Saturday 26 November 2011

Fanfic Death Phone Call - Hey! Say! JUMP Part 03



DEATH PHONE CALL
PART 3

Cast : All of membe Jump
Rating : NC – 15
Words : 1.392

================

Inoo Kei bunuh diri...
Okamoto Keito mati mengenaskan...
Kini giliran Nakajima Yuto yang mati tanpa sebab bagai sebuah kutukan.

“Kenapa semua ini terjadi?” sosok pria yang sudah sangat berumur itu terlihat teramat sedih.
Bagaimana ia tak sedih... ia kehilangan ketiga muridnya dalam waktu sesingkat ini – murid-murid yang sudah ia didik sedari kecil.

Pria tua yang sudah berusia 60 tahun itu menangis. Ia – Yabu sensei – merasa semua ini karena kesalahannya.
Bagaimana tidak?!
Kejadian itu bermula 1 bulan lalu ketika dirinya mengumumkan akan pensiun pada ketujuh muridnya dan akan mewariskan piano kesayangannya – Desta de Ryuu – pada salah seorang diantara ketujuh orang tersebut.


Ya...
Sejak kejadian itulah kesialan menimpa murid-muridnya. Tapi, apakah memang layak pria tua itu disebut sebagai dalang di balik kengerian-kengerian yang terjadi ini. Kenapa semua itu harus menimpa muridnya... Ada apa sebenarnya?!

================

4 musisi yang biasanya selalu berwajah tenang itu kini diselimuti ketegangan luar biasa.

“Kutukan... Kutukan... Semua ini adalah kutukan dari Kei...,” Ryutaro masih berulang kali mengatakan hal itu. Mungkin sudah ratusan kali. Tapi, sepertinya ia tengah tak sadar akan kata-kata yang sedari tadi diucapkannya itu. Pemuda ini terlalu ngeri untuk menyadari apa yang tengah ia katakan. Absolutely... Terlalu ngeri...

“Ryutaro... tenangkan dirimu!” Yuri mencoba menghibur sahabatnya. Dan tentu saja apa yang ia lakukan barusan berhasil membuatnya memperoleh perhatian dari Ryutaro. Bagaimana tidak... Ryutaro sangat mencintai Yuri di dalam lubuk hatinya yang terdalam. Apapun yang dikatakan Yuri, pasti berhasil membuatnya segera mengalihkan pikirannya pada gadis yang teramat disukainya ini.

Telapak tangan Ryutaro yang begitu dingin, menggenggam erat jemari Yuri. “Bagaimana jika selanjutnya adalah giliranku, Yuri?” Ryutaro ketakutan. Wajahnya yang biasanya cerah, kini tampak kusut dengan begitu sempurna dibanjiri keringat dingin.

“Aku tahu kenapa semua ini terjadi pada kita,” Yuya bersuara. Kini semua mata mengarah lurus ke arahnya. “Inoo Kei adalah murid Yabu sensei yang keterampilannya sudah tak diragukan lagi. Sudah pasti ia yang akan mewarisi piano sensei. Tapi kesialan yang menimpanya yang akhirnya membuatnya harus bunuh diri... Ia pasti tak mengijinkan salah seorang di antara kita mewarisi piano itu. Ya... Ia pasti ingin agar kita semua mati dan tak ada satupun yang berhak mendapatkan Desta de Ryuu,” Yuya mengakhiri kalimatnya dengan wajah yang terlihat begitu sendu.

“Andai saja kita berempat datang lebih awal, kita pasti bisa mencegah Kei agar tidak bunuh diri...” penyesalan mendalam tampak dari eksistensi seorang Yaotome Hikari.

Ya... Mereka berempatlah yang menemukan Kei pertama kali.
Saat itu keempatnya – minus Yuto dan Keito – ingin menjenguk Kei yang baru saja keluar dari rumah sakit.

================

Malam mulai larut. Semua orang di rumah itu masih diselimuti kegelisahan. Kegelisahan yang teramat mengganggu tidur mereka. Tentu saja mereka tak bisa tidur dengan tenang mengingat kejadian-kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.

“Selamat tidur, sayang...” Ryosuke mengecup lembut kening Yuri dan iapun kembali membaringkan badannya di samping Yuri – mereka berdua tengah tidur seranjang. Pemuda itu tak mungkin membiarkan kekasih hatinya tidur sendirian, begitu juga dengan Yuri yang tak mungkin berani tidur seorang diri.

“Ryosuke... Mungkin sebaiknya malam ini aku tidur dengan Hikari saja,” nada suara Yuri terdengar bergetar.
Pemuda di sebelahnya terlihat cukup heran, “Kenapa sayang? Kamu tidak nyaman tidur denganku? Kita kan sudah tunangan,” Ryosuke mengajukan protes namun dengan nada suaranya yang begitu lembut.

“Tolong, malam ini saja, biarkan aku tidur dengan Hikari,” Yuri memohon... dan alhasil, tentu saja pemuda itu tak ada daya tuk menolak permintaan orang yang begitu dicintainya itu.
‘Apa kau takut denganku, Yuri? Bukannya kau yang memintaku untuk melakukan semua ini...,’ batin Ryosuke mengiringi Yuri yang berjalan perlahan meninggalkannya sendirian di kamar itu.
Pemuda itu tertegun sejenak. Melamunkan dosa besar yang sudah dilakukannya untuk menuruti kekasihnya itu – menuruti Yuri agar mau tunangan dan menikah dengannya. Entah dosa apa yang sudah diperbuatnya, kini ia baru merasakan penyesalan. Benar-benar dosa yang begitu besar...

================

Di malam yang begitu dingin...
“Kring... Kring...,” handphone berdering. Getarannya cukup tuk membuat orang di dekat hp itu segera meraih benda yang membangunkannya.
“Mosh...,” belum sempat ia menyapa si penelepon, gadis itu langsung terdiam. Terduduk sempurna di ranjangnya dengan perhatian yang 100% terpaku pada suara di ujung satunya.

Lagi...
Ya... Lagi-lagi melodi itu...

Star Time...

================

“Ohayo...,” Daiki menyapa Ryosuke yang terlihat sudah duduk-duduk di teras rumah di pagi yang begitu dingin ini.
“Ohayo, Dai-chan...,” pemuda itu tersenyum – sedetik sempat terlihat wajah Daiki yang memerah. “Kenapa dengan wajahmu itu, Dai-chan? Jangan bilang kalau kau itu homo... Hahaha,” Ryosuke tertawa lepas masih mengarahkan pandangannya pada Daiki.
“Iie ne...,” reflek, pembantu sekaligus sopir itu menyilangkan tangannya malu-malu. Pemuda yang menggodapun kembali tertawa, “Hahaha, aku cuma bercanda kok...” kalimat yang cukup membuat Daiki sedikit lega.

“Di luar begitu dingin, lebih baik kau masuk ke dalam biar tak sakit,” Daiki memberikan saran dengan malu-malu sedikit menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak sedang gatal sedikitpun. Pemuda yang dinasehatipun tersenyum, “Aku suka melihat butiran-butiran salju itu.” Sebuah kalimat yang sempat membuat Daiki tertegun – membuatnya teringat akan seseorang. Namun lamunannya tak berlangsung lama, bahkan kedua pemuda tu sempat tersentak kaget tak sampai sedetik begitu sebuah teriakan melengking tinggi dari dalam rumah.

================

Hikari dan Yuri...
Ryutaro menemukan mereka berdua sudah tak lagi bernyawa – mati dengan begitu mengenaskan di ranjang mereka.
Tempat tidur yang tadinya begitu putih bersih itu, kini telah berlumuran darah. Leher keduanya tersayat benda tajam dengan teramat dalam – alasan yang membuat mereka berdua sangat wajar jika langsung kehilangan nyawanya.

“Yuri... Yuri... TIDAAKKK...,” Ryosuke memeluk erat-erat jasad tunangannya itu. “Kenapa?! Kenapa semua ini terjadi begitu cepat?!” Ia masih saja tak percaya dengan pemandangan di depan matanya. Pantas... teramat pantas baginya tuk meluapkan segala kesedihan yang pastinya sangat menyesakkan dadanya – melihat sang kekasih hati mati begitu mengenaskan.

Kedua kakinya melangkah cepat setelah membaringkan Yuri yang pastinya membuat bajunya kini terlumur darah kekasihnya.
“Katakan, siapa yang melakukan semua ini!!” Ryosuke menarik kuat-kuat kerah Ryutaro. Mengepalkan telapak tangannya begitu kuat menahan segala emosi yang hampir diledakkannya.
Ryutaro terdorong keras menghantam tembok. Kerah bajunya masih sempurna berada di genggaman Ryosuke yang begitu kuat.

“Tenangkan dirimu... Jangan seperti ini!” Yuya mencoba melerai perkelahian yang mungkin akan terjadi karena ia tahu Ryutaro juga merasakan hal yang sama seperti yang pemuda berlabelkan Yamada Ryosuke itu rasakan. Alih-alih melerai, Yuya seketika mendapat tatapan tajam dari Ryosuke yang langsung membuatnya mundur beberapa langkah. Tatapan yang begitu menakutkan namun terasa begitu familier.


“Sialan kau... Kau kira kau itu siapa?! Aku yang duluan mengenalnya dan sudah pasti aku lebih mengenal dirinya dibanding dirimu...,” perkelahian antara Ryutaro dan Ryosukepun akhirnya terjadi. Sementara Yuya dan Daiki hanya bisa diam menyaksikan perkelahian itu.

================

Senja mulai menyelinap, menutupi mentari agar membiarkan sang senja menggantikannya bertugas menjaga hari.

“Ini, minumlah dulu...,” Daiki menyodorkan secangkir teh hangat ke Ryosuke yang sejak kejadian tadi pagi hanya diam memandangi salju yang masih saja turun tanpa kenal lelah. Tentu saja pemuda yang tengah sedih itu tak menggubris Daiki.


Sementara itu di kamar Ryutaro, Yuya sedang menemaninya dan mencoba menenangkan sahabatnya itu.
“Sekarang kau tidurlah dulu. Kau pasti capek setelah menangis seharian,” Yuya mengelus lembut rambut Ryutaro yang sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri. “Aku akan tinggalkan kau dulu. Istirahatlah baik-baik, Ryutaro...,” Yuya melangkahkan kakinya keluar kamar Ryutaro. Namun, biarpun samar-samar, Yuya sempat mendengar Ryutaro menggumam pelan, “Kei... Inoo Kei... Kau benar-benar bangsat...”

================

Jam makan malam, Daiki melangkahkan kakinya ke kamar Ryutaro setelah sebelumnya selesai menghidangkan makan malam. Semuanya sudah duduk di meja makan kecuali Ryutaro – alasan yang membuat Yabu si tuan rumah menyuruh pembantunya itu untuk memanggil si bocah yang belum datang.

Kini muridnya hanya tersisa Yuya dan Ryutaro. Yabu sensei semakin sakit setiap mengingat hal itu. Lagi-lagi ia berfikir, kenapa semua ini mesti terjadi pada murid-muridnya?!

“Tuan... Tuan...,” Daiki terengah-engah, berlari dengan begitu terburu-buru.
“Morimoto-san... Morimoto-san... Ia...,” si pembantu terbata-bata mengucapkan kalimatnya.

================

Morimoto Ryutaro...
Ia tewas bunuh diri dengan meminum racun serangga. Busa masih menggumpal di mulutnya melengkapi wajahnya yang membiru. Bunuh diri dengan meninggalkan pesan permintaan maaf pada Inoo Kei.

Permintaan maaf pada Inoo Kei?!
Kenapa?!

Kenapa?!

Nama Inoo Kei lagi-lagi tercantum di daftar panggilan masuk di hp Ryutaro yang tergeletak di sampingnya. Sebuah panggilan yang masuk kira-kira 1 jam lalu – terpampang jelas di layar hp Ryutaro yang telah retak akibat benturan kemarin...


TBC == To Be Continued
==================
Ternyata di part ini ada 3 korban sekaligus [Hikari, Yuri, dan Ryutaro]

Question:
Siapakah dalang di balik semua peristiwa ini? [Inoo Kei, Yabu Kota, Takaki Yuya, Arioka Daiki, ataukah Yamada Ryosuke?]
Pastikan jawabannya di part 4 yang mungkin akan menjadi part terakhir ^^

1 comment:

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers