Showing posts with label Fanfic Death Phone Call. Show all posts
Showing posts with label Fanfic Death Phone Call. Show all posts

Sunday, 27 November 2011

Fanfic Death Phone Call - Hey! Say! JUMP Part 04



DEATH PHONE CALL
PART 4 (ENDING)

Cast : All of membe Jump
Rating : NC – 13
Words : 1.832 [part terpanjang]

================

Pemuda itu masih saja duduk seorang diri di teras rumah – menangis terisak-isak mengingat kembali wajah tunangannya yang meninggal dua hari yang lalu dengan begitu mengenaskan.
‘Yuri... Apakah ini yang namanya karma?! Andai saja malam itu kau tidur denganku, aku pasti bisa melindungimu. Tapi... Tapi siapa yang begitu brengsek melakukan semua itu padamu?! Yuri... Beritahu aku siapa yang tlah melakukan ini!’
Ia semakin terisak. Dadanya begitu sesak saat dicobanya tuk tak mempercayai kenyataan yang membuat mimpinya kandas tuk menikahi Yuri. Kandas sudah... semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia kini. Pengorbanan yang harus dibayar dengan kematian kekasihnya.

Karma...

================


Di ruang keluarga, dua manusia yang beda generasi itu terlihat tak dapat menyembunyikan raut kesedihannya.

“Yuya, hanya kau muridku yang tersisa. Aku tak tahu kenapa semua ini bisa menimpa kalian. Aku... Aku...,” pria tua yang sudah rapuh itu menitihkan air mata.

“Yabu sensei...”

Maestro tua tadi menggerakkan tangannya perlahan – menunjuk satu sudut yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan mereka berdua.

“Desta de Ryuu... piano itu sekarang aku wariskan padamu, Yuya...,” ia kembali menangis. Dengan terbata, pria tua itu masih mencoba tuk bicara. “Aku mengumpulkan kalian di sini karena aku ingin mewariskan piano itu pada salah seorang diantara kalian. Tapi... aku benar-benar tak menyangka semua akan jadi seperti ini...,” ledakan tangispun melantun tak beraturan dari keduanya.

“Sensei... Aku tak menginginkan piano itu. Sungguh... Demi apapun, aku tak pantas untuk mendapatkannya...” Yuyapun terisak menemani kesedihan yang tengah menghinggapi senseinya. Demi apapun... Dari awal, pemuda itu memang tak menginginkan Desta de Ryuu.

Ia tak menginginkannya...

---------------------------

Sosok lain melangkahkan kakinya dengan begitu cepat. Memasang sempurna segala bentuk kemarahan yang menyeruak dari lubuk hatinya – terpampang jelas di wajahnya yang kali ini tak sedikitpun menyunggingkan senyuman.

“Kau memang tak pantas mewarisi piano itu!!”
JLEBB...
Sebuah pisau dapur yang begitu besar, menancap dalam dengan begitu sempurna pada pemuda yang menjadi sasaran.

Darah menyembur deras...
Perut bagian kirinya robek teramat luas – luka tusuk yang begitu ngeri.

Yabu begitu kaget. Seluruh sarafnya meregang dengan begitu cepat. Sebuah kejadian yang masih belum bisa ia tangkap dengan akal sehatnya – ia masih belum percaya atas kejadian barusan.

“Daiki...”

‘Selesai sudah...’

================

Yuya menatap lekat ke arah Daiki. Menatap sayu ke arah pemuda itu dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.

“Kei... Inoo Kei... Ia bisa tenang sekarang,” Daiki menangis. Tangannya masih sempurna terlumur darah melengkapi pisau besar di genggamannya yang juga telah bermandikan cairan merah kental itu.

“Aku... Aku... Kei... Daisuki. Hontou ni daisuki desu...,” pemuda berpangkat pembantu itu semakin menangis menjadi-jadi.
Dengan begitu tiba-tiba, Daiki meluapkan segala kemarahannya. Air mata yang menyatu dengan keringat serta segala bentuk kekusutan wajahnya melengkapi emosinya yang entah kenapa sudah tak lagi bisa ditahan. “Kalian!! Kalian yang telah membunuhnya!! Aku mendengar pembicaraan kalian waktu itu!!”

[Flashback]
Di salah satu ruangan kediaman Yabu sensei – ruangan yang tertutup rapat...

“Jadi kita akan memberinya pelajaran?!” Hikari berkomentar dan tentunya tanggapan atas pertanyaannya itupun segera didapatnya.
“Kalian pasti sudah tahu kan bahwa sensei pastinya akan mewariskan piano kesayangannya itu pada Kei. Apa kalian akan membiarkannya begitu saja?” Yuri menyeringai.

“Jadi apa rencana kita?!” kini giliran Ryutaro yang mengajukan pertanyaan. Sekali lagi, Yuripun memberikan penjelasan disertai seringai khasnya yang sebenarnya terlihat sedikit menakutkan. “Keberhasilan Kei saat pertunjukan sebulan lalu pasti membuat sensei semakin memantapkan hatinya tuk mewariskan Desta de Ryuu ke Kei. Lusa, sensei akan mengadakan pertunjukan untuk perpisahannya. Saat itulah kita akan memberi gadis itu pelajaran...”

“Apa maksudmu?!” Keito mengajukan protes karena ia masih belum paham maksud Yuri.

“Aku akan meminjam mobilnya dan merusak jarum penunjuk bahan bakarnya sehingga ia tak tahu kalau bensinnya akan kuhabiskan agar ia tak bisa mencapai tempat pertunjukan. Dicuaca sedingin sekarang ini, kalian yakinkan dia tuk tak memakai jaket maupun sarung tangan... Hanya itu yang cukup kita lakukan,” gadis mungil itu kembali menyeringai.
“Ia gadis yang polos, jadi ia pasti akan mempercayai kita. Setidaknya, itu akan memberinya pelajaran.”

“Tapi bagaimana jika ia mati kedinginan?!” sekali lagi Keito protes. Kali ini disusul anggukan kepala Yuto yang sedari tadi diam mendengarkan ide Yuri.

“Bukannya itu yang kita mau?!” bagai senyuman seorang iblis, gadis itu kembali menjawab enteng.

[Flashback End]

================

Tubuh Daiki bergetar hebat. Ia masih terisak – membendung segala emosi dan kemarahannya setiap mengingat kembali sosok gadis yang diam-diam disukainya itu – Inoo Kei. “Sejak awal, aku begitu menyukai Kei. Aku begitu menikmati saat-saat ketika melihatnya tersenyum. Menikmati saat-saat ketika ia begitu bahagia melihat turunnya salju... Menikmati saat menemaninya menyaksikan salju yang turun – berdua.”

Yabu – si tuan rumah – masih menatap tak percaya ke arah Daiki.
Tak sekalipun ia menduga, Daiki memiliki perasaan demikian pada murid kesayangannya yang tlah mati – Kei.

“Tapi... Tapi... Kalian begitu bangsatnya menginginkan gadis sebaik Kei untuk mati. Kalian semua BANGSAT!!” ia kembali meledakkan amarahnya.

“Andai saja waktu itu aku datang lebih cepat...,” Daiki menundukkan kepala – berulang kali mengusap aliran deras air matanya.

Perlahan, sosok yang menjadi korban penusukan itu menggerakkan tubuhnya. Biarpun ia merasa begitu berat melakukan itu, tapi ia tetap memaksa tubuhnya tuk kembali terduduk. Ia yakin, segala usahanya tak akan sia-sia.

-----------------------------

“Arigatou Daiki...,” kata itulah yang terlontar dari kedua sisi bibir pemuda yang tengah sekarat itu – dua kata yang berhasil membuat Daiki kembali mengangkat wajahnya, memberikan seluruh perhatiannya pada Yuya – sedikit menunjukkan tanda tanya atas kata-kata Yuya barusan.

Yuya kembali bersuara. “Kau mencintai Kei seperti layaknya aku mencintainya. Bahkan ia tlah menerima pinanganku tuk menikahinya setelah pertunjukan akhir Yabu sensei...”

Daiki tertegun kaget...

“Akulah yang telah membunuh Keito, Hikari, dan Yuri... dan pastinya... dan pastinya kaulah yang telah membantuku mengakhiri semua ini – membunuh Yuto dan Ryutaro...”

Daiki syok mendengar pengakuan Yuya.
Ya...
Benar-benar syok...

“KAU BOHONG!!”

Yuya menggerakkan lengannya perlahan. Menahan segala sakit yang kini telah menyeruak di sekujur tubuhnya.

Tangannya terulur...
Memegang sebuh benda di tangannya – mengarahkannya ke Daiki. Sebuah benda yang begitu familier bagi Daiki – handphone kepunyaan Inoo Kei.

“Tidak mungkin... Tidak mungkin...,” Daiki masih mencoba tuk tidak mempercayai kenyataan yang terpampang jelas di depan matanya itu – mengulurkan tangannya masih dengan perasaan tak percaya untuk meraih benda di telapak tangan Yuya.

Yuya tersenyum. Entah ia harus merasa sedih atau senang di ambang kematiannya ini, tapi ia benar-benar merasa begitu lega sekarang. Sebentar lagi ia akan menemui kekasihnya di dunia lain sana. Kembali bersatu dengan jantung hatinya – Inoo Kei.

Ia masih tersenyum. Mengingat semua kenangan indahnya bersama Kei. Hingga kenangan pahit begitu Kei memberitahunya bahwa semua yang telah menimpanya adalah ulah dari sahabat-sahabat mereka sendiri – sahabat yang sudah bertahun-tahun tumbuh besar bersama bagai keluarga.
Tak seorangpun tahu bahwa dialah – Takaki Yuya – yang pertama kali menemukan Kei yang sudah tak lagi bernyawa. Membawa pergi handphone Kei untuk membalas dendam pada sahabat-sahabat yang telah dengan begitu keji membuat Kei terpaksa bunuh diri.

Senyuman terulas...
Hingga akhirnya pemuda itu dengan terpaksa memejamkan mata untuk selamanya...

Sayonara Takaki Yuya...

---------------------------

Betapa sekarang Daiki merasa bodohnya – membunuh orang yang tak bersalah. Seharusnya ia sadar, Yuya tak ada di ruangan itu saat Yuri dan yang lain tengah merencanakan rencana busuk mereka.
Ya...
Harusnya ia sadar...

================

Di sudut yang tak terlihat, pemuda itu tampak teramat sedih. Menyaksikan semua kejadian itu – kejadian yang begitu memilukan.

Cinta...
Semua telah buta karena cinta...
Mungkin termasuk dirinya juga.

Ryosuke berjalan perlahan ke arah Daiki yang telah bersimbah pilu. Pisau yang sebelumnya telah merenggut nyawa Yuya, kini telah terlepas dari genggaman Daiki – terlepas mengiringi penyesalan yang teramat sangat dari pemuda itu.

Tepukan dari seorang Yamada Ryosuke, mendarat ringan di bahu Daiki.
Ryosuke telah mendengar dan menyaksikan semuanya. Mendengar segala pengakuan cinta Daiki pada Inoo Kei dan juga cinta Takaki Yuya pada sosok yang sama.

================
CLOSING STORY
================

Satu malam telah terlewati sejak kejadian itu. Usaha pembersihan jalan dari longsoran salju oleh para petugas sudah hampir selesai.

Daiki melamun seorang diri di dapur...

Yabu Kota merenungi segala kesedihannya – ditinggal mati oleh ketujuh orang muridnya.
Mungkin dengan mengakhiri hidup, ia bisa lepas dari segala beban batin yang kini menghinggapi dirinya. Ya – ia sudah tak ada lagi tujuan hidup...

Sementara pemuda itu – Ryosuke...

Jemari itu menari lincah di atas tuts-tuts piano – piano Desta de Ryuu yang menjadi akar semua pembunuhan yang terjadi. Alunan melodi mengalun dengan begitu indahnya.
Tapi...

Star Time...

Ya... Lagu itulah yang mengalun indah dari ruang keluarga...

Daiki dan Yabu melangkahkan kakinya begitu buru-buru mencari sumber suara yang begitu merdu yang masih mengalun sampai sekarang. Keduanya berdiri beriringan. Memakukan pandangan mereka pada sosok pemuda yang dengan segala penghayatannya memainkan piano itu – memainkan melodi Star Time.

Tuan rumah dan pembantunya itu masih memakukan pandangan tak percaya mereka hingga melodi itu selesai dimainkan oleh si pemuda – Yamada Ryosuke.

“Bagaimana kau bisa memainkan melodi ini dengan begitu sempurna?!” Yabu Kota buru-buru menanyakan pertanyaan itu pada Ryosuke yang masih belum siap menerima pertanyaan dari orang yang datang dengan begitu tiba-tiba itu – Yabu Kota. Tentunya sang maestro begitu heran, tak ada naskah melodi di depan pemuda itu, tapi bagaimana ia bisa memainkan melodi barusan dengan begitu sempurna...

“Aku... Aku hanya memainkan melodi yang sering didengar oleh ibuku lewat piringan hitamnya saat ia tengah sedih,” Ryosuke menjawab gugup – tak seperti dirinya yang biasanya.

“Ibu?!”

“Ya... Ibuku. Lagu tadi mewakili perasaanku yang kali ini sedang teramat sedih,” pemuda itu mulai menundukkan kepala – menyembunyikan wajahnya yang tengah sedih – serasa ingin menangis.

Tiba-tiba, wajah antusias langsung terpampang jelas di wajah Yabu sensei. Semangat hidupnya terasa kembali lagi. “Kau begitu berbakat, nak...”

Ryosuke kembali mengangkat kepalanya – menatap tak percaya pada pria tua di hadapannya itu.

“Yamada... Yamada...” Daiki menggumam pelan – terkesan ia tengah mencoba mengingat-ingat sesuatu. Beberapa detik kemudian, pemuda itu juga memperlihatkan wajah antusiasnya. “Aku ingat... Kei dulu pernah cerita padaku bahwa ibunya telah pergi bersama pria lain bermarga Yamada. Jangan-jangan...”

Ryosuke dan Yabu sensei memandang Daiki dengan tatapan heran – tak mengerti.

Saturday, 26 November 2011

Fanfic Death Phone Call - Hey! Say! JUMP Part 03



DEATH PHONE CALL
PART 3

Cast : All of membe Jump
Rating : NC – 15
Words : 1.392

================

Inoo Kei bunuh diri...
Okamoto Keito mati mengenaskan...
Kini giliran Nakajima Yuto yang mati tanpa sebab bagai sebuah kutukan.

“Kenapa semua ini terjadi?” sosok pria yang sudah sangat berumur itu terlihat teramat sedih.
Bagaimana ia tak sedih... ia kehilangan ketiga muridnya dalam waktu sesingkat ini – murid-murid yang sudah ia didik sedari kecil.

Pria tua yang sudah berusia 60 tahun itu menangis. Ia – Yabu sensei – merasa semua ini karena kesalahannya.
Bagaimana tidak?!
Kejadian itu bermula 1 bulan lalu ketika dirinya mengumumkan akan pensiun pada ketujuh muridnya dan akan mewariskan piano kesayangannya – Desta de Ryuu – pada salah seorang diantara ketujuh orang tersebut.


Ya...
Sejak kejadian itulah kesialan menimpa murid-muridnya. Tapi, apakah memang layak pria tua itu disebut sebagai dalang di balik kengerian-kengerian yang terjadi ini. Kenapa semua itu harus menimpa muridnya... Ada apa sebenarnya?!

================

4 musisi yang biasanya selalu berwajah tenang itu kini diselimuti ketegangan luar biasa.

“Kutukan... Kutukan... Semua ini adalah kutukan dari Kei...,” Ryutaro masih berulang kali mengatakan hal itu. Mungkin sudah ratusan kali. Tapi, sepertinya ia tengah tak sadar akan kata-kata yang sedari tadi diucapkannya itu. Pemuda ini terlalu ngeri untuk menyadari apa yang tengah ia katakan. Absolutely... Terlalu ngeri...

“Ryutaro... tenangkan dirimu!” Yuri mencoba menghibur sahabatnya. Dan tentu saja apa yang ia lakukan barusan berhasil membuatnya memperoleh perhatian dari Ryutaro. Bagaimana tidak... Ryutaro sangat mencintai Yuri di dalam lubuk hatinya yang terdalam. Apapun yang dikatakan Yuri, pasti berhasil membuatnya segera mengalihkan pikirannya pada gadis yang teramat disukainya ini.

Telapak tangan Ryutaro yang begitu dingin, menggenggam erat jemari Yuri. “Bagaimana jika selanjutnya adalah giliranku, Yuri?” Ryutaro ketakutan. Wajahnya yang biasanya cerah, kini tampak kusut dengan begitu sempurna dibanjiri keringat dingin.

“Aku tahu kenapa semua ini terjadi pada kita,” Yuya bersuara. Kini semua mata mengarah lurus ke arahnya. “Inoo Kei adalah murid Yabu sensei yang keterampilannya sudah tak diragukan lagi. Sudah pasti ia yang akan mewarisi piano sensei. Tapi kesialan yang menimpanya yang akhirnya membuatnya harus bunuh diri... Ia pasti tak mengijinkan salah seorang di antara kita mewarisi piano itu. Ya... Ia pasti ingin agar kita semua mati dan tak ada satupun yang berhak mendapatkan Desta de Ryuu,” Yuya mengakhiri kalimatnya dengan wajah yang terlihat begitu sendu.

“Andai saja kita berempat datang lebih awal, kita pasti bisa mencegah Kei agar tidak bunuh diri...” penyesalan mendalam tampak dari eksistensi seorang Yaotome Hikari.

Ya... Mereka berempatlah yang menemukan Kei pertama kali.
Saat itu keempatnya – minus Yuto dan Keito – ingin menjenguk Kei yang baru saja keluar dari rumah sakit.

================

Malam mulai larut. Semua orang di rumah itu masih diselimuti kegelisahan. Kegelisahan yang teramat mengganggu tidur mereka. Tentu saja mereka tak bisa tidur dengan tenang mengingat kejadian-kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.

“Selamat tidur, sayang...” Ryosuke mengecup lembut kening Yuri dan iapun kembali membaringkan badannya di samping Yuri – mereka berdua tengah tidur seranjang. Pemuda itu tak mungkin membiarkan kekasih hatinya tidur sendirian, begitu juga dengan Yuri yang tak mungkin berani tidur seorang diri.

“Ryosuke... Mungkin sebaiknya malam ini aku tidur dengan Hikari saja,” nada suara Yuri terdengar bergetar.
Pemuda di sebelahnya terlihat cukup heran, “Kenapa sayang? Kamu tidak nyaman tidur denganku? Kita kan sudah tunangan,” Ryosuke mengajukan protes namun dengan nada suaranya yang begitu lembut.

“Tolong, malam ini saja, biarkan aku tidur dengan Hikari,” Yuri memohon... dan alhasil, tentu saja pemuda itu tak ada daya tuk menolak permintaan orang yang begitu dicintainya itu.
‘Apa kau takut denganku, Yuri? Bukannya kau yang memintaku untuk melakukan semua ini...,’ batin Ryosuke mengiringi Yuri yang berjalan perlahan meninggalkannya sendirian di kamar itu.
Pemuda itu tertegun sejenak. Melamunkan dosa besar yang sudah dilakukannya untuk menuruti kekasihnya itu – menuruti Yuri agar mau tunangan dan menikah dengannya. Entah dosa apa yang sudah diperbuatnya, kini ia baru merasakan penyesalan. Benar-benar dosa yang begitu besar...

================

Di malam yang begitu dingin...
“Kring... Kring...,” handphone berdering. Getarannya cukup tuk membuat orang di dekat hp itu segera meraih benda yang membangunkannya.
“Mosh...,” belum sempat ia menyapa si penelepon, gadis itu langsung terdiam. Terduduk sempurna di ranjangnya dengan perhatian yang 100% terpaku pada suara di ujung satunya.

Lagi...
Ya... Lagi-lagi melodi itu...

Star Time...

================

“Ohayo...,” Daiki menyapa Ryosuke yang terlihat sudah duduk-duduk di teras rumah di pagi yang begitu dingin ini.
“Ohayo, Dai-chan...,” pemuda itu tersenyum – sedetik sempat terlihat wajah Daiki yang memerah. “Kenapa dengan wajahmu itu, Dai-chan? Jangan bilang kalau kau itu homo... Hahaha,” Ryosuke tertawa lepas masih mengarahkan pandangannya pada Daiki.
“Iie ne...,” reflek, pembantu sekaligus sopir itu menyilangkan tangannya malu-malu. Pemuda yang menggodapun kembali tertawa, “Hahaha, aku cuma bercanda kok...” kalimat yang cukup membuat Daiki sedikit lega.

“Di luar begitu dingin, lebih baik kau masuk ke dalam biar tak sakit,” Daiki memberikan saran dengan malu-malu sedikit menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak sedang gatal sedikitpun. Pemuda yang dinasehatipun tersenyum, “Aku suka melihat butiran-butiran salju itu.” Sebuah kalimat yang sempat membuat Daiki tertegun – membuatnya teringat akan seseorang. Namun lamunannya tak berlangsung lama, bahkan kedua pemuda tu sempat tersentak kaget tak sampai sedetik begitu sebuah teriakan melengking tinggi dari dalam rumah.

================

Hikari dan Yuri...
Ryutaro menemukan mereka berdua sudah tak lagi bernyawa – mati dengan begitu mengenaskan di ranjang mereka.
Tempat tidur yang tadinya begitu putih bersih itu, kini telah berlumuran darah. Leher keduanya tersayat benda tajam dengan teramat dalam – alasan yang membuat mereka berdua sangat wajar jika langsung kehilangan nyawanya.

“Yuri... Yuri... TIDAAKKK...,” Ryosuke memeluk erat-erat jasad tunangannya itu. “Kenapa?! Kenapa semua ini terjadi begitu cepat?!” Ia masih saja tak percaya dengan pemandangan di depan matanya. Pantas... teramat pantas baginya tuk meluapkan segala kesedihan yang pastinya sangat menyesakkan dadanya – melihat sang kekasih hati mati begitu mengenaskan.

Kedua kakinya melangkah cepat setelah membaringkan Yuri yang pastinya membuat bajunya kini terlumur darah kekasihnya.
“Katakan, siapa yang melakukan semua ini!!” Ryosuke menarik kuat-kuat kerah Ryutaro. Mengepalkan telapak tangannya begitu kuat menahan segala emosi yang hampir diledakkannya.
Ryutaro terdorong keras menghantam tembok. Kerah bajunya masih sempurna berada di genggaman Ryosuke yang begitu kuat.

“Tenangkan dirimu... Jangan seperti ini!” Yuya mencoba melerai perkelahian yang mungkin akan terjadi karena ia tahu Ryutaro juga merasakan hal yang sama seperti yang pemuda berlabelkan Yamada Ryosuke itu rasakan. Alih-alih melerai, Yuya seketika mendapat tatapan tajam dari Ryosuke yang langsung membuatnya mundur beberapa langkah. Tatapan yang begitu menakutkan namun terasa begitu familier.

Fanfic Death Phone Call - Hey! Say! JUMP Part 02



DEATH PHONE CALL
PART 2

Cast : All of membe Jump
Rating : NC – 13
Words : 1.710

================

Kematian Keito menyisakan tanda tanya bagi semua pihak. Walaupun sudah dipastikan Keito mati dibunuh, namun tak ada sedikitpun bukti yang mengarah pada orang yang dapat dijadikan tersangka.

Keito ditemukan tewas di dalam rumah yang masih terkunci rapat. Tak ada sedikitpun tanda-tanda pengrusakan di rumah itu. Semua ini terasa tak mungkin. Tak mungkin...

================

4 orang itu duduk diam di sudut ruang tamu kediaman sensei mereka – Yabu sensei – sebuah kediaman mewah di atas pegunungan yang kali ini tengah tertutup oleh salju musim dingin. Wajah mereka terlihat sendu. Belum genap 1 bulan sahabat mereka – Inoo Kei – ditemukan mati bunuh diri, kini giliran Okamoto Keito yang tewas dibunuh dan parahnya tak ada sedikitpun petunjuk bahwa pembunuhan keji tersebut dilakukan oleh manusia.


“Kalian lihat nomer yang terakhir menelpon Keito waktu itu kan?!” nada Hikari terdengar bergetar, ngeri mengingat apa yang kemarin ditemukan oleh polisi – handphone yang tergeletak di samping ranjang Keito – yang kini dijadikan barang bukti oleh polisi yang sempat membuat mereka syok ketika polisi menanyakan soal telepon terakhir dengan nama Inoo Kei kepada mereka.

“Sejak kemarin malam, nomer itu juga menerorku dengan lantunan melodi Star Time – nomer kepunyaan Inoo Kei,” Yuto terlihat tegang. Kedua bola matanya membelalak lebar sementara kedua tangannya erat memegangi kepalanya. Ia begitu ngeri.

Menakutkan...

Yuya ikut bersuara, “Begitu juga denganku. Semalaman aku tak bisa tidur karena pikiranku dipenuhi ketakutan akibat teror phone yang sama. Sebenarnya ada apa ini...”

Belum sempat Yuya mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, kini perhatiannya teralih pada sahabatnya yang sedari tadi hanya diam meremas-remas telapak tangannya dengan wajah yang teramat diselimuti ketakutan.
“Kei... Inoo Kei... Entah kenapa, semua ini semakin membuktikan bahwa Kei ingin membunuh kita...,” Ryutaro bersuara masih dengan wajah yang sempurna dihinggapi ketakutan luar biasa.

“Mungkin ia ingin balas dendam pada orang-orang yang tlah menghancurkan hidupnya,” Yuya bersuara. Semua pasang mata mengarah tajam ke arahnya. “Aku juga sangat bersalah padanya...,” tambahnya melanjutkan perkataannya barusan.
Ketiga temannya terlihat semakin memandangnya lekat. “Memang salah apa yang kau perbuat padanya?” pertanyaan mengalir dengan nada penuh tanda tanya dari sosok seorang Nakajima Yuto. Semua terlihat menunggu jawaban dari Yuya, tapi pemuda berambut acak-acakan itu masih saja bungkam.

“Ngomong-ngomong, dimana Yuri?!” Hikari menggerakkan kepalanya perlahan menatap kesekeliling ruang karena daritadi belum dilihatnya sosok Yuri.
Yuya menanggapi, “Daritadi ia memang belum datang...”

Tiba-tiba keempatnya langsung memasang wajah tegang. Sepertinya mereka berempat memikirkan hal yang sama. Ya...
Mereka tengah memikirkan hal yang sama.
Ketakutan andai Yuri juga menerima teror telpon yang sama dan ialah yang akan menjadi korban berikutnya.

“Ohayou...,” suara Yuri yang baru saja membuka pintu depan membuat keempat sahabat itu sedikit lega.
“Wah, aku yang terakhir ya?!” Yuri kembali bicara sambil melangkahkan kakinya menuju 4 sahabatnya itu. Ryutaro hampir saja berlari dan memeluk Yuri karena senangnya melihat sahabatnya itu. Namun, niatannya itu urung ia lakukan begitu mengetahui Yuri tak datang sendiri. Ia datang bersama seorang pemuda yang terlihat masih sangat muda – mungkin lebih muda dari Yuri.

“Minna, kenalkan, dia tunanganku. Maaf memberitahu kalian begitu tiba-tiba di suasana duka ini,” Yuri memperkenalkan pemuda yang kini sudah berdiri di sampingnya itu pada keempat sahabatnya.
“Yamada Ryosuke desu, yoroshiku onegashimasu,” pemuda itu membungkuk 80 derajat disusul senyuman manis yang tersungging di wajah kakoinya.

Satu per satu, 4 orang yang tengah duduk di sofa itu memperkenalkan diri mereka pada Yamada Ryosuke – tunangan Chinen Yuri.

================

“Apakah kau menerima teror phone dari Kei, Yuri?” buru-buru Hikari bertanya sesaat setelah dua pasang manusia yang baru saja datang itu merebahkan badan mereka di sofa.
Yuri memandang Hikari tuk sesaat. Perlahan namun pasti, gadis bertubuh mungil itupun menganggukkan kepalanya dengan raut wajah lemas tak seperti ketika ia datang barusan.

“Karena itu aku mengajak tunanganku kemari. Aku begitu takut,” ia tak bisa membohongi raut ketakutan yang ada di wajahnya. Namun perasaan tak enaknya itu hilang seketika ketika sepasang tangan hangat menggenggam telapak tangannya dengan begitu erat. “Aku akan selalu melindungimu, Yuri...,” Ryosuke dengan wajah yakinnya, berusaha menenangkan tunangannya itu.

“By the way, sejak kapan kalian tunangan?” Ryutaro sedikit heran. Pemuda itu berpikir, tak mungkin sahabatnya itu tak mengundang dirinya di hari pertunangan mereka. Namun, yang didapatinya hanya senyuman Yuri yang tersungging dengan cepatnya – merespon pertanyaan Ryutaro.
“Kami baru saja bertunangan kemarin, tapi hanya dihadiri kerabat dekat saja,” Ryosuke mencoba tuk memberikan jawaban atas pertanyaan Ryutaro barusan.

================

Keenam orang itu masih mencoba duduk santai sambil ngobrol saat menunggu keluarnya Yabu sensei. Tapi masih terlihat jelas wajah kegelisahan di antara kelima murid Yabu sensei yang tersisa itu. Satu per satu sahabat mereka mati. Apakah mereka juga akan bernasib sama?! ...

Tap tap tap...
Suara orang yang berlari dengan buru-buru membuat keenam orang itu menghentikan obrolan mereka. Perhatian mereka kini tertuju pada orang itu.
“Daiki, kenapa kau buru-buru seperti itu?” Hikari mengajukan protes.
Daiki – si sopir sekaligus pembantu rumah tangga di kediaman itu – yang masih terlihat terengah-engah segera memberikan alasan kenapa ia begitu terburu-buru.
“Jalan... Jalan... Jalannya telah tertutup oleh longsoran salju. Tadi saya ingin ke kota membeli kebutuhan dapur tapi ternyata jalannya sudah tertutup. Tidak bisa dilalui...” itulah penjelasan yang keluar dari mulut babu yang berlabelkan Arioka Daiki.

“Coba hubungi seseorang!” kata Yuya memerintahkan. Kini semua orang di ruangan itu – minus Daiki – segera mengeluarkan handphone mereka untuk mencoba mencari bantuan. Tapi semuanya mendapatkan jawaban yang sama. Beberapa ruas jalan ke gunung ini terputus akibat longsoran salju. Di cuaca yang begitu dingin di luar sana, butuh waktu setidaknya 1 minggu untuk kembali menfungsikan jalanan.

“Apakah kita terkurung di sini?!” Yuto terlihat ketakutan. Begitu juga dengan mimik wajah Hikari yang tak kalah gelisahnya.
“Bukannya saat kita berangkat ke sini tadi jalanan masih baik-baik saja?” Ryutaro bersuara. “Jangan-jangan semua ini memang ulah arwah Kei...”

================

Di ruangan yang sama setelah kedatangan Yabu sensei.

Daiki sambil menekuk kedua lututnya, menghidangkan minuman hangat dan beberapa kue ke atas meja untuk tuannya dan juga tamu-tamu yang datang.

“Kalian pasti sudah tau kenapa aku mengundang kalian ke sini,” sensei mulai bersuara dan kelima murid plus pemuda berlabelkan Yamada Ryosuke kini memperhatikannya dengan begitu serius.

“Maaf, sepertinya sebaiknya aku tidak turut mendengarkan pembicaraan kalian,” Ryosuke membungkuk sejenak dan detik selanjutnya ia melangkahkan kakinya menjauh dari pembicaraan antara guru dan murid itu. Ryutaro merespon cepat dengan suara lirih, “sukurlah jika kau sadar kalau kau tak pantas duduk di sini.”
Tak ada seorangpun yang mendengar ucapan Ryutaro barusan. Sejujurnya, pemuda itu teramat iri pada Ryosuke.
Iri...
Tapi buat apa ia iri pada orang yang baru saja dikenalnya??
Semua tahu jika Ryutaro menaruh hati pada Yuri. Tapi kenapa Yuri dengan begitu tiba-tiba mengumumkan bahwa dirinya sudah tunangan bahkan membawa serta tunangannya kemari? Pastilah itu begitu menyakitkan bagi Ryutaro.

================

Pemuda itu berdiri di teras rumah memandang butiran-butiran salju yang masih saja turun dengan cepatnya bagaikan rintik hujan yang mulai deras.

Fanfic Death Phone Call - Hey! Say! JUMP Part 01



DEATH PHONE CALL
PART 1

Cast : All of membe Jump
Rating : NC – 13
Words : 1.398

================

“Kei... Kei... Kau di mana?” pemuda itu terlihat panik menyusuri setiap ruang di rumah yang beberapa hari ini teramat sepi tak seperti biasa.

Kakinya masih terus melangkah dengan tergesa-gesa. Kedua bola matanya secara beriringan bergerak cepat menyisir setiap sudut yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan kepunyaannya.

“Kei...,”
Sekali lagi ia memanggil tapi tetap tak ada jawaban dari si empunya nama.

Pemuda itu mulai frustasi. Ia menangis.
“Kei... Kau di mana?” suara lirih hampir tak terdengar, keluar dari bibir pemuda yang mulai menyerah atas tindakannya barusan.

Disela keputusasaannya, ia menangkap genangan cairan anyir berwarna merah pekat mengalir perlahan dari arah pintu kamar mandi. Buru-buru ia segera berlari ke tempat yang tak jauh dari keberadaannya itu.

Pikirannya berkecambuk. Ketakutan luar biasa menelusup tiba-tiba menggetarkan dadanya dengan begitu kuat. Ia takut... berharap apa yang akan dilihatnya di balik pintu itu tak kan sesuai dengan apa yang ada di pikirannya.

“Keeii...,” hanya teriakan tertahan itulah yang keluar dari mulut si pemuda sesaat setelah dibukanya pintu kamar mandi tadi.

Ia ternganga...
Kekagetan luar biasa itu telah mengalahkan logikanya. Menatap tubuh gadis yang amat dicintainya – Kei – dengan kedua bola matanya yang tak lagi bisa menangkap cahaya karena kekosongan pandangannya itu.

Really...
Really,
DEEPEST SHOCK

================

“Aku tak menyangka ia akan melakukan ini,” Chinen Yuri mulai bersuara. Gadis dengan tinggi 159 cm itu terlihat sedih setelah menghadiri pemakaman sahabatnya – Inoo Kei – beberapa saat lalu.
Gadis lain berlabel Yaotome Hikari yang duduk di samping Yuri dengan segera menyambung kalimat Yuri tadi, “Un, bagaimana mungkin Kei memutuskan tuk bunuh diri. Aku benar-benar tidak habis pikir.”

“Karirnya telah tamat...,” salah satu pemuda yang duduk di ruangan itu turut larut dalam pembicaraan.

“Kau benar, Yuya!” Nakajima Yuto turut menanggapi. Begitu juga dengan Morimoto Ryutaro dan Okamoto Keito yang keduanya hanya bisa tersenyum simpul yang diikuti oleh lamunan keenam orang itu mengingat sosok Inoo Kei...

================

[Flashback 1]

Lantunan suara piano mengalir merdu di atas panggung. Gadis berparas cantik dengan jemari yang menari lincah di atas tuts-tuts piano itu mengundang decak kagum dari seluruh penonton di hall nan luas tempat diadakannya pertunjukan musik kali ini.

“Plok plok plok plok...,” tepuk tangan membahana dari ribuan penonton menyiratkan kepuasan mereka mengiringi si gadis yang melangkah perlahan ke belakang panggung seusai menyelesaikan permainan pianonya.

Beberapa detik kemudian di belakang panggung, gadis itu menerima ucapan selamat dari semua rekannya sesama musisi dan sealiran.

“Penampilanmu tadi luar biasa Kei. Melodi Star Time yang kau mainkan benar-benar sempurna. Sensei pasti senang kau berhasil memainkan melodi ciptaannya dengan begitu indah,” Nakajima Yuto segera menjabat tangan Inoo Kei. Satu per satu, Yaotome Hikari, Okamoto Keito, Takaki Yuya, Chinen Yuri dan Morimoto Ryutaro juga melakukan hal yang sama.

[Flashback 1 End]

================

[Flashback 2]

Di hall yang sama, 2 bulan kemudian. Pertunjukan musik terbesar sepanjang sejarah akan diadakan siang ini.

“Akhirnya Yabu Kota sensei akan menunjukkan kehebatannya. Yah, biarpun pertunjukan ini adalah sebagai bentuk perpisahan sang maestro. Kita bertujuh beruntung bisa menjadi murid Yabu sensei,” Ryutaro dan yang lain terlihat antusias menunggu kedatangan guru mereka.

Yabu Kota adalah musisi luar biasa yang memainkan piano buatannya sendiri. Piano itu hanya ada satu-satunya di dunia – Desta de Ryuu. Karena usia sang maestro yang telah menginjak 60 tahun, pertunjukan kali ini merupakan pertunjukan terakhirnya sebelum ia melepas karirnya dengan menyerahkan semua pada ketujuh muridnya.

================

“Sudah jam segini kenapa Kei belum datang juga? Padahal pertunjukan sensei akan dimulai 1 jam lagi,” Yuri berulang kali melihat jam tangannya.

“Kring... Kring...,” ringtone bunyi pertanda telepon masuk berdering dari salah satu handphone kepunyaan salah seorang di antara keenam orang di ruang itu.

Keito segera mengambil handphone di saku celananya dan dengan gerakan cepat menempelkan ujung handphone itu ke telinganya setelah melihat nama Yabu sensei terpampang di layar hp kepunyaannya.

“Moshi-moshi, sensei!!” Keito mulai bersuara dan kini semua mata tertuju padanya ketika ia menyebut kata sensei. Pemuda kekar itu dengan serius mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh orang diujung hp satunya – Yabu sensei.

Pemuda itu tak bersuara. Tetap tak bersuara walaupun phone tersebut sudah terputus.

“Keito, doushite?” Yuto mencoba menyadarkannya.

Keito menoleh perlahan. Memandang dengan tatapan kosong setiap orang di ruangan itu.
Iapun akhirnya bersuara. “Kei... Kei... Inoo Kei... Ia masuk rumah sakit. Kondisinya kritis,” itulah kalimat yang keluar secara terputus-putus dari mulut si pemuda.

================

Inoo Kei mengalami kesialan ketika dalam perjalanan menuju hall tempat pertunjukan. Di cuaca yang begitu dingin karena badai yang tengah melanda, mobilnya kehabisan bensin di tempat yang teramat sepi.
Gadis itu begitu ingin menyaksikan pertunjukan terakhir senseinya hingga rela nekad berjalan kaki di bawah badai salju lebat. Alih-alih bisa menyaksikan pertunjukan itu, gadis manis itupun pingsan hingga hampir membeku secara total membuatnya nyaris kehilangan nyawanya andai mobil Yabu sensei tak melintas di daerah sepi itu.

Followers