DEATH PHONE CALL
PART 4 (ENDING)
Cast : All of membe Jump
Rating : NC – 13
Words : 1.832 [part terpanjang]
================
Pemuda itu masih
saja duduk seorang diri di teras rumah – menangis terisak-isak mengingat
kembali wajah tunangannya yang meninggal dua hari yang lalu dengan begitu
mengenaskan.
‘Yuri... Apakah ini
yang namanya karma?! Andai saja malam itu kau tidur denganku, aku pasti bisa
melindungimu. Tapi... Tapi siapa yang begitu brengsek melakukan semua itu
padamu?! Yuri... Beritahu aku siapa yang tlah melakukan ini!’
Ia semakin terisak.
Dadanya begitu sesak saat dicobanya tuk tak mempercayai kenyataan yang membuat
mimpinya kandas tuk menikahi Yuri. Kandas sudah... semua pengorbanan yang ia
lakukan terasa sia-sia kini. Pengorbanan yang harus dibayar dengan kematian
kekasihnya.
Karma...
================
Di ruang keluarga,
dua manusia yang beda generasi itu terlihat tak dapat menyembunyikan raut
kesedihannya.
“Yuya, hanya kau
muridku yang tersisa. Aku tak tahu kenapa semua ini bisa menimpa kalian. Aku...
Aku...,” pria tua yang sudah rapuh itu menitihkan air mata.
“Yabu sensei...”
Maestro tua tadi
menggerakkan tangannya perlahan – menunjuk satu sudut yang dapat ditangkap oleh
indera penglihatan mereka berdua.
“Desta de Ryuu...
piano itu sekarang aku wariskan padamu, Yuya...,” ia kembali menangis. Dengan
terbata, pria tua itu masih mencoba tuk bicara. “Aku mengumpulkan kalian di
sini karena aku ingin mewariskan piano itu pada salah seorang diantara kalian.
Tapi... aku benar-benar tak menyangka semua akan jadi seperti ini...,” ledakan
tangispun melantun tak beraturan dari keduanya.
“Sensei... Aku tak
menginginkan piano itu. Sungguh... Demi apapun, aku tak pantas untuk
mendapatkannya...” Yuyapun terisak menemani kesedihan yang tengah menghinggapi
senseinya. Demi apapun... Dari awal, pemuda itu memang tak menginginkan Desta
de Ryuu.
Ia tak
menginginkannya...
---------------------------
Sosok lain melangkahkan kakinya dengan begitu
cepat. Memasang sempurna segala bentuk kemarahan yang menyeruak dari lubuk
hatinya – terpampang jelas di wajahnya yang kali ini tak sedikitpun
menyunggingkan senyuman.
“Kau memang tak pantas mewarisi piano itu!!”
JLEBB...
Sebuah pisau dapur yang begitu besar,
menancap dalam dengan begitu sempurna pada pemuda yang menjadi sasaran.
Darah menyembur deras...
Perut bagian kirinya robek teramat luas –
luka tusuk yang begitu ngeri.
Yabu begitu kaget. Seluruh sarafnya meregang
dengan begitu cepat. Sebuah kejadian yang masih belum bisa ia tangkap dengan
akal sehatnya – ia masih belum percaya atas kejadian barusan.
“Daiki...”
‘Selesai sudah...’
================
Yuya menatap lekat ke arah Daiki. Menatap
sayu ke arah pemuda itu dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.
“Kei... Inoo Kei... Ia bisa tenang sekarang,”
Daiki menangis. Tangannya masih sempurna terlumur darah melengkapi pisau besar
di genggamannya yang juga telah bermandikan cairan merah kental itu.
“Aku... Aku... Kei... Daisuki. Hontou ni
daisuki desu...,” pemuda berpangkat pembantu itu semakin menangis menjadi-jadi.
Dengan begitu tiba-tiba, Daiki meluapkan
segala kemarahannya. Air mata yang menyatu dengan keringat serta segala bentuk
kekusutan wajahnya melengkapi emosinya yang entah kenapa sudah tak lagi bisa
ditahan. “Kalian!! Kalian yang telah membunuhnya!! Aku mendengar pembicaraan
kalian waktu itu!!”
[Flashback]
Di salah satu ruangan kediaman Yabu sensei – ruangan yang
tertutup rapat...
“Jadi kita akan memberinya pelajaran?!”
Hikari berkomentar dan tentunya tanggapan atas pertanyaannya itupun segera
didapatnya.
“Kalian pasti sudah tahu kan bahwa sensei
pastinya akan mewariskan piano kesayangannya itu pada Kei. Apa kalian akan
membiarkannya begitu saja?” Yuri menyeringai.
“Jadi apa rencana kita?!” kini giliran
Ryutaro yang mengajukan pertanyaan. Sekali lagi, Yuripun memberikan penjelasan
disertai seringai khasnya yang sebenarnya terlihat sedikit menakutkan.
“Keberhasilan Kei saat pertunjukan sebulan lalu pasti membuat sensei semakin
memantapkan hatinya tuk mewariskan Desta de Ryuu ke Kei. Lusa, sensei akan
mengadakan pertunjukan untuk perpisahannya. Saat itulah kita akan memberi gadis
itu pelajaran...”
“Apa maksudmu?!” Keito mengajukan protes
karena ia masih belum paham maksud Yuri.
“Aku akan meminjam mobilnya dan merusak jarum
penunjuk bahan bakarnya sehingga ia tak tahu kalau bensinnya akan kuhabiskan
agar ia tak bisa mencapai tempat pertunjukan. Dicuaca sedingin sekarang ini, kalian
yakinkan dia tuk tak memakai jaket maupun sarung tangan... Hanya itu yang cukup
kita lakukan,” gadis mungil itu kembali menyeringai.
“Ia gadis yang polos, jadi ia pasti akan
mempercayai kita. Setidaknya, itu akan memberinya pelajaran.”
“Tapi bagaimana jika ia mati kedinginan?!”
sekali lagi Keito protes. Kali ini disusul anggukan kepala Yuto yang sedari
tadi diam mendengarkan ide Yuri.
“Bukannya itu yang kita mau?!” bagai senyuman
seorang iblis, gadis itu kembali menjawab enteng.
[Flashback End]
================
Tubuh Daiki bergetar hebat. Ia masih terisak
– membendung segala emosi dan kemarahannya setiap mengingat kembali sosok gadis
yang diam-diam disukainya itu – Inoo Kei. “Sejak awal, aku begitu menyukai Kei.
Aku begitu menikmati saat-saat ketika melihatnya tersenyum. Menikmati saat-saat
ketika ia begitu bahagia melihat turunnya salju... Menikmati saat menemaninya
menyaksikan salju yang turun – berdua.”
Yabu – si tuan rumah – masih menatap tak
percaya ke arah Daiki.
Tak sekalipun ia menduga, Daiki memiliki
perasaan demikian pada murid kesayangannya yang tlah mati – Kei.
“Tapi... Tapi... Kalian begitu bangsatnya
menginginkan gadis sebaik Kei untuk mati. Kalian semua BANGSAT!!” ia kembali
meledakkan amarahnya.
“Andai saja waktu itu aku datang lebih
cepat...,” Daiki menundukkan kepala – berulang kali mengusap aliran deras air
matanya.
Perlahan, sosok yang menjadi korban penusukan
itu menggerakkan tubuhnya. Biarpun ia merasa begitu berat melakukan itu, tapi
ia tetap memaksa tubuhnya tuk kembali terduduk. Ia yakin, segala usahanya tak
akan sia-sia.
-----------------------------
“Arigatou Daiki...,” kata itulah yang
terlontar dari kedua sisi bibir pemuda yang tengah sekarat itu – dua kata yang
berhasil membuat Daiki kembali mengangkat wajahnya, memberikan seluruh
perhatiannya pada Yuya – sedikit menunjukkan tanda tanya atas kata-kata Yuya
barusan.
Yuya kembali bersuara. “Kau mencintai Kei
seperti layaknya aku mencintainya. Bahkan ia tlah menerima pinanganku tuk menikahinya
setelah pertunjukan akhir Yabu sensei...”
Daiki tertegun kaget...
“Akulah yang telah membunuh Keito, Hikari,
dan Yuri... dan pastinya... dan pastinya kaulah yang telah membantuku
mengakhiri semua ini – membunuh Yuto dan Ryutaro...”
Daiki syok mendengar pengakuan Yuya.
Ya...
Benar-benar syok...
“KAU BOHONG!!”
Yuya menggerakkan lengannya perlahan. Menahan
segala sakit yang kini telah menyeruak di sekujur tubuhnya.
Tangannya terulur...
Memegang sebuh benda di tangannya –
mengarahkannya ke Daiki. Sebuah benda yang begitu familier bagi Daiki –
handphone kepunyaan Inoo Kei.
“Tidak mungkin... Tidak mungkin...,” Daiki
masih mencoba tuk tidak mempercayai kenyataan yang terpampang jelas di depan
matanya itu – mengulurkan tangannya masih dengan perasaan tak percaya untuk
meraih benda di telapak tangan Yuya.
Yuya tersenyum. Entah ia harus merasa sedih
atau senang di ambang kematiannya ini, tapi ia benar-benar merasa begitu lega
sekarang. Sebentar lagi ia akan menemui kekasihnya di dunia lain sana. Kembali
bersatu dengan jantung hatinya – Inoo Kei.
Ia masih tersenyum. Mengingat semua kenangan
indahnya bersama Kei. Hingga kenangan pahit begitu Kei memberitahunya bahwa
semua yang telah menimpanya adalah ulah dari sahabat-sahabat mereka sendiri –
sahabat yang sudah bertahun-tahun tumbuh besar bersama bagai keluarga.
Tak seorangpun tahu bahwa dialah – Takaki
Yuya – yang pertama kali menemukan Kei yang sudah tak lagi bernyawa. Membawa
pergi handphone Kei untuk membalas dendam pada sahabat-sahabat yang telah
dengan begitu keji membuat Kei terpaksa bunuh diri.
Senyuman terulas...
Hingga akhirnya pemuda itu dengan terpaksa
memejamkan mata untuk selamanya...
Sayonara Takaki Yuya...
---------------------------
Betapa sekarang Daiki merasa bodohnya – membunuh
orang yang tak bersalah. Seharusnya ia sadar, Yuya tak ada di ruangan itu saat
Yuri dan yang lain tengah merencanakan rencana busuk mereka.
Ya...
Harusnya ia sadar...
================
Di sudut yang tak terlihat, pemuda itu tampak
teramat sedih. Menyaksikan semua kejadian itu – kejadian yang begitu memilukan.
Cinta...
Semua telah buta karena cinta...
Mungkin termasuk dirinya juga.
Ryosuke berjalan perlahan ke arah Daiki yang
telah bersimbah pilu. Pisau yang sebelumnya telah merenggut nyawa Yuya, kini
telah terlepas dari genggaman Daiki – terlepas mengiringi penyesalan yang
teramat sangat dari pemuda itu.
Tepukan dari seorang Yamada Ryosuke, mendarat
ringan di bahu Daiki.
Ryosuke telah mendengar dan menyaksikan
semuanya. Mendengar segala pengakuan cinta Daiki pada Inoo Kei dan juga cinta
Takaki Yuya pada sosok yang sama.
================
CLOSING STORY
================
Satu malam telah terlewati sejak kejadian
itu. Usaha pembersihan jalan dari longsoran salju oleh para petugas sudah
hampir selesai.
Daiki melamun seorang diri di dapur...
Yabu Kota merenungi segala kesedihannya –
ditinggal mati oleh ketujuh orang muridnya.
Mungkin dengan mengakhiri hidup, ia bisa
lepas dari segala beban batin yang kini menghinggapi dirinya. Ya – ia sudah tak
ada lagi tujuan hidup...
Sementara pemuda itu – Ryosuke...
Jemari itu menari lincah di atas tuts-tuts
piano – piano Desta de Ryuu yang menjadi akar semua pembunuhan yang terjadi.
Alunan melodi mengalun dengan begitu indahnya.
Tapi...
Star Time...
Ya... Lagu itulah yang mengalun indah dari
ruang keluarga...
Daiki dan Yabu melangkahkan kakinya begitu
buru-buru mencari sumber suara yang begitu merdu yang masih mengalun sampai
sekarang. Keduanya berdiri beriringan. Memakukan pandangan mereka pada sosok
pemuda yang dengan segala penghayatannya memainkan piano itu – memainkan melodi
Star Time.
Tuan rumah dan pembantunya itu masih
memakukan pandangan tak percaya mereka hingga melodi itu selesai dimainkan oleh
si pemuda – Yamada Ryosuke.
“Bagaimana kau bisa memainkan melodi ini
dengan begitu sempurna?!” Yabu Kota buru-buru menanyakan pertanyaan itu pada
Ryosuke yang masih belum siap menerima pertanyaan dari orang yang datang dengan
begitu tiba-tiba itu – Yabu Kota. Tentunya sang maestro begitu heran, tak ada
naskah melodi di depan pemuda itu, tapi bagaimana ia bisa memainkan melodi
barusan dengan begitu sempurna...
“Aku... Aku hanya memainkan melodi yang
sering didengar oleh ibuku lewat piringan hitamnya saat ia tengah sedih,”
Ryosuke menjawab gugup – tak seperti dirinya yang biasanya.
“Ibu?!”
“Ya... Ibuku. Lagu tadi mewakili perasaanku
yang kali ini sedang teramat sedih,” pemuda itu mulai menundukkan kepala –
menyembunyikan wajahnya yang tengah sedih – serasa ingin menangis.
Tiba-tiba, wajah antusias langsung terpampang
jelas di wajah Yabu sensei. Semangat hidupnya terasa kembali lagi. “Kau begitu
berbakat, nak...”
Ryosuke kembali mengangkat kepalanya –
menatap tak percaya pada pria tua di hadapannya itu.
“Yamada... Yamada...” Daiki menggumam pelan –
terkesan ia tengah mencoba mengingat-ingat sesuatu. Beberapa detik kemudian,
pemuda itu juga memperlihatkan wajah antusiasnya. “Aku ingat... Kei dulu pernah
cerita padaku bahwa ibunya telah pergi bersama pria lain bermarga Yamada.
Jangan-jangan...”
Ryosuke dan Yabu sensei memandang Daiki
dengan tatapan heran – tak mengerti.