Monday, 15 July 2013

[Fanfic - Hey! Say! JUMP] SILENCE Chap. 11 : Rumah Cemara

Title : SILENCE
Author : Rin Fujiyama
Genre : Romance, Family, Angst
Rating : General

Chapter 11

Douzou…

==============
==============

Chapter sebelumnya :


“Aku adalah Ryosuke Yamada. Dan jangan sekali-kali menggunakan kata “mungkin” saat berbicara bisnis denganku…” terang pemuda itu membuat tangan si sopir gemetaran…

Di waktu yang sama…
Tak jauh dari lokasi itu…

Anak laki-laki polos ini masih menggandeng tangan Aina – mengajak gadis itu untuk ke rumahnya…

Jadi, apakah yang akan terjadi selanjutnya?!

Who knows…


**********************
Chapter 11 = Rumah Cemara

**********************

“Kita kembali ke perusahaan sekarang,” sekali lagi Ryosuke memberikan komando – pemuda ini tak pernah tau, entah memang takdir atau apa, gadis itu – Aina – ternyata memang tengah berada di Fukuoka juga.

Bahkan…
Gadis ini sempat berada 2 meter tepat di belakang mobilnya tadi – sebelum mobil itu melaju sesuai komando si direktur muda itu.

Dan sekali lagi…
Tak sempat saling melihat…
Selalu waktu yang menjadi pemberi jarak – antara keduanya.

==============

“Kak, ini dia tempat tinggalku…,” anak laki-laki dua belas tahun ini masih menggandeng tangan Aina dengan riang. Diikuti Daiki yang berjalan di belakang mereka – tersenyum senang melihat Aina yang sedari tadi terlihat begitu menikmati suasana ini – mendengar setiap kata-kata yang mengalun polos dari si anak lelaki itu.

“Ayo masuk…”

Dan pada akhirnya, Daiki dan Ainapun memutuskan untuk memenuhi permintaan anak ini untuk melihat-lihat tempat itu – sekalian sembari mengisi waktu luang mereka sebelum kembali lagi mengantri besok untuk berobat.

“Kenapa tempat ini begitu sepi?” Daiki mengajukan pertanyaan setelah sedari tadi tak dijumpainya satupun orang di sana.

Pria kecil itupun segera menjawab pertanyaan Daiki barusan – masih dengan membereskan kaleng-kaleng yang tadi sudah dikumpulkannya. “Semuanya sudah pindah. Dulu ada banyak orang yang tinggal di sini, tapi sekarang hanya tinggal kami berenam.”

“Kalian boleh melihat-lihat dulu. Aku akan kenalkan kakakku pada kalian…” lanjut bocah itu. “Tunggu sebentar ya…”
Dan si bocahpun segera berlari menaiki tangga – hendak mencari kakaknya untuk dikenalkan pada dua kenalan barunya itu.

==============

“Pprriiittt…”
Suara peluit terdengar.

Aina membunyikannya untuk memanggil Daiki. Dan orang yang dipanggilkan tentu saja segera datang menjawab panggilan si gadis tersayang. “Apa apa?” tanya Daiki.

Ternyata gadis itu tengah menunjukkan pakaian-pakaian yang dipajang di depan salah satu pintu bangunan ini.

“Sepertinya ini tempat membuat pakaian…” komentar Daiki sembari melihat-lihat pakaian di hadapannya.

==============

“Hei, apa yang kalian lakukan?”
Seorang pria baya tiba-tiba mendatangi mereka – mendatangi Daiki dan Aina dengan raut wajah yang terlihat tak senang.

Tanpa mau mendengarkan penjelasan apapun, pria baya itu dengan cekatan mengambil sapu – hendak mengusir dua manusia beda gender yang masih berdiri di depan pintu rumahnya.

“Pergi dari sini… Kami sudah bilang, sampai kapanpun kami tidak akan mau pindah,” pria itu berteriak sambil mengayunkan sapunya – siap untuk benar-benar memukul andai keduanya tak segera pergi.

Sepertinya tengah ada kesalahpahaman di sini…

Tak mau digebukin oleh pria yang belum mereka kenal itu, Daiki dan Ainapun terpaksa berlari pergi – benar-benar tak paham kenapa pria tadi bertindak sebegitunya terhadap mereka.

Dan finally…
Dua eksistensi itu telah benar-benar berlari – keluar dari bangunan bertitlekan “Rumah Cemara” ini.

==============
==============

“Ohno-san…”

“Ohno-san…”

“Kau lihat kakakku?”

Anak laki-laki ini segera bertanya pada pria baya itu karena sedari tadi tak menemukan kakak perempuannya.

“Aku sudah bilang padanya agar tak pergi kemanapun, tapi ia tak mendengarkannya…” anak itu semakin panik.

“Ryutaro, tenanglah dulu. Kita cari dia nanti bersama-sama. Ok?!” pria dengan sapu di tangannya yang tak lain bernama Ohno itupun berusaha menenangkan anak laki-laki yang dipanggilnya Ryutaro tadi.

“Tidak!! Aku harus menemukannya sekarang. Aku takut ada orang jahat yang akan melukainya…”
Dan si anak bernama Ryutaro itupun segera berlari mencari keberadaan kakak satu-satunya itu.
“Ohno-san… tolong jaga dua temanku itu dulu ya…” teriak Ryutaro sebelum akhirnya kaki-kaki kecilnya telah sempurna meninggalkan Rumah Cemara.

“Eh??” Ohnopun bingung…
“Dua teman yang mana maksudnya??” ia menoleh ke kanan dan ke kiri tapi tak melihat siapapun di tempat itu.

==============
==============

Di tempat lain…
Di ruangan mewah nan bersih…

“Sudah 38 jam berlalu, tapi kenapa penghuni di tiga rumah itu masih saja belum pindah?” direktur muda ini terlihat tengah memimpin rapat dengan raut wajah serius khasnya – membuat semua kepala bagian yang ada di ruangan itu tetap tegap memperhatikan.

Tak habis pikir…
Bagaimana bisa direktur muda ini langsung memimpin rapat besar seperti itu setelah tadi pagi juga telah melakukan rapat di hari pertamanya tiba di Fukuoka. Apalagi… ia tak ingin membuang-buang waktu sedikitpun dan langsung membahas pada pokok permasalahan.
Benar-benar pemuda kaya yang tak ingin sedikitpun menyia-nyiakan waktu…

“Jadi kapan kita bisa memulai perobohan tempat itu?” pertanyaan itupun terlontar ringan dari dua sisi bibir seorang Yamada Ryosuke.

Orang-orang di ruangan itupun hanya bisa saling pandang…
Tak ada satupun yang berani menjawab.

Tapi…
Berbeda halnya dengan satu orang ini…
Honda Sakura – si sekretaris pribadi Ryosuke di Fukuoka.
Hanya gadis ini yang menjadi satu-satunya orang di ruangan itu yang berani mengangkat sebelah tangannya dan menjawab pertanyaan dari direkturnya barusan.

“Hari Minggu ini kita sudah bisa merobohkan tempat itu, pak…,” kata gadis itu dengan tenangnya.
Ada satu kemiripan tatapan mata dinginnya dengan tatapan dingin si direktur muda – sebuah tatapan yang terkesan penuh dengan sebuah ambisi besar.

“Baiklah. Perobohan bisa kita mulai hari Minggu ini…”
Respon Ryosuke sebelum pergi meninggalkan ruangan itu.

==============
==============

Haripun telah gelap kini…
Tengah ada perselisihan di Rumah Cemara – perselisihan antara suami isteri yang menempati satu dari tiga rumah yang masih berpenghuni yang ada di sana.

Dan ternyata, si suami itu adalah salah seorang petugas di tempat dokter yang tadi pagi didatangi oleh Daiki dan Aina.

“Kento… Kita sudah menemukan rumah baru dan sudah bisa pergi sekarang. Yang jelas aku sudah tidak mau tinggal di tempat yang sudah hampir dirobohkan ini.” Si istripun memprotes keputusan suaminya yang tak pernah mau diajaknya untuk pindah.

“Tapi bagaimana dengan Ryutaro dan Yuki jika kita pindah nanti? Tak ada yang merawat mereka nanti…”

“Hei, Nakajima Kento!! Aku ini istrimu. Dan dua anak itu tidak ada hubungan apapun dengan kita! Jadi buat apa kau memikirkan mereka?!” kali ini si nyonya Nakajima ini berteriak sembari menggebrak pintunya keras – membuat Ohno yang tinggal tepat di samping mereka hanya mampu menggeleng pasrah…

==============

“Mereka bertengkar lagi, paman?” tanya Shori pada pria baya bernama Ohno tadi yang tak lain adalah pamannya – keduanya tinggal serumah.

Shori yang baru saja pulang sehabis mencari Ryutaro dan Yuki itupun kini hanya bisa tertunduk lemas. Ia belum mampu menemukan kedua anak itu, padahal hari telah semalam ini…

Ditambah lagi harus mendengarkan pertengkaran antara suami isteri di ruang sampingnya…
Pertengkaran itu terjadi setiap malam semenjak tempat itu akan digusur.

Yah, bagaimanapun juga Shori mendukung Kento atas tindakannya untuk tak begitu saja meninggalkan Ryutaro dan Yuki yang sudah tak memiliki orang tua.
Dukungannya itu bukan karena Kento adalah rekan kerjanya di tempat si dokter Yaotome, melainkan karena dirinya sendiri pasti juga tak akan tega meninggalkan kedua anak malang ini dan membiarkan keduanya menghadapi hidup sendirian.

Ohno Satoshi…

Nakajima Kento…

Sato Shori…

Nyonya Nakajima…

Ryutaro…

Yuki…

Hanya tinggal enam orang ini yang tersisa di rumah cemara.

==============
==============

Malam itu Ryutaro pulang seorang diri.

Anak itupun segera mendatangi Kento dan isterinya yang tengah berada di halaman – Ryutaro tak tahu bahwa keduanya sedang bertengkar.

“Nakajima-san… Nakajima-san… Apakah kakakku sudah pulang?” Ryutaro menarik-narik lengan Kento.

Baru saja Kento hendak bicara, tapi kata-katanya diserobot oleh sang isteri. “Kakakmu yang gila itu hilang lagi ya?!” ledek si nyonya Nakajima.

“Kakakku itu bukan orang gila…” tentu anak itu tak terima kakaknya dikatai gila – biarpun faktanya, memang kakaknya mengalami gangguan mental.

Kelihatannya akan terjadi pertengkaran babak kedua…
Namun suasana itu mencair ketika Ohno keluar dari rumahnya – setidaknya ia masih dihormati sebagai orang yang paling tua di tempat itu.

“Ryutaro…”
Ohno memanggil anak itu…
Dan anak yang dipanggilpun segera berlari ke arah orang yang dianggap pamannya ini dan segera memeluknya – ingin menangis karena kata-kata dari nyonya Nakajima barusan.

“Ayo Ryutaro… Kita cari lagi kakakmu…,” Ohnopun segera menggandeng anak itu pergi…

Shori dan Kentopun turut mengikuti dan memutuskan untuk kembali mencari. Begitu juga dengan nyonya Nakajima yang tak ada pilihan lain selain ikut mencari, karena setidaknya ia juga masih manusia biasa yang tentunya masih ada sedikit kasih sayang di hatinya – karena itu adalah kodrat manusia.

Di malam yang telah gelap itu…
Kelima orang ini masih tetap mencari keberadaan Yuki – kakak dari Ryutaro.

Entah ada di mana gadis itu sekarang…

==============
==============

Waktu menunjukkan pukul satu pagi sekarang…

Diam-diam Daiki keluar dari penginapan itu, meninggalkan Aina seorang diri di kamarnya yang masih tertidur lelap.

“Bagaimanapun juga aku harus mengantri sepagi mungkin untuk bisa membuat Aina bertemu dengan dokter itu.” Daiki menguatkan niatannya.

Pemuda ini memutuskan untuk berangkat sepagi mungkin agar bisa mendapatkan nomer antrian lebih dulu.
Awalnya tadi ia ingin membangunkan Aina dan mengajaknya berangkat bersama. Tapi melihat si gadis yang masih lelap, ia tak tega membangunkannya – hanya sempat memandangi wajah gadis itu beberapa saat, itu sudah membuatnya bersemangat keluar di pagi dengan udara yang masih dingin menusuk raga ini.

Pemuda itupun meninggalkan sepucuk memo di meja samping ranjang Aina.

“Aku pergi lebih awal agar bisa mendapatkan nomer antrian pertama. Tunggu kabar baik dariku ya…”
Itulah kata-kata yang tertulis di memo itu.

==============
==============

“Tolong…”

“Tolong…”

Ada seorang wanita yang tengah dikerubungi oleh tiga berandalan di tempat yang tak jauh dari lokasi Daiki kini. Bahkan dari tempat itu, Daiki dapat melihat dengan jelas raut muka ketakutan dari wanita yang ternyata masih begitu muda itu.

Awalnya, pemuda bertinggi badan 165 cm ini tak mempedulikannya.

“Ah, itu bukan urusanku… Aku tidak boleh terlambat mengantri agar bisa bertemu dengan dokter itu,” pikir Daiki dan iapun kembali melangkahkan kakinya yang sempat berhenti beraktivitas beberapa saat.

“Ibu…”

“Ibu…”

Teriakan itu terdengar lagi…
Dan lagi-lagi, Daikipun terpaksa menghentikan langkahnya – tengah ada perang batin kini di hatinya.

“Aaarrrggghhh…”

Haruskah ia menolong orang itu…

==============

“Hei, lepaskan dia…”

Dan akhirnya…
Pemuda ini memilih untuk menyelamatkan wanita yang masih gadis itu. Alhasil… perkelahianpun tak terelakkan.

Tiga lawan satu…
Bisa dipastikan bagaimana hasilnya…

“Hei, kakak… kakak…”
Gadis itu menyentuh ringan tubuh Daiki yang sudah tak sadarkan diri sehabis digebukin tadi.

Ketiga orang tadi telah pergi…
Memutuskan untuk menyudahi kesenangan mereka karena merasa sudah puas sehabis memukuli orang hingga pingsan.

==============
==============

“Harusnya tadi aku tak melakukan ini…”
Daiki kini menggendong gadis itu di punggungnya karena si gadis bilang kakinya sakit dan tak bisa berjalan.

Wajahnya masih terlihat penuh luka lebam…

Dan hari kini telah semakin terang – sepertinya tadi ia pingsan lebih dari sejam yang membuatnya kini kesiangan.

“Betapa bodohnya aku…,” ia kembali mengumpat dalam batinnya – tentu saja menyesal karena sudah dipastikan ia kembali gagal hari ini untuk bisa bertemu dengan si dokter.

Karena ia tak tahu di mana rumah gadis itu, dan gadis itu sendiri juga tak tau arah pulang ke rumahnya, Daikipun hanya bisa tetap menggendong si gadis yang sedari tadi memeluk boneka kumalnya itu – hal yang tak semestinya dilakukan oleh gadis seusia dirinya. Menggendongnya sambil berlari ke kediaman si dokter – berharap sang waktu masih berpihak padanya.
Hingga…
Sampailah kini mereka di kediaman dokter Yaotome yang memang ternyata sudah dipenuhi oleh orang-orang yang tengah mengantri.

“Lihat, ini semua salahmu…” Daikipun hanya bisa berkata lemas pada gadis yang terlihat tidak sepenuhnya waras itu.

Daikipun menurunkan gadis itu dari gendongannya.

==============

“Eh, Yuki…”
Sebuah suara terealisasi tak jauh dari lokasi Daiki berpijak.

“Uaaa… Kento-san…” dan gadis yang ternyata adalah Yuki itupun segera berlari dengan sedikit terpincang – merasa senang bisa bertemu dengan orang yang dikenalnya di tempat yang tak dikenalnya itu.

“Yuki, kenapa kamu bisa berada di sini? Kami mencarimu semalaman.” Shori yang baru saja keluar bersih-bersih sembari menyusul Kentopun terlihat senang ternyata Yuki sudah ketemu.

“Kakak itu tadi menolongku…,” gadis itu bicara dengan polosnya pada Kento dan Shori sembari menunjuk ke arah Daiki.

“Eh, kau… Bukannya kau pemuda yang kemarin?!”



==============
==============

Di tempat lain…

Nampak Aina memutuskan untuk jalan-jalan setelah tadi meninggalkan memo di kertas yang sama dengan yang ditinggalkan Daiki di mejanya tadi.

Gadis itu membeli sebuah peta kota Fukuoka – hendak berkeliling kota kecil ini sembari menunggu kabar dari Daiki. Dan dimulailah perjalanannya hari ini…

Menikmati setiap pemandangan dengan bus yang ditumpanginya…
Terlihat begitu menyenangkan…

==============

Sementara itu…

Pemuda yang satu ini terlihat tidak tidur semalaman hingga kini pagi telah menjelang…
Kelihatannya ia baru saja selesai memimpin rapat besar yang berlangsung semalaman tadi.

Ia keluar dari perusahaannya, hendak kembali ke hotel tempatnya menginap untuk sementara.
Sayang…
Didapatinya si sopir pribadinya tengah tertidur pulas di dalam mobil itu – dapat dipastikan si sopir mengantuk berat karena menunggui sang direktur semalaman.

“Braakk…”

Suara pintu mobil yang tertutup itu membuat si sopir terbangun dengan kegugupan teramat sangat melihat direkturnya telah duduk di kursi belakangnya detik itu.

“Kita kembali ke hotel sekarang…” perintahnya pendek…

Dan mobil itupun akhirnya kembali melaju…

==============

“Ccciiittt…”
Mobil mewah ini hampir saja bertubrukan dengan mobil lain di jalanan yang ramai itu.

“Ah, maaf pak direktur. Saya akan mengurusnya dulu…”

Tanpa menunggu sopirnya menyelesaikan permasalahan itu, Ryosuke lebih memilih turun dari mobil mewahnya dan menaiki bus yang tengah berhenti tepat di belakangnya.

Ada kemungkinan sopirnya akan melakukan kesalahan yang sama andai ia tak keluar dari mobil itu.
Teramat beresiko mempercayai sopir yang masih dalam kondisi mengantuk…

“Sakura…”
Pemuda itu segera menelepon sekretarisnya sembari berjalan ke arah bus tadi…

“Pecat sopir itu dan segera ganti dia…”

Hanya kata-kata itu yang terealisasi, dan Ryosukepun langsung menutup teleponnya dan memasuki bus itu.

==============

Tak ada lagi tempat duduk yang tersisa…

Tak ada pilihan lain…
Iapun berdiri memegangi pegangan di atap bus itu.

Dan sekali lagi…
Sudah dapat dipastikan…
Memang inilah yang namanya takdir…

Aina – si gadis bisu yang berulang kali mengalami insiden dengan Ryosuke – gadis yang tak lain adalah gadis kecil di masa lalu pemuda ini – gadis itu juga tengah berada di bus tersebut.

Berada di bus yang sama…

Sama-sama saling berdiri…

Jarak yang begitu dekat namun saling membelakangi.

Yah…
Membelakangi…

Keduanya menghadap ke arah yang berlawanan…
Hanya punggung mereka yang saling berhadapan – teramat dekat karena keduanya berdiri di barisan yang sama di bus ini…

Hingga akhirnya bus tiba-tiba berhenti – membuat Ryosuke goyah dari lokasinya berdiri – sudah dipastikan pemuda ini juga teramat lelah beberapa hari belum cukup istirahat.
Dan ternyata…
Mata pemuda ini mampu menangkap punggung yang begitu familier yang tengah berdiri di belakangnya – membuatnya mau tak mau harus mencuri-curi pandang – sedikit terkejut setelah mengetahui ternyata punggung itu memang milik gadis yang 2 hari lalu sempat dipamitinya sebelum berangkat ke Fukuoka.

Matsumoto Ainami…

Ternyata takdir memang tak pernah bisa diduga oleh siapapun…
Biarpun Ryosuke tak tahu kenapa gadis itu ada di Fukuoka, tapi hanya dengan mengetahui keberadaan gadis itu di sana, senyumnyapun mampu kembali dikembangkannya.

Entah apakah yang akan terjadi dengan keduanya setelah ini…

Who knows…

==============
Chap. 11 = Owari
==============


Next : Chapter 12

2 comments:

  1. Listen...

    This may sound a little weird, maybe even a little "out there..."

    HOW would you like it if you could just click "Play" and LISTEN to a short, "miracle tone"...

    And magically bring MORE MONEY into your life?

    And I'm really talking about BIG MONEY, even MILLIONS of DOLLARS!!

    Sounds way too EASY? Think it's IMPOSSIBLE?

    Well then, I've got news for you.

    Many times the most magical miracles in life are the SIMPLEST!!

    Honestly, I'm going to PROVE it to you by letting you listen to a real-life "miracle money tone" I've produced...

    And TOTALLY FOR FREE

    YOU just push "Play" and the money will start coming into your life... starting pretty much right away...

    TAP here now to PLAY the magical "Miracle Abundance TONE" as my gift to you!!

    ReplyDelete
  2. Use this diet hack to drop 2 lb of fat in just 8 hours

    Over 160 000 women and men are utilizing a simple and SECRET "liquid hack" to burn 1-2 lbs each and every night in their sleep.

    It's scientific and works with everybody.

    This is how to do it yourself:

    1) Go get a clear glass and fill it up half glass

    2) And then follow this weight losing HACK

    and you'll be 1-2 lbs skinnier the very next day!

    ReplyDelete

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers