DEATH PHONE CALL
PART 3
Cast : All of membe Jump
Rating : NC – 15
Words : 1.392
================
Inoo Kei bunuh diri...
Okamoto Keito mati mengenaskan...
Kini giliran Nakajima Yuto yang mati tanpa
sebab bagai sebuah kutukan.
“Kenapa semua ini terjadi?” sosok pria yang
sudah sangat berumur itu terlihat teramat sedih.
Bagaimana ia tak sedih... ia kehilangan
ketiga muridnya dalam waktu sesingkat ini – murid-murid yang sudah ia didik
sedari kecil.
Pria tua yang sudah berusia 60 tahun itu
menangis. Ia – Yabu sensei – merasa semua ini karena kesalahannya.
Bagaimana tidak?!
Kejadian itu bermula 1 bulan lalu ketika
dirinya mengumumkan akan pensiun pada ketujuh muridnya dan akan mewariskan
piano kesayangannya – Desta de Ryuu – pada salah seorang diantara ketujuh orang
tersebut.
Ya...
Sejak kejadian itulah kesialan menimpa
murid-muridnya. Tapi, apakah memang layak pria tua itu disebut sebagai dalang
di balik kengerian-kengerian yang terjadi ini. Kenapa semua itu harus menimpa
muridnya... Ada apa sebenarnya?!
================
4 musisi yang biasanya selalu berwajah tenang
itu kini diselimuti ketegangan luar biasa.
“Kutukan... Kutukan... Semua ini adalah
kutukan dari Kei...,” Ryutaro masih berulang kali mengatakan hal itu. Mungkin
sudah ratusan kali. Tapi, sepertinya ia tengah tak sadar akan kata-kata yang
sedari tadi diucapkannya itu. Pemuda ini terlalu ngeri untuk menyadari apa yang
tengah ia katakan. Absolutely... Terlalu ngeri...
“Ryutaro...
tenangkan dirimu!” Yuri mencoba menghibur sahabatnya. Dan tentu saja apa yang
ia lakukan barusan berhasil membuatnya memperoleh perhatian dari Ryutaro.
Bagaimana tidak... Ryutaro sangat mencintai Yuri di dalam lubuk hatinya yang
terdalam. Apapun yang dikatakan Yuri, pasti berhasil membuatnya segera
mengalihkan pikirannya pada gadis yang teramat disukainya ini.
Telapak tangan
Ryutaro yang begitu dingin, menggenggam erat jemari Yuri. “Bagaimana jika
selanjutnya adalah giliranku, Yuri?” Ryutaro ketakutan. Wajahnya yang biasanya
cerah, kini tampak kusut dengan begitu sempurna dibanjiri keringat dingin.
“Aku tahu kenapa semua ini terjadi pada
kita,” Yuya bersuara. Kini semua mata mengarah lurus ke arahnya. “Inoo Kei
adalah murid Yabu sensei yang keterampilannya sudah tak diragukan lagi. Sudah
pasti ia yang akan mewarisi piano sensei. Tapi kesialan yang menimpanya yang
akhirnya membuatnya harus bunuh diri... Ia pasti tak mengijinkan salah seorang
di antara kita mewarisi piano itu. Ya... Ia pasti ingin agar kita semua mati
dan tak ada satupun yang berhak mendapatkan Desta de Ryuu,” Yuya mengakhiri
kalimatnya dengan wajah yang terlihat begitu sendu.
“Andai saja kita berempat datang lebih awal,
kita pasti bisa mencegah Kei agar tidak bunuh diri...” penyesalan mendalam tampak
dari eksistensi seorang Yaotome Hikari.
Ya... Mereka berempatlah yang menemukan Kei
pertama kali.
Saat itu keempatnya – minus Yuto dan Keito –
ingin menjenguk Kei yang baru saja keluar dari rumah sakit.
================
Malam mulai larut. Semua orang di rumah itu
masih diselimuti kegelisahan. Kegelisahan yang teramat mengganggu tidur mereka.
Tentu saja mereka tak bisa tidur dengan tenang mengingat kejadian-kejadian yang
terjadi akhir-akhir ini.
“Selamat tidur, sayang...” Ryosuke mengecup
lembut kening Yuri dan iapun kembali membaringkan badannya di samping Yuri –
mereka berdua tengah tidur seranjang. Pemuda itu tak mungkin membiarkan kekasih
hatinya tidur sendirian, begitu juga dengan Yuri yang tak mungkin berani tidur
seorang diri.
“Ryosuke... Mungkin sebaiknya malam ini aku
tidur dengan Hikari saja,” nada suara Yuri terdengar bergetar.
Pemuda di sebelahnya terlihat cukup heran,
“Kenapa sayang? Kamu tidak nyaman tidur denganku? Kita kan sudah tunangan,”
Ryosuke mengajukan protes namun dengan nada suaranya yang begitu lembut.
“Tolong, malam ini saja, biarkan aku tidur
dengan Hikari,” Yuri memohon... dan alhasil, tentu saja pemuda itu tak ada daya
tuk menolak permintaan orang yang begitu dicintainya itu.
‘Apa kau takut denganku, Yuri? Bukannya kau
yang memintaku untuk melakukan semua ini...,’ batin Ryosuke mengiringi Yuri
yang berjalan perlahan meninggalkannya sendirian di kamar itu.
Pemuda itu tertegun sejenak. Melamunkan dosa
besar yang sudah dilakukannya untuk menuruti kekasihnya itu – menuruti Yuri
agar mau tunangan dan menikah dengannya. Entah dosa apa yang sudah
diperbuatnya, kini ia baru merasakan penyesalan. Benar-benar dosa yang begitu
besar...
================
Di malam yang begitu dingin...
“Kring... Kring...,” handphone berdering. Getarannya
cukup tuk membuat orang di dekat hp itu segera meraih benda yang
membangunkannya.
“Mosh...,” belum sempat ia menyapa si
penelepon, gadis itu langsung terdiam. Terduduk sempurna di ranjangnya dengan
perhatian yang 100% terpaku pada suara di ujung satunya.
Lagi...
Ya... Lagi-lagi melodi itu...
Star Time...
================
“Ohayo...,” Daiki
menyapa Ryosuke yang terlihat sudah duduk-duduk di teras rumah di pagi yang
begitu dingin ini.
“Ohayo,
Dai-chan...,” pemuda itu tersenyum – sedetik sempat terlihat wajah Daiki yang
memerah. “Kenapa dengan wajahmu itu, Dai-chan? Jangan bilang kalau kau itu
homo... Hahaha,” Ryosuke tertawa lepas masih mengarahkan pandangannya pada
Daiki.
“Iie ne...,”
reflek, pembantu sekaligus sopir itu menyilangkan tangannya malu-malu. Pemuda
yang menggodapun kembali tertawa, “Hahaha, aku cuma bercanda kok...” kalimat
yang cukup membuat Daiki sedikit lega.
“Di luar begitu
dingin, lebih baik kau masuk ke dalam biar tak sakit,” Daiki memberikan saran
dengan malu-malu sedikit menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak sedang gatal
sedikitpun. Pemuda yang dinasehatipun tersenyum, “Aku suka melihat
butiran-butiran salju itu.” Sebuah kalimat yang sempat membuat Daiki tertegun –
membuatnya teringat akan seseorang. Namun lamunannya tak berlangsung lama,
bahkan kedua pemuda tu sempat tersentak kaget tak sampai sedetik begitu sebuah
teriakan melengking tinggi dari dalam rumah.
================
Hikari dan Yuri...
Ryutaro menemukan
mereka berdua sudah tak lagi bernyawa – mati dengan begitu mengenaskan di
ranjang mereka.
Tempat tidur yang
tadinya begitu putih bersih itu, kini telah berlumuran darah. Leher keduanya tersayat
benda tajam dengan teramat dalam – alasan yang membuat mereka berdua sangat wajar
jika langsung kehilangan nyawanya.
“Yuri... Yuri...
TIDAAKKK...,” Ryosuke memeluk erat-erat jasad tunangannya itu. “Kenapa?! Kenapa
semua ini terjadi begitu cepat?!” Ia masih saja tak percaya dengan pemandangan
di depan matanya. Pantas... teramat pantas baginya tuk meluapkan segala
kesedihan yang pastinya sangat menyesakkan dadanya – melihat sang kekasih hati
mati begitu mengenaskan.
Kedua kakinya
melangkah cepat setelah membaringkan Yuri yang pastinya membuat bajunya kini
terlumur darah kekasihnya.
“Katakan, siapa
yang melakukan semua ini!!” Ryosuke menarik kuat-kuat kerah Ryutaro.
Mengepalkan telapak tangannya begitu kuat menahan segala emosi yang hampir
diledakkannya.
Ryutaro terdorong
keras menghantam tembok. Kerah bajunya masih sempurna berada di genggaman
Ryosuke yang begitu kuat.
“Tenangkan
dirimu... Jangan seperti ini!” Yuya mencoba melerai perkelahian yang mungkin
akan terjadi karena ia tahu Ryutaro juga merasakan hal yang sama seperti yang
pemuda berlabelkan Yamada Ryosuke itu rasakan. Alih-alih melerai, Yuya seketika
mendapat tatapan tajam dari Ryosuke yang langsung membuatnya mundur beberapa
langkah. Tatapan yang begitu menakutkan namun terasa begitu familier.
“Sialan kau... Kau
kira kau itu siapa?! Aku yang duluan mengenalnya dan sudah pasti aku lebih
mengenal dirinya dibanding dirimu...,” perkelahian antara Ryutaro dan
Ryosukepun akhirnya terjadi. Sementara Yuya dan Daiki hanya bisa diam
menyaksikan perkelahian itu.
================
Senja mulai
menyelinap, menutupi mentari agar membiarkan sang senja menggantikannya bertugas
menjaga hari.
“Ini, minumlah
dulu...,” Daiki menyodorkan secangkir teh hangat ke Ryosuke yang sejak kejadian
tadi pagi hanya diam memandangi salju yang masih saja turun tanpa kenal lelah.
Tentu saja pemuda yang tengah sedih itu tak menggubris Daiki.
Sementara itu di
kamar Ryutaro, Yuya sedang menemaninya dan mencoba menenangkan sahabatnya itu.
“Sekarang kau
tidurlah dulu. Kau pasti capek setelah menangis seharian,” Yuya mengelus lembut
rambut Ryutaro yang sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri. “Aku akan
tinggalkan kau dulu. Istirahatlah baik-baik, Ryutaro...,” Yuya melangkahkan
kakinya keluar kamar Ryutaro. Namun, biarpun samar-samar, Yuya sempat mendengar
Ryutaro menggumam pelan, “Kei... Inoo Kei... Kau benar-benar bangsat...”
================
Jam makan malam,
Daiki melangkahkan kakinya ke kamar Ryutaro setelah sebelumnya selesai
menghidangkan makan malam. Semuanya sudah duduk di meja makan kecuali Ryutaro –
alasan yang membuat Yabu si tuan rumah menyuruh pembantunya itu untuk memanggil
si bocah yang belum datang.
Kini muridnya hanya
tersisa Yuya dan Ryutaro. Yabu sensei semakin sakit setiap mengingat hal itu.
Lagi-lagi ia berfikir, kenapa semua ini mesti terjadi pada murid-muridnya?!
“Tuan... Tuan...,”
Daiki terengah-engah, berlari dengan begitu terburu-buru.
“Morimoto-san...
Morimoto-san... Ia...,” si pembantu terbata-bata mengucapkan kalimatnya.
================
Morimoto Ryutaro...
Ia tewas bunuh diri
dengan meminum racun serangga. Busa masih menggumpal di mulutnya melengkapi
wajahnya yang membiru. Bunuh diri dengan meninggalkan pesan permintaan maaf
pada Inoo Kei.
Permintaan maaf
pada Inoo Kei?!
Kenapa?!
Kenapa?!
Nama Inoo Kei
lagi-lagi tercantum di daftar panggilan masuk di hp Ryutaro yang tergeletak di sampingnya.
Sebuah panggilan yang masuk kira-kira 1 jam lalu – terpampang jelas di layar hp
Ryutaro yang telah retak akibat benturan kemarin...
TBC == To Be Continued
==================
Ternyata di part ini ada 3 korban sekaligus [Hikari,
Yuri, dan Ryutaro]
Question:
Siapakah dalang di balik semua peristiwa ini? [Inoo Kei,
Yabu Kota, Takaki Yuya, Arioka Daiki, ataukah Yamada Ryosuke?]
Pastikan jawabannya di part 4 yang mungkin akan menjadi
part terakhir ^^
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete