Title : Last Gift – Bokutachi kara Kimi e
(Special for Chinen Yuri’s Birthday)
Author : Rin Fujiyama
(rin.fujiyama@gmail.com)
Genre : Friendship
Rating : General
Cast : HSJ, Matsuyama Kato (OC)
Words : 2.395
Point of View : Chinen Yuri
=====================
“Yama-chan...”
“Yuto...”
“Ryuu...”
“Yuya...”
“Minna..., kalian
semua di mana?”
=====================
Hari ini adalah hari ulang tahunku. Hari
ulang tahun seorang Chinen Yuri – Aku.
Hari ulang tahun yang seharusnya menjadi hari
paling bahagia untukku selama perjalanan hidupku satu tahun terakhir ini.
Tapi sekarang...
Kosong...
Hanya kekosongan yang mampu kutangkap dengan
inderaku ini.
Tak ada seorangpun...
Di hari ulang tahunku...
Aku sendiri
Akupun hanya bisa menjerit dalam diam,
“Minna... Kalian di mana?”
Ketakutan ini teramat menyesakkan nafasku.
Menangis...
Slalu saja hanya bisa menangis dalam tiap
kesepian yang menghinggapi diri ini.
Hanya menangislah satu-satunya hal yang bisa
kulakukan saat ini.
Ya,
Hanya menangis...
=====================
Angin yang begitu menusuk tulangku ini,
seakan mengiringi langkahku dengan penuh tawa ejekannya – membuatku terduduk
lemas menahan getaran hati yang kuyakin sudah tak lagi mampu menahan diriku tuk
tetap kuat.
Aku tak kuat...
Aku benar-benar tak menyangka semua akan
berakhir seperti ini.
Semua telah berakhir...
AKU TELAH MATI...
TEPAT DI HARI ULANG TAHUNKU...
HARI INI...
=====================
Aku mengingat semuanya...
Mengingat semua perasaan bahagia pagi ini
hingga tsunami bangsat yang membuatku jadi begini. Membuat diriku yang harus
terpisah dengan ragaku.
Kematian...
[FLASHBACK]
“Yuri... Ada telpon dari Yamada...,” dengan
setengah sadar kumendengar suara merdu ibuku meneriakkan nama Yama-chan.
Diriku yang sebenarnya masih setengah berada di
alam bawah sadar inipun buru-buru melangkahkan kaki ini ke lantai bawah.
“Moshi-moshi, Yama-chan...,” dengan kesadaran
penuh, kusapa sahabatku di ujung telepon ini dengan penuh semangat.
“Omedetou ne Chinen...,” iapun menjawab
dengan tidak kalah semangat dan tawapun mengikuti perkataannya barusan. “Jangan
lupa malam ini kita ke tempat biasa dengan yang lain untuk merayakan ulang
tahunmu ini ya...,” tambahnya masih dengan nadanya yang setengah tertawa.
Aku menyayangi orang ini – orang yang tengah
mengobrol denganku di telpon ini – Yamada Ryosuke – sahabat terbaik yang
kupunya.
“Un, arigatou ne Yama-chan, aku pasti akan
datang malam ini, kalian semua pokoknya wajib datang!” kalimat itu mengakhiri
obrolan singkat di antara kami berdua.
Yah, hari ini kami bersepuluh kebetulan
sedang libur dari semua aktivitas kami sebagai idol. Begitu juga dengan
sekolah, libur bertepatan dengan hari ulang tahunku. Andai hari ini sekolah
tidak libur, pagi ini pasti Yama-chan, Yuto, Ryuu, dan teman-teman sekelas yang
lain akan mengerjaiku seperti tahun-tahun sebelumnya.
Tapi aku benar-benar bersyukur...
Liburan ini membuatku bisa berkumpul
bersepuluh dengan sahabat-sahabat yang selalu melewatkan hari bersamaku.
Yama-chan, Yuto, Ryuu, Yuya, Daiki, Keito,
Inoo-kun, Hikaru-kun, dan juga Yabu-kun...
Senyum yang menghiasi bibirku sedari tadi ini
membuatku yakin hari ini akan menjadi hari yang indah...
Yah...
Hari yang indah...
Aku yakin...
Diriku tak sabar untuk bertemu dengan mereka
– sahabat-sahabat seperjuanganku sejak hampir 10 tahun yang lalu.
Keitaikupun sejak pagi ini telah dibanjiri
oleh email-email dari mereka dan juga Johnny’s dan Jr. lainnya yang berhubungan
dekat denganku.
Semangatku ini membuat waktu berjalan dengan
begitu cepat, hingga akhirnya kami bersepuluhpun benar-benar bisa berkumpul
merayakan hari ulang tahunku ini.
Aku begitu bahagia...
Tapi...
Semua kesenangan ini tak berlangsung lama.
Tubuhku mengejang...
Keringatku mengalir deras tanpa terlebih
dahulu meminta ijin padaku.
Berita itu...
Berita di TV Tokyo yang disiarkan secara
langsung – berita tsunami besar yang beberapa saat lalu menerjang pinggiran
pesisir Jepang yang saat ini tengah mengarah ke Tokyo.
Semua terdiam...
Tak ada satupun di antara kami bersepuluh
yang mampu mengeluarkan sepatah katapun – termasuk pemilik bar yang tengah kami
sewa ini.
Terdiam ketika tsunami itu melahap habis
studio TV Tokyo yang membuat siaranpun terputus. Kami semua menyaksikannya
tadi...
Tak sampai hitungan menit, tubuh kami
terdorong hebat. Terbawa sesuatu yang menyesakkan dada ini. Aku tak mampu
bernafas...
Tsunami itu telah menerjang kami
bersepuluh...
Semua terjadi begitu cepat bagai sebuah mimpi
– aku yakin ini adalah bencana terdasyat sepanjang sejarah Jepang – keyakinan
yang tak berarti sedikitpun karena ku sadar sahabat-sahabatku sudah tak lagi di
dekatku...
Tubuhku terseret arus – terbentur berulang
kali dan membuat tubuh kecilku ini harus menahan sakit yang begitu menyeruak.
Teramat sakit...
Tapi...
Di sela-sela rasa sakit ini, aku masih dapat
menangkap suatu kehangatan yang menelusup di hatiku ini. Aku merasakan sesuatu
memeluk tubuh ini dengan begitu erat. Membuatku yang tak lagi mampu membuka
mata ini yakin bahwa sesuatu itu tengah melindungiku.
Entah apa itu – tapi hal itu mampu membuatku
kembali pasrah dan yakin bahwa semua akan baik-baik saja.
Aku merasakan hentakan kuat – membuatku
kembali kehilangan kehangatan yang sedari tadi menenangkanku – aku kehilangan
kehangatan itu – aku takut...
Tapi...
Sekali lagi...
Sekali lagi kehangatan itu menghampiriku.
Untuk kedua kalinya, hal itu berhasil kembali
menenangkanku – kehangatan yang serasa lebih hangat dari sebelumnya.
“Semua akan baik-baik saja, Chii...,”
batinku.
[FLASHBACK END]
======================
Ku tegakkan kembali kaki ini – kaki yang
sudah tidak lagi menyentuh butiran tanah di bumi ini – karena aku telah mati.
Diriku tak tahu apa yang mesti kulakukan.
Kehidupan setelah mati – aku benar-benar
tidak tahu harus bagaimana.
Hingga...
Hingga kedua bola mataku menangkap sosok yang
teramat ku kenal. Sosok yang tengah meringkuk ketakutan dengan bajunya yang
kali ini teramat kusut, kotor, dan terkoyak di beberapa sudut.
“Yama-chan...,” aku bergumam lirih karena aku
sadar diriku telah mati dan tak mungkin bisa dilihatnya – dilihat oleh dirinya
yang teramat ku sayang.
Gumaman kecilku tadi membuatnya segera
menoleh ke arahku. Ia mengarahkan pandangannya padaku tuk beberapa saat dan
akhirnya pelukanpun segera kuterima setelah ia kembali menegakkan kakinya dan
berlari menghampiriku.
“Chinen....” ia menangis. Yama-chan
menangis...
Sahabatku ini menangis terisak-isak sambil
memelukku.
Butuh beberapa menit bagiku tuk menyadari
bahwa Yama-chan juga telah mati.
Ya...
Sepertinya sahabatku ini juga menjadi korban
tsunami bangsat tadi.
“Yama-chan...”
-------------------------------------
Kugerakkan lenganku perlahan tuk membalas
pelukannya. “Sudahlah Yama-chan, semua telah terjadi...,” kucoba menenangkan
dirinya yang masih saja terus menangis.
======================
Kami berdua saling diam sambil terus
melangkahkan kaki kami menyusuri jalan yang entah akan membawa kami kemana.
“Harusnya kau jangan mati, chii....” suara
lirih Yama-chan yang tertangkap pendengaranku ini dengan begitu jelas membuatku
segera memandang lekat ke wajahnya.
Ia terlihat lemas – tak bersemangat.
“Kira-kira bagaimana dengan yang lain, ya?!
Semoga mereka selamat dan baik-baik saja,” iapun menambahkan kalimatnya namun
diriku ini tak mampu memberikan jawaban apapun.
“Chii, apa kita memang sudah mati?!” sekali
lagi ia bertanya namun kali ini sahabatku ini menatapku dengan begitu lekat –
membuatku sekali lagi tak mampu memberikan jawaban atas pertanyaannya.
Menyadari diriku telah mati memang begitu
menyakitkan. Tapi melihat sahabatku murung seperti ini jauh lebih menyakitkan.
“Harusnya kau jangan mati, chii...” sekali
lagi ia menggumamkan kalimat itu pelan namun sama halnya dengan tadi, aku tak
memahami maksud perkataannya itu.
Aku tak tahu apa yang ada di pikiran
Yama-chan sekarang. Tapi tolong... Tolong kau jangan murung seperti ini...
Tanpa sadar, aku telah menangis...
“Padahal hari ini adalah hari ulang tahunku
yang ke-18,” begitu menyakitkan ketika kembali kuingat akan hal itu.
Kalian tahu rasanya?! Mati di hari ulang tahun
kita dan melihat sahabat kita semurung ini.
Hari yang seharusnya menjadi hari yang paling
membahagiakan malah harus berakhir seperti ini – berakhir dengan kematian...
“Aku tak peduli... tak apa jika aku harus
mati, tapi Yama-chan jangan seperti ini,” semua sedihku meluap – tangisan yang
begitu menyesakkan dada ini yang selama ini belum pernah kurasakan.
Deegg...
Hangat...
Sekali lagi kurasakan sebuah kehangatan – kehangatan
yang tentunya berhasil membuat air mataku berhenti mengalir seketika.
Yamachan...
Ia memelukku – pelukan yang benar-benar
begitu hangat.
“Tak apa, Chii... Semua akan baik-baik saja.
Percayalah...”
Yama-chan yang tadinya begitu murung, kini
bisa langsung menenangkanku dengan satu pelukannya.
Yama-chan...
Arigatou...
========================
“Yama-chan... Chinen...,” suara yang begitu
familier baru saja terdengar memanggil nama kami. Kami segera menoleh –
mendapati dirinya yang kini tengah berlari cepat ke arah kami.
“Yuto...,” kataku bersamaan dengan Yama-chan
dan segera dibalas Yuto dengan rangkulannya yang begitu erat.
“Yuto... Lepaskan! Aku tidak bisa bernafas
nie,” Yama-chan mengajukan protes dan dengan segera Yutopun melepaskan
rangkulannya pada kami berdua.
Sesaat aku mengira ia akan begitu gembira
karena bertemu dengan kami. Tapi ternyata tidak...
Ia segera menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Ne, Yuto. Daijoubu deshou?! Terima saja
semua yang telah terjadi,” Yama-chan berusaha kembali membangkitkan semangat
sahabat kami itu.
Yuto...
Aku sangat senang melihatnya. Tapi... kembali
bertemu dengannya berarti ia juga telah mati.
“Semua mati, tak ada yang selamat,” satu
kalimat mengalir lemas dari kedua sisi bibir sahabat jangkungku ini.
“Yabu-kun dan yang lain sedang berada di
rumah sakit sekarang. Jasad kami ada di sana...,” tambahnya pendek yang
seketika membuatku dan Yama-chan ternganga tak percaya.
Jasad...
Hal yang selama ini belum pernah kubayangkan
– melihat sendiri jasadku yang telah kosong tanpa nyawa.
Sekali lagi...
Sekali lagi aku terjatuh pada kesedihan yang
teramat dalam ini...
“Hanya jasad kalian berdua yang belum kami
ketahui keberadaannya,” kalimat selanjutnya dari Yuto ini membuatku dan
Yama-chan segera menatapnya penuh perhatian.
“Jasad kalian berdua belum ditemukan...”
========================
Di sudut yang sepi ini, kami bersepuluh hanya
bisa saling diam.
Beberapa orang sedari tadi sibuk melangkahkan
kakinya di lorong rumah sakit ini – kami tak peduli.
Prakk...
Sebuah langkah terdengar begitu jelas
menembus gendang telinga kami bersepuluh.
Prakk...
Sekali lagi langkah itu terdengar menutupi
suara-suara lain yang ada.
Prakk...
Prakk...
Prakk...
Sosok itu telah berdiri di hadapan kami.
Seorang pria tua berjenggot putih dengan
tongkat kayu di tangannya untuk menopang badannya yang renta itu.
Terlihat beberapa luka di sudut tubuhnya.
“Kenapa kalian di sini, anak-anak?” ia
menyapa kami dengan suara seraknya yang khas.
“Apakah kakek juga seorang arwah seperti
kami?” Yabu bertanya lemas – masih belum bergairah setelah beberapa saat lalu
menyaksikan jasadnya sendiri terbujur kaku penuh luka.
“Matsuyama Kato desu. Aku masih bernyawa...,”
jawabnya dengan sedikit tawa khas orang tua.
Kami bersepuluh menatapnya antusias.
Kakek tadi bilang ia masih bernyawa.
Tapi kenapa ia dapat melihat arwah seperti
kami?
Aku yakin yang lain juga memikirkan hal yang
sama denganku.
“Tidak baik kalian berlama-lama di dunia ini.
Sudah saatnya kalian pergi ke dunia kalian yang baru,” kakek itu menambahkan
seakan tahu tanda tanya yang tengah memenuhi kepala kami ini.
“Selesaikan urusan kalian di dunia ini yang
belum tuntas maka kalian akan segera bisa pergi dengan tenang,” sekali lagi
kakek tadi menambahkan dengan senyum ramah yang menghiasi wajah tuanya.
Tuk beberapa saat, kami masih belum memahami
kata-kata kakek barusan...
Kakek itu terlihat hendak melangkahkan
kakinya pergi setelah mengatakan hal terakhir tadi.
“Matsuyama-san...,” Yamada berteriak
memanggil setelah kakek tadi sudah melangkah cukup jauh.
“Selesaikan apa ganjalan kalian di dunia ini,
nak...,” sekali lagi si kakek tersenyum dan menghilang di balik keramaian orang
yang tengah sibuk menangani korban tsunami sedari tadi...
=========================
Aku tak tahu apa yang menjadi ganjalan bagiku
sehingga aku belum bisa pergi dengan tenang.
Apa ganjalanku?
Adakah yang bisa memberitahuku?!
“Minna... Mari kita cari jasad Yama-chan dan
Chinen,” Yuto berdiri – memberikan suatu masukan yang membuat yang lain juga
segera berdiri mengikuti gerakan Yuto barusan.
“Ne, minna...,” aku tak tahu harus merespon
apa. Sepertinya Yama-chan juga sama tak mengertinya denganku.
Tapi...
Arigatou...
And finally...
Perjalanan kamipun dimulai...
=========================
Kami mengunjungi kediamanku terlebih dulu.
Pemandangan yang begitu menyakitkan, kembali membuat tangisku pecah.
Rumahku hancur tak lagi berwujud...
Kaa-san...
Tou-san...
Aku teramat takut jika harus mengetahui bahwa
keluargaku juga telah meregang nyawa karena musibah ini.
“Chii... Jangan menangis... Kau ingat kan
kalau kita tidak boleh menangis di hari ulang tahun kita?!” mereka memandangku
dengan tatapan penuh perhatian.
Pandangan yang begitu hangat...
-----------------------------------------
Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahku
yang telah hancur.
Dua sosok yang keluar dari mobil itu,
membuatku segera berniat berlari ke arah mereka sebelum akhirnya Yabu-kun
dengan sigap menggenggam erat lenganku.
“Mereka tak kan bisa melihatmu, Chii...,”
kalimat yang mengalir dari bibir pemuda yang begitu kuhormati ini, membuatku
kembali menundukkan wajahku sedih.
“Kaa-san... Tou-san... Sukurlah kalian
selamat...,”
Kedua manusia yang tak lain adalah orangtuaku
itu terlihat tengah mencari sesuatu. Dan merekapun segera beranjak kembali ke
mobilnya setelah menemukan benda yang tadinya mereka cari.
Sebuah foto...
Foto dengan bingkai biru langit yang tadinya
terpampang indah di dinding kamarku.
Fotoku bersama kesembilan sahabatku ini –
bersepuluh.
“Semoga benda ini bisa membuat putra kita
sadar, papa...,” sebuah kalimat diiringi tangisan dari sosok ibuku itu
membuatku dan yang lain sedikit tak mengerti.
Mobil itu telah melaju...
Melaju ke satu tempat yang kami kenal sebagai
rumah sakit.
Kami berjalan perlahan mengikuti kedua
orangtuaku ini.
Berjalan hingga akhirnya sampai pada sudut
ruang yang memamerkan sosok pemuda tengah terbaring ringan tak sadarkan diri.
“Chii... Buka matamu, nak. Lihatlah apa yang
ibu dan ayah bawakan untukmu. Foto yang teramat kamu sukai nak... Lihatlah!
Buka matamu...” tangispun pecah di antara mereka berdua.
Tanpa kusangka,
Air mata ini telah membasahi hampir seluruh
wajahku.
Aku menangis...
Tangisan haru yang begitu meluap-luap
membuatku tak lagi bisa menghitung berapa banyak air mata deras ini yang telah
mengalir.
Kembali kurasakan sebuah pelukan.
Yama-chan memelukku...
Diikuti oleh kedelapan sahabatku yang lain.
Hangat...
Benar-benar hangat...
“Kembalilah pada mereka, Chii...,” Yuto
tersenyum begitu ramah, begitu juga dengan yang lain.
Senyuman yang harusnya membuatku bahagia,
tapi entah kenapa malah begitu terasa menyakitkan.
“Kau memang seharusnya tetap hidup, Chii...,”
kini Yama-chan yang bersuara.
“Inilah hadiah yang bisa kami berikan
padamu... Otanjoubi Omedetou, Chinen Yuri...,” Daiki menambahkan.
Mereka bersembilan tersenyum...
“LAST GIFT – BOKUTACHI KARA KIMI E!”
------------------------------------------
Sesaat kulihat bayangan mereka memudar.
“Kini kami bisa pergi dengan tenang...,”
Itulah kata terakhir yang sempat kudengar
sebelum sesuatu yang kuat terasa menarikku dan ketika kubuka mataku aku telah
merasakan pelukan hangat dari kedua orangtuaku.
[THE END]
========================
==============
[CLOSING STORY]
==============
“Chii... Kira-kira mereka sedang apa ya di
atas sana?!” sebuah pertanyaan yang kali ini akan langsung bisa kujawab
tentunya.
“Mereka akan terus mengawasi kita. Mengawasi
apakah kita akan menggunakan hadiah terakhir dari mereka ini dengan baik,” aku
menjawabnya ringan dengan seutas senyum yang menghiasi bibirku.
Kami berdua tengah menatap bintang dari
balkon rumahku...
Menatap sahabat-sahabat kami yang telah pergi
mendahuluiku dengannya.
Minna...
Aku tidak akan menyia-nyiakan hadiah terakhir
dari kalian ini.
Akan kulalui hidupku dengan penuh gembira
sebagai wujud terimakasihku pada kalian.
“Ne, Yama-chan... Sudah waktunya kita ke
Tokyo Dome,” ajakku riang pada sahabat yang tengah berdiri sempurna di
sampingku.
-----------------------------------
Tsunami yang terjadi 2 bulan lalu membuatku
harus kehilangan sahabat-sahabatku.
Tapi aku tak menyangka di saat itu mereka
masih sempat-sempatnya memikirkan diriku yang tengah berulang tahun.
Yama-chan terus melindungi tubuhku waktu itu
biarpun sempat terlepas karena benturan kuat.
Dan...
Yuto dan yang lain...
Arigatou telah melindungiku dan Yama-chan...
Memberikanku kehangatan dalam pelukan kalian
di saat itu.
Arigatou masih memberikanku sahabat yang bisa
menemaniku menjalani hari-hari.
Yama-chan...
Kaulah hadiah terakhirku dari mereka.
Hey! Say! JUMP akan tetap hidup dalam diri
kami berdua.
Sampai saat inipun, kami masih berlabelkan
Hey! Say! JUMP – karena kedelapan sahabat kami sampai saat ini masih tetap ada
bersama kami.
“Minna... Oretachi ga... Hey... Say...
JUMP...,” teriakanku dan Yama-chan mengakhiri konser kami malam ini di Tokyo
Dome.
[THE END OF CLOSING STORY]
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^