdengar begitu menentramkan hati. Namun entah sampai kapan kebersamaan mereka akan berlanjut di Jimusho ini……

*****************

Juni 2009

Sudah hampir 2 tahun semenjak Hey!Say!JUMP terbentuk.

Tapi tiga bulan lalu, program TV Showa x Heisei selesai. Ditambah satu minggu yang lalu, Kitagawa-san mengumumkan ada unit NYC Boys – yang entah bagaimana caranya ia berfirasat akan menjadi permanen. Menggunakan Yamada dan Chinen sebagai anggota di dalamnya.

“Bagus. Hebat sekali. Semakin hebat saja dia. Semakin bersinar lah dia. Semakin jauh saja ia dariku” Nakajima Yuto menghela nafas, berat.

Tidak. Bukan sepenuhnya ia iri akan keberhasilan kawannya itu. Yang masih ia tidak habis pikir, seiring dengan bergulirnya waktu, kepopuleran Yamada mengalahkan Yuto begitu saja dan begitu cepat. Namun, entah apa yang ia rasakan, rasanya seperti ada satu tembok Cina imaji di antara ia dan Yamada Ryosuke hampir setahun ini.

Apalagi sekarang Yamada lebih akrab dengan Chinen.
Setiap pelajaran terakhir di Horikoshi selesai, Yuto secepat mungkin mengucapkan salam perpisahan pada kedua teman sekelasnya itu. Ia sadar diri bahwa Yamada dan Chinen saat ini sedang disibukkan dengan persiapan shooting School Kakumei setiap minggunya……
Ya!! Anak yang jangkung itu haruslah selalu mencoba sadar diri biarpun sebenarnya ada suatu beban yang membebani perasaannya setiap melihat kebersamaan Yamada dan Chinen.

*****************

Oktober 2009

Tidak peduli seberapa pun berisik suara yang tergaung dalam satu ruangan dance tersebut, kepala dari seseorang berlabel Yamada Ryosuke tersebut masih terus menunduk. Bibirnya terkatup rapat, mengimbangi posisi siluetnya yang sedang terduduk apik di pinggir salah satu ruangan dance Jimusho dengan satu buku terpajang di pangkuan.

Hanya ada Yamada dan Yuto di ruangan itu. Entah apa alasannya, suatu kebetulan mereka berdua bisa bersamaan berangkat lebih awal tuk latihan hari ini.

Sesekali sambil melakukan moonwalk, Yuto melayangkan pandangannya pada sahabat kecil yang dulu sering bersamanya itu.
Setelah berjuang keras memantapkan hati, Yuto segera berjalan ke arah Yamada…

“Yama-chan… Seishun Amigo, yuk...” kata Yuto nyengir mengulurkan tangan kirinya pada sahabat yang dulu sering berduet dengannya saat mereka masih junior.
“Eh… Kenapa tiba-tiba?!” Yamada terlihat heran.

“Ingin saja. Ayolah. Sudah 3 tahun kita tidak menyanyi dan menari lagu itu bersama.” Yuto menurunkan sudut bibirnya, menyadari Yamada tidak memusatkan sedikitpun lensa matanya pada Yuto.

“Gomen ne Yuto-kun” jawaban itu keluar dari mulut Yamada.
“What for…??” Yuto masih mencoba menatap Yamada yang terlihat masih belum memusatkan pandangan padanya.
“Gomen karena anak ingusan sepertiku yang dulu sering jadi back-dancermu kini sudah jarang lagi bisa meluangkan waktu bersamamu”

“Ne.. jangan bilang kau meminta maaf karena kau berpikir bahwa kau mengambil posisiku. Begitu?” entah kenapa Yuto mulai terpancing emosinya.

“Cetek sekali pikiranmu, Yamada-san” ujar Yuto keras.

Bola mata Ryosuke membesar, panggilan yang baru saja menusuk telinganya tersebut terasa menimbulkan efek panas yang luar biasa sakit.

“Dengar!!” Nada yang tidak biasa terujar. Yuto membungkukkan badannya. Dipakukannya kembali tatapannya pada kawannya satu itu.
“Sebagai manusia normal memang aku tidak munafik bahwa aku merasa sedikit aneh karena seiring berjalannya waktu Johnny-san menaruh perhatian lebih kepadamu. Menandakan bahwa kau menggeserku perlahan-lahan. Ya, memang benar. Benar sekali. Tapi satu hal, asal kau tahu. Aku tidak akan pernah butuh berada di posisimu jika itu akan membuatku lupa akan sahabat kecil yang pernah tumbuh besar bersamaku.”

Rahang Ryosuke mengeras, kepalannya tertunduk. Wajahnya sempurna memanas, campuran rasa malu dan kesal pada dirinya sendiri.

“Setidaknya, kau membuatku lupa bahwa aku pernah mengajak anak laki-laki yang terlihat gugup sehabis audisi lima tahun lalu untuk pulang bersama” Untuk yang kesekian kalinya nada itu kembali terdengar. “Yamada-san…”

“CUKUP!”

Yuto menurut, terdiam seperti yang diperintahkan semata-mata agar pemuda yang di hadapannya ini puas.

“Panggil aku Yama-chan lagi!!” Ryosuke menenggelamkan segala emosi yang nyaris tumpah.
“Maaf…” Sampai akhirnya kata tersebut tercuat dari bibirnya.

Ryosuke menghela nafas. Kesal…
“Kalau kau merasa aku tidak menaruh perhatian lebih padamu, kau sendiri sebenarnya yang membuat keadaan menjadi seperti itu” Ryosuke berujar, masih menundukkan kepalanya.
“Aku minta maaf karena sering tidak sadar mengabaikanmu dengan alasan pekerjaan, tapi sekarang kutanya… ke mana kau saat waktuku luang, hm? Bermain gitar dengan Keito? Mendiskusikan band dengan Yabu-kun? Bermanja dengan Ryuu dan Chinen? Mengerjakan PR bersama Inoo-kun? Atau…” Ryosuke mulai meneteskan air matanya. Jarang anak Johnny’s seperti mereka menangis di hadapan yang lain. Tapi kini Yamada sudah tak lagi bisa membendung perasaannya….

Wajah Yuto mengeras, bibirnya terkatup rapat. Matanya meluncurkan tatapan emosi yang nyaris meluap karena seakan hanya Yama-chan yang sakit hati atas apa yang menimpa mereka berdua.
Akhirnya kakinya segera bergerak cepat, melewati Ryosuke keluar dari ruang dance di salah satu ruangan Jimusho tersebut. Meninggalkan Ryosuke yang sedang memejamkan matanya erat, kepalanya tertunduk, helaan nafasnya mulai tidak teratur dengan kata emosi yang menjadi dasarnya. Gerakannya statis seperti itu sampai akhirnya Yabu memasuki ruangan pada menit kedua setelahnya, diikuti dengan kedatangan satu per satu personel JUMP yang lain, Yuto datang paling akhir.

Suasana masih ceria, sama sekali tidak ada yang terlihat berubah. Tentu, perkecualian untuk dua eksistensi yang dirasanya merasa saling menjauhi satu sama lain. Yuto dan Yamada…

*****************

Maret 2010

“Nandayo…”

Satu nada keluhan itu terus terulas dari pemuda itu. Yuto menggulir bola matanya kesal, kepalanya mendongak menangkap bayangan matahari dari balik jendela koridor Jimusho yang semakin lama semakin habis masa kerjanya itu. Warna matahari itu, ah, seolah mengejeknya. Ada dua bungkus hasil belanjaan yang tergenggam di dua telapak tangannya. Tidak habis pikir, bagaimana bisa ibu dengan seenaknya menyuruhku berbelanja, huh?!
Maksudnya, ia lelah. Untuk menuju rumah ke Jimusho saja sudah lelah menyamar, apalagi ditambah harus belanja segala. Tidak mengerti anaknya itu, kah? Aarrgghh…….

“Hmh.” Yuto menggelengkan kepalanya, mencoba membuang jauh-jauh pikiran yang baru saja menyambar tersebut.

BUK!

Tabrakan klasik terjadi. Nyaris terhuyung, Yuto spontan mengerjap sembari mencoba kembali mengembalikan keseimbangannya. Entah jemarinya sudah tidak merasakan kembali benda-benda belanjaan yang beberapa detik lalu masih digenggamnya, sudah terjatuh semua.

“Eh, maaf, Yuto-kun” suara itu familier, bahkan Yuto yang masih menunduk pun tahu siapa pemiliknya.
“Tidak apa-apa, Yama-chan” Yuto tersenyum tipis, agak sedikit canggung.
“Tumben? Terburu-buru?” tambah Yuto
“Eh? Tidak... aku kira.... err.... kau tadi di sisi sebelah kiri….” Ryosuke terlihat canggung dan sedikit panik merespon pertanyaan temannya itu.

Ryosuke mengambil beberapa belanjaan Yuto yang terjatuh lalu menyodorkannya.

Yuto tersenyum tipis, menerima barangnya tersebut sembari menggumamkan terima kasih dengan suara pelan nyaris tak terdengar. Kepalanya setengah menunduk, gugup. Kalimat-kalimat yang beberapa bulan lalu tercelat dari dua sisi bibir Yama-chan masih tergaung, terngiang, yang tentu saja sontak mengoyak hatinya.

*****************

“Jangan diam-diaman lagi ya? Aku capek” Yuto menidurkan kepalanya pada sisi tepian jembatan, bibirnya menyunggingkan garis datar, menyeimbangkan matanya yang memerhatikan guratan wajah Ryosuke lekat.

Anak laki-laki yang ditanya hanya menatap lurus ke depan, menumpukkan berat badannya turut pada sisi tepian jembatan.

“Yama-chan?” Yuto menggembungkan pipinya, berdecak setengah kesal, bingung harus melakukan apa lagi untuk selanjutnya.

“Aku mau pulang” jawab Ryosuke masih dengan tatapan lurus ke depan.

Sementara Yuto mengangkat tangannya ke udara, membiarkan jemarinya terbuka, kemudian dengan cepat pula ia mengepalkannya. “Katanya kalau begini, aku akan merasa kau sedang menggenggam tanganku”

“Bodoh.” Ryosuke sontak tertawa kecil. Tertawa dengan setitik kejanggalan yang menyelimuti.
“Kita akhiri saja pertengkaran babak ini. Deal?!” tambah Ryosuke.
“Deal!!!” Yuto tersenyum, memperhatikan wajah Ryosuke yang juga memasang ekspresi sama dengannya namun Ryosuke masih belum sama sekali menatapnya.

“Hei, setidaknya kalau sudah baikan, lihat aku!!” alis Yuto terangkat.
“Tatap aku. Kau masih marah memangnya?” tambahnya sambil menggembungkan kedua pipinya.

Ryosuke tergelak tipis. “Tidak, tentu tidak. Ngomong-ngomong, besok ada interview Myojo untuk edisi Agustus. Kau kebagian bersamaku.”

“Serius?!” wajah penuh antusias terpancar dari siluet Yuto.
“Un.” Ryosuke mengangguk mantap, untuk yang kesekian kalinya ia tersenyum, namun masih tidak menolehkan sedikitpun pandangannya pada Yuto.

“Kau benar-benar serius, Yama-chan?!” Yuto ingin memantapkan perkataan sahabatnya itu.
“Ya, ya, aku serius. Dan.. err, aku harus pulang” Ryosuke memotong gugup, mengabaikan kerutan dahi Yuto begitu saja kemudian maju beberapa langkah dan mencoba mengambil lembaran kertas miliknya yang sedaritadi dipegang oleh Yuto.

Meleset…

Satu keheranan menelusup, Yuto menatapnya janggal. Sampai untuk yang kedua kalinya Ryosuke mencoba untuk mengambil lembaran itu, tidak berhasil. Candaan macam apa ini, eh?

“Yama-chan?” Yuto merasa ada yang tidak beres dalam situasi beberapa menit terakhir.
Ia maju beberapa langkah dan mengambil posisi di hadapan pemuda itu.

“Kau kenapa, eh? Tatap aku.”
Masih tidak menatap Yuto juga, sungguh Yuto tidak mengerti.
“Tatap aku, Yama-chan!!”

Gemetar, dua sisi bibir Ryosuke terbuka. “Aku…. aku sedang menatapmu daritadi.”

“Eh?” Yuto menyipitkan matanya. Memperhatikan guratan wajah Ryosuke. Serius!! Yama-chan tidak berbohong. Matanya juga tidak. Dua bola mata Ryosuke bergulir secara berlainan dengan penglihatannya. Tidak, ini… Bohong. Sumpah, demi apapun, Ryosuke sedang tidak menatapnya. Ryosuke sedang tidak menatapnya! Irisnya.... yang tidak lagi terlihat coklat jernih seperti biasa….
Bohong!!!

“Kanker mata. Sudah kubilang aku harus pulang, kan? Makanya aku menabrakmu tadi, pandanganku kabur melihatmu” Ryosuke mencoba memberi penjelasan pada sahabat yang diyakininya pasti saat ini masih memasang wajah tak percaya.

*****************

Agustus 2010

“Bisa lihat??” Yuto memandangi wajah sahabatnya itu.
“Sedikit…. Buram….” Ryosuke mengusap matanya dengan sapu tangan perlahan, sesekali mendesis. Perih, sumpah perih sekali.
Ryosuke mengerjap beberapa kali, mencoba memasukkan udara yang bisa menetralkan kembali rasa perihnya.

“Hei, aku tidak akan mati. Jangan menatapku seperti itu ah” katanya setengah bercanda mencoba memandang wajah Yuto yang tengah cemas.

Yuto mulai kembali mengeluarkan pertanyaan yang terkesan mengkhawatirkan sahabatnya itu. “Matamu dua-duanya sakit?!” tanyanya dan Ryosuke hanya menganggukkan kepala.

“Kalau cuma satu mata yang sakit, aku bisa memberimu satu, kayak Yokoyama-kun di Hidarime.”

“Eh? Bodoh kau ah. Jangan pikir yang aneh-aneh. Sekali operasi pengangkatan mata terus ditempel mata palsu, aku akan normal lagi. Asal Johnny-san jangan sampai tahu duluan saja. Errgh, perih….” Ryosuke kembali sedikit merintih….

Yuto menghela nafas berat, perasaan campur aduk antara khawatir dan bingung menjadi atmosfer buruk untuk kali ini. Oke, Yuto, tenang sedikit. Satu-satunya yang harus kau lakukan hanya membawa Ryosuke secepat yang kau bisa, pulang untuk dirawat oleh keluarganya sendiri sampai operasi pengangkatan mata itu dilakukan dan—selesai, semuanya selesai. Owari. Lakukan yang kau bisa, Yuto. Dia sahabatmu, bukan?!

*****************

Suasana stasiun cukup ramai, membuat Yuto agak sedikit jengah. Terutama akan pernak-pernik penyamaran mereka yang tidak pernah dekat dari kata nyaman. Sedikit mengobrol untuk membunuh rasa-rasa tidak menyenangkan tersebut sambil menunggu kereta tiba.

Naluriah, dengan posisi jalan mereka yang masih beriringan dan jemari Yuto yang masih bertaut erat dengan jemari kawannya, mencoba menuntun Ryosuke agar setidaknya tidak menabrak orang.

Memasuki gerbong agak ke tengah, tampak satu kesalahan. Tidak dapat tempat duduk. Yuto sontak mengernyit kesal, bukan apa-apa, tapi Ryosuke saat ini kan…………
“Daijoubu” Dan satu tepukan halus mendarat di bahunya, seolah Ryosuke baru membaca raut wajah Yuto.

“Di sini lebih terang, agak sedikit membantu penglihatanku” Ryosuke tersenyum.
Anggukan sebagai balasan, Yuto turut tersenyum lega. Keduanya mengeratkan telapak tangannya pada pegangan kereta, terdiam selama beberapa saat sampai Yuto memecah keheningan.

“Ngomong-ngomong, Yama-chan. Tadi interview-nya…….”
Ryosuke tersenyum, “Kenapa?”
“Tidak tahu. Aku suka saja” respon Yuto.
“Hem. Masa lalu?” tambah Ryosuke.
Yuto mengangkat bahu, turut memajang senyuman seperti yang terulas pada wajah sahabatnya, “Bisa dibilang begitu. Err, sudah lama tidak di-interview masalah kita soalnya. Aku kangen di panggung berdua bersama Yama-chan, aku kangen masa-masa chibi kita. Semuaaanya………”

“Dasar” Ryosuke tergelak, memalingkan wajahnya yang dirasanya sudah menjadi tomat rebus saking merahnya. Entah, malu saja rasanya.

“Kau juga kangen aku, kan?” tanya Yuto polos.

Ryosuke masih tidak berpaling, pemuda itu menggigit bibirnya, membayangkan ekspresi Yuto saat ini yang pasti sangat lucu.

“Hei, kenapa lagi sih, Yama-chan? Hadap sini ah” Yuto menarik-narik ujung baju Ryosuke, sedikit khawatir.
Pada akhirnya toh Ryosuke menoleh, tersenyum geli. “Iya, tentu saja. Aku kangen Yuto-kun….“

BRAAAAK!!

Keduanya sontak merasa terhimpit setelah suara gelegar tersebut terdengar dengan luar biasa keras. Teriakan orang-orang yang menggema berdesing seketika memenuhi secara kilat atmosfer seluruh gerbong kereta. Guncangan itu masih terasa, roda kereta berjalan tidak dengan semestinya. Lajunya berjalan dengat amat sangat berantakan, membuat guncangan semakin keras.

Yuto mencoba sekuat tenaga untuk kembali mengeratkan dua tangannya pada pegangan kereta, berusaha untuk tetap berdiri sekuat tenaga. Sesak. Orang-orang yang sudah terlepas dari pegangan terdorong tidak beraturan. Untuk menoleh saja pun luar biasa susahnya…… Di mana Yama-chan?!

“Yama-chan……. Yama-chan…….??!!”
Tidak ada yang menjawab. Hanya teriakan-teriakan orang lainnya, termasuk teriakan dirinya sendiri yang menjadi satu-satunya suara yang terdengar ketika mereka merasa si kereta sudah tidak lagi melaju pada rel.

Jatuh.

Terlihat bayangan satu jurang yang biasa ia lewati setiap kali menaiki kereta untuk pulang dan pergi ke Jimusho itu menjadi jawaban ke mana ia akan menuju.

Namun satu lengan yang tiba-tiba terasa melingkari kepalanya, terasa begitu melindungi tubuhnya, membuat Yuto tidak perlu mempertanyakan lagi milik siapa lengan ini, sebelum seluruh tubuh kereta sempurna luar biasa keras membentur tanah yang membuat semua sarafnya mendadak mati rasa.

*****************

Matanya terpejam erat, jemarinya terkepal kuat menahan segala nyeri melanda sekujur tubuhnya tanpa ampun. Bau anyir yang terasa kuat bercampur dengan oksigen di sekitarnya membuat kepalanya semakin pening, mual, menambah segala kenegatifan pikiran yang meluncur seperti peluru begitu saja. Yuto mengerang, gemetar kepalan tangannya semakin keras seiring dengan campuran rasa sakit dari tubuh dan pikirannya menyatu.

Ia tahu ia tidak bisa terus seperti ini—setidaknya ia masih hidup. Ia masih hidup.

Perlahan, kelopak matanya ia paksa untuk terbuka, dan detik berikutnya ia nyaris terpekik melihat pemandangan yang amat dekat dari kata neraka sesungguhnya. Yuto mendesis miris, ingin rasanya mengubur kepalanya ke dalam tanah jika……..

Yama? Yama-chan?

Satu sosok yang sedang tersandar lemas di sisi gerbong dan mengubur kepalanya di dua lututnya yang terlipat. Seluruh badannya gemetar hebat, isakan yang tertahan jelas terdengar halus di telinganya, membuat Yuto dengan tenaga yang tersisa menegakkan tubuhnya, mendekati sahabatnya satu itu.

Bukan, bukan isakan yang terdengar ketika ia semakin mendekat.

Rintihan kesakitan.

Yuto berjengit ketika melihat ada satu aliran darah yang mengucur dari kepala sahabatnya itu. Tidak, bukan itu saja, nyaris aliran kecil itu mewarnai seluruh wajah sahabatnya yang tergores di mana-mana. Sangat sakit melihatnya, luar biasa sakit.

“Yama-chan!!”

Refleks menelusup pada Ryosuke, sontak pemuda itu langsung mengangkat kepalanya. “Yuto-kun? Kau—kau di sana?”
“Eh?” Yuto mengerjap, “Aku di sini, di depanmu.”
“Yokatta ne….” kentara sekali senyuman lega terpasang spontan di wajah Ryosuke di tengah-tengah rasa sakit yang luar biasa menyerang.

“Wajahmu, Yama-chan!”

Ryosuke tersenyum tipis, entah ke mana arah pandangannya saat ini, “Tidak apa-apa”.
Kepalanya kembali tertunduk, rintihan sakit itu mengoyak suasana, “Karena aku sama sekali tidak bisa melihatnya.”

Dua sisi bibir Yuto yang gemetar terkatup rapat. Matanya memincing, memperhatikan mata lawan bicaranya yang……

……..kosong. Buta. Temannya sudah buta.

Seketika Yuto menangis pada detik itu juga, aliran air mata yang bercampur dengan darah sahabatnya yang sudah membentuk genangan kecil tak jauh dari posisinya.

“Perih, Yuto-kun!!” Sekali lagi kepala itu terkubur dalam lututnya, ringisan dan rintihan yang mewakili rasa sakit luar biasa tak tertahankan, bercampur dari rasa perih di mata serta kepala dan wajahnya yang tergores. “Perih….. Sakit…….”

“Aku tahu, Yama-chan. Bertahanlah sebentar.” Yuto mendekat, mendekap tubuh Ryosuke dari samping dengan erat sembari menahan isakan yang rasanya terus ingin mengalir keluar tanpa ampun. “Kumohon……...”

Ryosuke kembali merintih, sakit. Kepalanya menggeleng pelan, membuat sensasi luar bisa menyeramkan menelusup ke dalam diri Yuto.
Sakit. Perih. Luar biasa rasanya. Dekapan Ryosuke pada dua lututnya semakin mengerat, ringisannya semakin menguat. Kepalanya sakit, mata dan wajahnya luar biasa perih.

Ia tidak kuat……..

“Yama-chan, bicaralah!!”

Tidak bisa. Tidak bisa, Yuto-kun. Maaf……….

“Yama-chan…..” Yuto melepaskan dekapannya, tenggorokannya terasa tercekat ketika ia sama sekali tidak bisa lagi mendengar suara Ryosuke sedikitpun, sekalipun itu rintihan. “Yama-chan??”
Yang menjawab hanya desir angin yang dihasilkan dari gerak tubuh Ryosuke yang limbung, terjatuh sempurna pada bahu Yuto tanpa ada gerakan lanjutan sedikitpun yang menyusulnya.

“Yama-chan!! Bangun! Bangun, kumohon, jangan seperti ini….” Yuto terisak keras, entah sudah berapa lama ia menangis dengan tubuh lemas Ryosuke yang ada pada dekapannya. Entah sudah berapa lama juga ia menantikan jawaban kosong yang terlontar dari bibir Ryosuke, rintihan atau apapun ia akan menerimanya. Asal kawannya yang satu ini masih bisa bersuara. Sedikit saja.

Nafasnya tercekat, tersedak, ia lelah menangis. Pikirannya kosong, tidak tahu apa yang harus ia lakukan, mengingat mungkin dalam seantero ini hanya dia yang masih bebas bergerak, masih hidup—itupun karena Ryosuke yang melindungi kepalanya sebelum kereta ini jatuh. Mengingatnya hanya semakin membuat dada Yuto terasa semakin sesak.

Ia harus keluar.
Harus…….

Jemarinya yang masih bergetar masuk dan meraba gugup saku celananya, mencari ponsel.
Ah, sial. Benda yang dicarinya itu sempat terjatuh tadi, tergeletak beberapa meter darinya. Yuto mengeratkan lengan kanannya pada bahu Ryosuke, masih menahan badan sahabatnya itu sementara lengan kirinya bergerak lurus mencoba mengambil si ponsel. Namun ia sama sekali tidak menyadari bahwa satu gerakan yang ia lakukan membuat garis kehidupannya tak ubah hanya tinggal sejengkal. Kakinya yang tidak sengaja menyenggol pegangan kereta yang sudah amat rapuh akibat benturan, membuat besi tersebut mendadak sempurna terlepas, terjatuh dari tempat asalnya.

“Ahk!!!”

Ia terdahak. Tubuhnya sontak terjatuh ketika ia dapat merasa besi lonjong itu membuatnya terjatuh dan terbentur keras ke pinggiran kereta. Terbentur begitu keras….. Mengerang, ia kembali menarik tangannya, berusaha untuk kembali terduduk. Darah mengalir deras dari kepalanya.
Lengan kanannya yang masih menopang tubuh Ryosuke kali ini gemetar hebat. Matanya terpejam erat dan untuk yang kedua kalinya ia harus menahan rasa sakit yang tak tertahankan itu, yang kali ini bersumber dari kepalanya.

Tubuhnya sudah sama sekali tidak kuat lagi untuk menopang tubuh Ryosuke yang masih di pelukannya, nafasnya tersengal sakit. Air matanya kembali mengalir keluar, mewakili rasa panas dari kepalanya yang menyeruak dan menyebar secara cepat ke seluruh bagian tubuhnya. Lemas, ia menyandarkan bagian sisi tubuhnya pada dinding kereta.

Pelan….

Sedikit saja, sedikit demi sedikit. Berusahalah sedikit, Yuto. Kau tidak boleh mengakhiri batas garis hidupmu di sini.
Lihat Yama-chan, dadanya masih berkontraksi, dia masih hidup. Masih ingin bersamanya terus, kan? Masih ingin bersama-sama merajut masa depan yang jauh lebih baik dari sekarang, kan?

Iya kan, Yuto?

Tidak bisa. Tidak kuat.

Menangis lagi, nyaris putus asa. Meminta maaf pada dirinya sendiri bahwa ia tidak sanggup lagi untuk bertahan. Posisinya tergeser lemah, ia membenamkan kepalanya pada rambut Ryosuke, merasakan helaian rambut sahabatnya itu dalam-dalam….. sebelum lengannya yang sedaritadi mendekap tubuh sahabatnya itu mendadak terkulai lemas. Kepalanya tersandar sepenuhnya pada dinding kereta tanpa ada sedikitpun gerak yang membungkusnya. Tak ubahnya seperti selosong kosong yang tak berisi.

Matanya terpejam, bibirnya merapat lemas.

Totally blackout.

*****************

Yamada Ryosuke berdiri di sana. Menghela nafasnya perlahan, kepalanya terangkat, menatap refleksinya tepat pada cermin besar di hadapannya. Ruang dance Jimusho. Hanya ada satu refleksi bayangannya.
Delapan orang yang lain entah sedang apa kabarnya. Sementara Ryosuke masih berdiam tegap di sana.
Matanya menatap langsung pada dua bola mata hitamnya yang jernih. Bola mata yang terasa begitu familier. Entah apa yang terjadi di kereta saat itu ia sama sekali tidak bisa mengingatnya, namun ada satu sensasi menenangkan yang menelesak setiap kali ia bercermin dan menangkap sorot matanya sendiri.

Seperti ada yang memperhatikan dan amat peduli padanya. Membuatnya merasa ia tidak pernah sendiri.

Sekali lagi, Yamada Ryosuke menghela nafas. Mengiringi tangannya terangkat pada detik berikutnya, bergerak luwes, sebelum satu nada yang meluncur sendiri dari bibirnya mengiringi segala gerak tariannya.

Si…. oretachi wa itsu demo.... futari de hitotsu datta.... jimoto ja makeshirazu sou daro....
(Yes, the two of us were always one, at home we were invincible, weren’t we?)

Si.... oretachi wa mukashi kara…. kono machi ni akogarete.... shinjite ikite kita
(Yes, we’d longed to come to this town for a long time)

Naze darou.. omoidashita keshiki wa.. tabidatsu hi no kirei na sora.. dakishimete..
(For some reason, I remember the scenery, embracing the beautiful sky the day we left )

Hampir 5 tahun yang lalu ketika lagu tersebut dibawakan, lirik terakhir teriringi oleh gerakan dari dua tangan milik dua penari yang terangkat ke atas secara bersamaan.
Dan keadaannya tidak jauh berbeda untuk kali ini.

Ryosuke tidak melihat, tapi ia merasa ada satu tangan yang turut terangkat ke atas mengiringi gerakannya. Tangan sahabat yang akan selalu ada bersamanya……
Nakajima Yuto…….


THE END…………

No comments:

Post a Comment

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers