Sunday 27 November 2011

Fanfic Death Phone Call - Hey! Say! JUMP Part 04



DEATH PHONE CALL
PART 4 (ENDING)

Cast : All of membe Jump
Rating : NC – 13
Words : 1.832 [part terpanjang]

================

Pemuda itu masih saja duduk seorang diri di teras rumah – menangis terisak-isak mengingat kembali wajah tunangannya yang meninggal dua hari yang lalu dengan begitu mengenaskan.
‘Yuri... Apakah ini yang namanya karma?! Andai saja malam itu kau tidur denganku, aku pasti bisa melindungimu. Tapi... Tapi siapa yang begitu brengsek melakukan semua itu padamu?! Yuri... Beritahu aku siapa yang tlah melakukan ini!’
Ia semakin terisak. Dadanya begitu sesak saat dicobanya tuk tak mempercayai kenyataan yang membuat mimpinya kandas tuk menikahi Yuri. Kandas sudah... semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia kini. Pengorbanan yang harus dibayar dengan kematian kekasihnya.

Karma...

================


Di ruang keluarga, dua manusia yang beda generasi itu terlihat tak dapat menyembunyikan raut kesedihannya.

“Yuya, hanya kau muridku yang tersisa. Aku tak tahu kenapa semua ini bisa menimpa kalian. Aku... Aku...,” pria tua yang sudah rapuh itu menitihkan air mata.

“Yabu sensei...”

Maestro tua tadi menggerakkan tangannya perlahan – menunjuk satu sudut yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan mereka berdua.

“Desta de Ryuu... piano itu sekarang aku wariskan padamu, Yuya...,” ia kembali menangis. Dengan terbata, pria tua itu masih mencoba tuk bicara. “Aku mengumpulkan kalian di sini karena aku ingin mewariskan piano itu pada salah seorang diantara kalian. Tapi... aku benar-benar tak menyangka semua akan jadi seperti ini...,” ledakan tangispun melantun tak beraturan dari keduanya.

“Sensei... Aku tak menginginkan piano itu. Sungguh... Demi apapun, aku tak pantas untuk mendapatkannya...” Yuyapun terisak menemani kesedihan yang tengah menghinggapi senseinya. Demi apapun... Dari awal, pemuda itu memang tak menginginkan Desta de Ryuu.

Ia tak menginginkannya...

---------------------------

Sosok lain melangkahkan kakinya dengan begitu cepat. Memasang sempurna segala bentuk kemarahan yang menyeruak dari lubuk hatinya – terpampang jelas di wajahnya yang kali ini tak sedikitpun menyunggingkan senyuman.

“Kau memang tak pantas mewarisi piano itu!!”
JLEBB...
Sebuah pisau dapur yang begitu besar, menancap dalam dengan begitu sempurna pada pemuda yang menjadi sasaran.

Darah menyembur deras...
Perut bagian kirinya robek teramat luas – luka tusuk yang begitu ngeri.

Yabu begitu kaget. Seluruh sarafnya meregang dengan begitu cepat. Sebuah kejadian yang masih belum bisa ia tangkap dengan akal sehatnya – ia masih belum percaya atas kejadian barusan.

“Daiki...”

‘Selesai sudah...’

================

Yuya menatap lekat ke arah Daiki. Menatap sayu ke arah pemuda itu dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.

“Kei... Inoo Kei... Ia bisa tenang sekarang,” Daiki menangis. Tangannya masih sempurna terlumur darah melengkapi pisau besar di genggamannya yang juga telah bermandikan cairan merah kental itu.

“Aku... Aku... Kei... Daisuki. Hontou ni daisuki desu...,” pemuda berpangkat pembantu itu semakin menangis menjadi-jadi.
Dengan begitu tiba-tiba, Daiki meluapkan segala kemarahannya. Air mata yang menyatu dengan keringat serta segala bentuk kekusutan wajahnya melengkapi emosinya yang entah kenapa sudah tak lagi bisa ditahan. “Kalian!! Kalian yang telah membunuhnya!! Aku mendengar pembicaraan kalian waktu itu!!”

[Flashback]
Di salah satu ruangan kediaman Yabu sensei – ruangan yang tertutup rapat...

“Jadi kita akan memberinya pelajaran?!” Hikari berkomentar dan tentunya tanggapan atas pertanyaannya itupun segera didapatnya.
“Kalian pasti sudah tahu kan bahwa sensei pastinya akan mewariskan piano kesayangannya itu pada Kei. Apa kalian akan membiarkannya begitu saja?” Yuri menyeringai.

“Jadi apa rencana kita?!” kini giliran Ryutaro yang mengajukan pertanyaan. Sekali lagi, Yuripun memberikan penjelasan disertai seringai khasnya yang sebenarnya terlihat sedikit menakutkan. “Keberhasilan Kei saat pertunjukan sebulan lalu pasti membuat sensei semakin memantapkan hatinya tuk mewariskan Desta de Ryuu ke Kei. Lusa, sensei akan mengadakan pertunjukan untuk perpisahannya. Saat itulah kita akan memberi gadis itu pelajaran...”

“Apa maksudmu?!” Keito mengajukan protes karena ia masih belum paham maksud Yuri.

“Aku akan meminjam mobilnya dan merusak jarum penunjuk bahan bakarnya sehingga ia tak tahu kalau bensinnya akan kuhabiskan agar ia tak bisa mencapai tempat pertunjukan. Dicuaca sedingin sekarang ini, kalian yakinkan dia tuk tak memakai jaket maupun sarung tangan... Hanya itu yang cukup kita lakukan,” gadis mungil itu kembali menyeringai.
“Ia gadis yang polos, jadi ia pasti akan mempercayai kita. Setidaknya, itu akan memberinya pelajaran.”

“Tapi bagaimana jika ia mati kedinginan?!” sekali lagi Keito protes. Kali ini disusul anggukan kepala Yuto yang sedari tadi diam mendengarkan ide Yuri.

“Bukannya itu yang kita mau?!” bagai senyuman seorang iblis, gadis itu kembali menjawab enteng.

[Flashback End]

================

Tubuh Daiki bergetar hebat. Ia masih terisak – membendung segala emosi dan kemarahannya setiap mengingat kembali sosok gadis yang diam-diam disukainya itu – Inoo Kei. “Sejak awal, aku begitu menyukai Kei. Aku begitu menikmati saat-saat ketika melihatnya tersenyum. Menikmati saat-saat ketika ia begitu bahagia melihat turunnya salju... Menikmati saat menemaninya menyaksikan salju yang turun – berdua.”

Yabu – si tuan rumah – masih menatap tak percaya ke arah Daiki.
Tak sekalipun ia menduga, Daiki memiliki perasaan demikian pada murid kesayangannya yang tlah mati – Kei.

“Tapi... Tapi... Kalian begitu bangsatnya menginginkan gadis sebaik Kei untuk mati. Kalian semua BANGSAT!!” ia kembali meledakkan amarahnya.

“Andai saja waktu itu aku datang lebih cepat...,” Daiki menundukkan kepala – berulang kali mengusap aliran deras air matanya.

Perlahan, sosok yang menjadi korban penusukan itu menggerakkan tubuhnya. Biarpun ia merasa begitu berat melakukan itu, tapi ia tetap memaksa tubuhnya tuk kembali terduduk. Ia yakin, segala usahanya tak akan sia-sia.

-----------------------------

“Arigatou Daiki...,” kata itulah yang terlontar dari kedua sisi bibir pemuda yang tengah sekarat itu – dua kata yang berhasil membuat Daiki kembali mengangkat wajahnya, memberikan seluruh perhatiannya pada Yuya – sedikit menunjukkan tanda tanya atas kata-kata Yuya barusan.

Yuya kembali bersuara. “Kau mencintai Kei seperti layaknya aku mencintainya. Bahkan ia tlah menerima pinanganku tuk menikahinya setelah pertunjukan akhir Yabu sensei...”

Daiki tertegun kaget...

“Akulah yang telah membunuh Keito, Hikari, dan Yuri... dan pastinya... dan pastinya kaulah yang telah membantuku mengakhiri semua ini – membunuh Yuto dan Ryutaro...”

Daiki syok mendengar pengakuan Yuya.
Ya...
Benar-benar syok...

“KAU BOHONG!!”

Yuya menggerakkan lengannya perlahan. Menahan segala sakit yang kini telah menyeruak di sekujur tubuhnya.

Tangannya terulur...
Memegang sebuh benda di tangannya – mengarahkannya ke Daiki. Sebuah benda yang begitu familier bagi Daiki – handphone kepunyaan Inoo Kei.

“Tidak mungkin... Tidak mungkin...,” Daiki masih mencoba tuk tidak mempercayai kenyataan yang terpampang jelas di depan matanya itu – mengulurkan tangannya masih dengan perasaan tak percaya untuk meraih benda di telapak tangan Yuya.

Yuya tersenyum. Entah ia harus merasa sedih atau senang di ambang kematiannya ini, tapi ia benar-benar merasa begitu lega sekarang. Sebentar lagi ia akan menemui kekasihnya di dunia lain sana. Kembali bersatu dengan jantung hatinya – Inoo Kei.

Ia masih tersenyum. Mengingat semua kenangan indahnya bersama Kei. Hingga kenangan pahit begitu Kei memberitahunya bahwa semua yang telah menimpanya adalah ulah dari sahabat-sahabat mereka sendiri – sahabat yang sudah bertahun-tahun tumbuh besar bersama bagai keluarga.
Tak seorangpun tahu bahwa dialah – Takaki Yuya – yang pertama kali menemukan Kei yang sudah tak lagi bernyawa. Membawa pergi handphone Kei untuk membalas dendam pada sahabat-sahabat yang telah dengan begitu keji membuat Kei terpaksa bunuh diri.

Senyuman terulas...
Hingga akhirnya pemuda itu dengan terpaksa memejamkan mata untuk selamanya...

Sayonara Takaki Yuya...

---------------------------

Betapa sekarang Daiki merasa bodohnya – membunuh orang yang tak bersalah. Seharusnya ia sadar, Yuya tak ada di ruangan itu saat Yuri dan yang lain tengah merencanakan rencana busuk mereka.
Ya...
Harusnya ia sadar...

================

Di sudut yang tak terlihat, pemuda itu tampak teramat sedih. Menyaksikan semua kejadian itu – kejadian yang begitu memilukan.

Cinta...
Semua telah buta karena cinta...
Mungkin termasuk dirinya juga.

Ryosuke berjalan perlahan ke arah Daiki yang telah bersimbah pilu. Pisau yang sebelumnya telah merenggut nyawa Yuya, kini telah terlepas dari genggaman Daiki – terlepas mengiringi penyesalan yang teramat sangat dari pemuda itu.

Tepukan dari seorang Yamada Ryosuke, mendarat ringan di bahu Daiki.
Ryosuke telah mendengar dan menyaksikan semuanya. Mendengar segala pengakuan cinta Daiki pada Inoo Kei dan juga cinta Takaki Yuya pada sosok yang sama.

================
CLOSING STORY
================

Satu malam telah terlewati sejak kejadian itu. Usaha pembersihan jalan dari longsoran salju oleh para petugas sudah hampir selesai.

Daiki melamun seorang diri di dapur...

Yabu Kota merenungi segala kesedihannya – ditinggal mati oleh ketujuh orang muridnya.
Mungkin dengan mengakhiri hidup, ia bisa lepas dari segala beban batin yang kini menghinggapi dirinya. Ya – ia sudah tak ada lagi tujuan hidup...

Sementara pemuda itu – Ryosuke...

Jemari itu menari lincah di atas tuts-tuts piano – piano Desta de Ryuu yang menjadi akar semua pembunuhan yang terjadi. Alunan melodi mengalun dengan begitu indahnya.
Tapi...

Star Time...

Ya... Lagu itulah yang mengalun indah dari ruang keluarga...

Daiki dan Yabu melangkahkan kakinya begitu buru-buru mencari sumber suara yang begitu merdu yang masih mengalun sampai sekarang. Keduanya berdiri beriringan. Memakukan pandangan mereka pada sosok pemuda yang dengan segala penghayatannya memainkan piano itu – memainkan melodi Star Time.

Tuan rumah dan pembantunya itu masih memakukan pandangan tak percaya mereka hingga melodi itu selesai dimainkan oleh si pemuda – Yamada Ryosuke.

“Bagaimana kau bisa memainkan melodi ini dengan begitu sempurna?!” Yabu Kota buru-buru menanyakan pertanyaan itu pada Ryosuke yang masih belum siap menerima pertanyaan dari orang yang datang dengan begitu tiba-tiba itu – Yabu Kota. Tentunya sang maestro begitu heran, tak ada naskah melodi di depan pemuda itu, tapi bagaimana ia bisa memainkan melodi barusan dengan begitu sempurna...

“Aku... Aku hanya memainkan melodi yang sering didengar oleh ibuku lewat piringan hitamnya saat ia tengah sedih,” Ryosuke menjawab gugup – tak seperti dirinya yang biasanya.

“Ibu?!”

“Ya... Ibuku. Lagu tadi mewakili perasaanku yang kali ini sedang teramat sedih,” pemuda itu mulai menundukkan kepala – menyembunyikan wajahnya yang tengah sedih – serasa ingin menangis.

Tiba-tiba, wajah antusias langsung terpampang jelas di wajah Yabu sensei. Semangat hidupnya terasa kembali lagi. “Kau begitu berbakat, nak...”

Ryosuke kembali mengangkat kepalanya – menatap tak percaya pada pria tua di hadapannya itu.

“Yamada... Yamada...” Daiki menggumam pelan – terkesan ia tengah mencoba mengingat-ingat sesuatu. Beberapa detik kemudian, pemuda itu juga memperlihatkan wajah antusiasnya. “Aku ingat... Kei dulu pernah cerita padaku bahwa ibunya telah pergi bersama pria lain bermarga Yamada. Jangan-jangan...”

Ryosuke dan Yabu sensei memandang Daiki dengan tatapan heran – tak mengerti.

Daiki kembali bersuara setelah ia berhasil mengingat hal yang lain. “Kaori... Ya, ibu Kei bernama Kaori...,” Daiki tersenyum.
“Pantas saja aku merasa ada kemiripan antara kau dan dia – Inoo Kei...,” pemuda itu mengakhiri kalimat-kalimatnya dengan senyum yang sudah dapat kembali terpampang indah di wajahnya.

Kaori...
Sebuah nama yang langsung membuat Ryosuke terdiam dengan tatapan kosongnya. Butuh satu menit bagi pemuda itu untuk kembali ke alam sadarnya. “Maksudmu... Maksudmu Inoo Kei adalah kakakku?!” Ryosuke bicara dengan nada tak percaya begitu Daiki menyebut nama ibunya.

Pandangan pemuda itu kini telah kosong. Memutar kembali memorinya 10 tahun yang lalu ketika sang ibu memberitahunya bahwa Ryosuke punya seorang kakak perempuan. Kakak perempuan yang tak pernah ia ketahui namanya karena sang ibu begitu cepat meninggalkannya sendiri di dunia ini.

Air matanya mengalir...
Ryosuke menangis – tangisan yang membuat Daiki dan tuannya sedikit memperlihatkan tanda tanya.

Tanpa alasan yang tak jelas, pemuda itu tiba-tiba meneriakkan ketidakpercayaannya...
“TIDAK... TIDAK MUNGKIN...,”

Bagaimana mungkin ia bisa mempercayai kenyataan itu?!
Bagaimana mungkin?!

Karena...
Karena...

Tangannyalah sendiri yang telah membunuh Inoo Kei – membunuh gadis itu atas permintaan kekasihnya – Chinen Yuri – dan membuat pembunuhan itu seakan adalah bunuh diri...

Ya...
Yamada Ryosuke...
Orang yang telah membunuh Inoo Kei...
Melengkapi Takaki Yuya yang membunuh Keito, Hikari, dan Yuri. Serta Daiki yang meracuni Yuto dan Ryutaro.


Kring... Kring...
Inoo Kei memanggil...


THE END
================
Arigato sudah baca sampai akhir. Jangan lupa like dan komennya ^^

2 comments:

  1. ide ceritanya mirip sebuah case dari manga detektif yang pernah kubaca.. apalagi ada kata2 "desta de ryuu".. =3="a tapi.. bedanya ada death phone callnya.. O.O mirip film horor one missed call..

    DSQ+one missed call = death call.. XD

    yah~ bolehlah.. >w<
    saya tetap menikmatinya..
    soalnya pas awal baca, kirain bakal jadi cerita detektif.. tapi ternyata oh ternyata.. haha ^^ keren2..

    ah, maaf kalo kata-katanya byk yg gk berkenan.. ^^"

    ReplyDelete
    Replies
    1. ah.. *scratch head*
      maksudnya death phone call.. >.<"a
      sumimasen..

      Delete

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers