Title : SILENCE
Author : Rin Fujiyama
Genre : Romance, Family, Angst
Rating : General
Chapter 11
Douzou…
==============
==============
Chapter sebelumnya :
Chapter 01, Chapter 02, Chapter 03, Chapter 04, Chapter 05, Chapter 06, Chapter 07, Chapter 08, Chapter 09, Chapter 10
“Aku adalah Ryosuke Yamada. Dan jangan sekali-kali
menggunakan kata “mungkin” saat berbicara bisnis denganku…” terang pemuda itu
membuat tangan si sopir gemetaran…
Di waktu yang sama…
Tak jauh dari lokasi itu…
Anak laki-laki polos ini masih menggandeng tangan
Aina – mengajak gadis itu untuk ke rumahnya…
Jadi, apakah yang akan terjadi selanjutnya?!
Who knows…
**********************
Chapter 11 = Rumah Cemara
**********************
“Kita kembali ke perusahaan sekarang,” sekali lagi
Ryosuke memberikan komando – pemuda ini tak pernah tau, entah memang takdir
atau apa, gadis itu – Aina – ternyata memang tengah berada di Fukuoka juga.
Bahkan…
Gadis ini sempat berada 2 meter tepat di belakang
mobilnya tadi – sebelum mobil itu melaju sesuai komando si direktur muda itu.
Dan sekali lagi…
Tak sempat saling melihat…
Selalu waktu yang menjadi pemberi jarak – antara
keduanya.
==============
“Kak, ini dia tempat tinggalku…,” anak laki-laki
dua belas tahun ini masih menggandeng tangan Aina dengan riang. Diikuti Daiki
yang berjalan di belakang mereka – tersenyum senang melihat Aina yang sedari
tadi terlihat begitu menikmati suasana ini – mendengar setiap kata-kata yang
mengalun polos dari si anak lelaki itu.
“Ayo masuk…”
Dan pada akhirnya, Daiki dan Ainapun memutuskan
untuk memenuhi permintaan anak ini untuk melihat-lihat tempat itu – sekalian sembari
mengisi waktu luang mereka sebelum kembali lagi mengantri besok untuk berobat.
“Kenapa tempat ini begitu sepi?” Daiki mengajukan
pertanyaan setelah sedari tadi tak dijumpainya satupun orang di sana.
Pria kecil itupun segera menjawab pertanyaan Daiki
barusan – masih dengan membereskan kaleng-kaleng yang tadi sudah
dikumpulkannya. “Semuanya sudah pindah. Dulu ada banyak orang yang tinggal di
sini, tapi sekarang hanya tinggal kami berenam.”
“Kalian boleh melihat-lihat dulu. Aku akan
kenalkan kakakku pada kalian…” lanjut bocah itu. “Tunggu sebentar ya…”
Dan si bocahpun segera berlari menaiki tangga –
hendak mencari kakaknya untuk dikenalkan pada dua kenalan barunya itu.
==============
“Pprriiittt…”
Suara peluit terdengar.
Aina membunyikannya untuk memanggil Daiki. Dan
orang yang dipanggilkan tentu saja segera datang menjawab panggilan si gadis
tersayang. “Apa apa?” tanya Daiki.
Ternyata gadis itu tengah menunjukkan
pakaian-pakaian yang dipajang di depan salah satu pintu bangunan ini.
“Sepertinya ini tempat membuat pakaian…” komentar
Daiki sembari melihat-lihat pakaian di hadapannya.
==============
“Hei, apa yang kalian lakukan?”
Seorang pria baya tiba-tiba mendatangi mereka –
mendatangi Daiki dan Aina dengan raut wajah yang terlihat tak senang.
Tanpa mau mendengarkan penjelasan apapun, pria
baya itu dengan cekatan mengambil sapu – hendak mengusir dua manusia beda
gender yang masih berdiri di depan pintu rumahnya.
“Pergi dari sini… Kami sudah bilang, sampai
kapanpun kami tidak akan mau pindah,” pria itu berteriak sambil mengayunkan
sapunya – siap untuk benar-benar memukul andai keduanya tak segera pergi.
Sepertinya tengah ada kesalahpahaman di sini…
Tak mau digebukin oleh pria yang belum mereka
kenal itu, Daiki dan Ainapun terpaksa berlari pergi – benar-benar tak paham
kenapa pria tadi bertindak sebegitunya terhadap mereka.
Dan finally…
Dua eksistensi itu telah benar-benar berlari –
keluar dari bangunan bertitlekan “Rumah Cemara” ini.
==============
==============
“Ohno-san…”
“Ohno-san…”
“Kau lihat kakakku?”
Anak laki-laki ini segera bertanya pada pria baya
itu karena sedari tadi tak menemukan kakak perempuannya.
“Aku sudah bilang padanya agar tak pergi
kemanapun, tapi ia tak mendengarkannya…” anak itu semakin panik.
“Ryutaro, tenanglah dulu. Kita cari dia nanti bersama-sama.
Ok?!” pria dengan sapu di tangannya yang tak lain bernama Ohno itupun berusaha
menenangkan anak laki-laki yang dipanggilnya Ryutaro tadi.
“Tidak!! Aku harus menemukannya sekarang. Aku
takut ada orang jahat yang akan melukainya…”
Dan si anak bernama Ryutaro itupun segera berlari
mencari keberadaan kakak satu-satunya itu.
“Ohno-san… tolong jaga dua temanku itu dulu ya…”
teriak Ryutaro sebelum akhirnya kaki-kaki kecilnya telah sempurna meninggalkan
Rumah Cemara.
“Eh??” Ohnopun bingung…
“Dua teman yang mana maksudnya??” ia menoleh ke
kanan dan ke kiri tapi tak melihat siapapun di tempat itu.
==============
==============
Di tempat lain…
Di ruangan mewah nan bersih…
“Sudah 38 jam berlalu, tapi kenapa penghuni di tiga
rumah itu masih saja belum pindah?” direktur muda ini terlihat tengah memimpin
rapat dengan raut wajah serius khasnya – membuat semua kepala bagian yang ada
di ruangan itu tetap tegap memperhatikan.
Tak habis pikir…
Bagaimana bisa direktur muda ini langsung memimpin
rapat besar seperti itu setelah tadi pagi juga telah melakukan rapat di hari
pertamanya tiba di Fukuoka. Apalagi… ia tak ingin membuang-buang waktu
sedikitpun dan langsung membahas pada pokok permasalahan.
Benar-benar pemuda kaya yang tak ingin sedikitpun
menyia-nyiakan waktu…
“Jadi kapan kita bisa memulai perobohan tempat
itu?” pertanyaan itupun terlontar ringan dari dua sisi bibir seorang Yamada
Ryosuke.
Orang-orang di ruangan itupun hanya bisa saling
pandang…
Tak ada satupun yang berani menjawab.
Tapi…
Berbeda halnya dengan satu orang ini…
Honda Sakura – si sekretaris pribadi Ryosuke di
Fukuoka.
Hanya gadis ini yang menjadi satu-satunya orang di
ruangan itu yang berani mengangkat sebelah tangannya dan menjawab pertanyaan
dari direkturnya barusan.
“Hari Minggu ini kita sudah bisa merobohkan tempat
itu, pak…,” kata gadis itu dengan tenangnya.
Ada satu kemiripan tatapan mata dinginnya dengan
tatapan dingin si direktur muda – sebuah tatapan yang terkesan penuh dengan
sebuah ambisi besar.
“Baiklah. Perobohan bisa kita mulai hari Minggu
ini…”
Respon Ryosuke sebelum pergi meninggalkan ruangan
itu.
==============
==============
Haripun telah gelap kini…
Tengah ada perselisihan di Rumah Cemara –
perselisihan antara suami isteri yang menempati satu dari tiga rumah yang masih
berpenghuni yang ada di sana.
Dan ternyata, si suami itu adalah salah seorang
petugas di tempat dokter yang tadi pagi didatangi oleh Daiki dan Aina.
“Kento… Kita sudah menemukan rumah baru dan sudah
bisa pergi sekarang. Yang jelas aku sudah tidak mau tinggal di tempat yang
sudah hampir dirobohkan ini.” Si istripun memprotes keputusan suaminya yang tak
pernah mau diajaknya untuk pindah.
“Tapi bagaimana dengan Ryutaro dan Yuki jika kita
pindah nanti? Tak ada yang merawat mereka nanti…”
“Hei, Nakajima Kento!! Aku ini istrimu. Dan dua
anak itu tidak ada hubungan apapun dengan kita! Jadi buat apa kau memikirkan
mereka?!” kali ini si nyonya Nakajima ini berteriak sembari menggebrak pintunya
keras – membuat Ohno yang tinggal tepat di samping mereka hanya mampu
menggeleng pasrah…
==============
“Mereka bertengkar lagi, paman?” tanya Shori pada
pria baya bernama Ohno tadi yang tak lain adalah pamannya – keduanya tinggal
serumah.
Shori yang baru saja pulang sehabis mencari
Ryutaro dan Yuki itupun kini hanya bisa tertunduk lemas. Ia belum mampu
menemukan kedua anak itu, padahal hari telah semalam ini…
Ditambah lagi harus mendengarkan pertengkaran
antara suami isteri di ruang sampingnya…
Pertengkaran itu terjadi setiap malam semenjak
tempat itu akan digusur.
Yah, bagaimanapun juga Shori mendukung Kento atas
tindakannya untuk tak begitu saja meninggalkan Ryutaro dan Yuki yang sudah tak
memiliki orang tua.
Dukungannya itu bukan karena Kento adalah rekan
kerjanya di tempat si dokter Yaotome, melainkan karena dirinya sendiri pasti
juga tak akan tega meninggalkan kedua anak malang ini dan membiarkan keduanya
menghadapi hidup sendirian.
Ohno Satoshi…
Nakajima Kento…
Sato Shori…
Nyonya Nakajima…
Ryutaro…
Yuki…
Hanya tinggal enam orang ini yang tersisa di rumah
cemara.
==============
==============
Malam itu Ryutaro pulang seorang diri.
Anak itupun segera mendatangi Kento dan isterinya
yang tengah berada di halaman – Ryutaro tak tahu bahwa keduanya sedang
bertengkar.
“Nakajima-san… Nakajima-san… Apakah kakakku sudah
pulang?” Ryutaro menarik-narik lengan Kento.
Baru saja Kento hendak bicara, tapi kata-katanya
diserobot oleh sang isteri. “Kakakmu yang gila itu hilang lagi ya?!” ledek si
nyonya Nakajima.
“Kakakku itu bukan orang gila…” tentu anak itu tak
terima kakaknya dikatai gila – biarpun faktanya, memang kakaknya mengalami
gangguan mental.
Kelihatannya akan terjadi pertengkaran babak kedua…
Namun suasana itu mencair ketika Ohno keluar dari
rumahnya – setidaknya ia masih dihormati sebagai orang yang paling tua di
tempat itu.
“Ryutaro…”
Ohno memanggil anak itu…
Dan anak yang dipanggilpun segera berlari ke arah
orang yang dianggap pamannya ini dan segera memeluknya – ingin menangis karena
kata-kata dari nyonya Nakajima barusan.
“Ayo Ryutaro… Kita cari lagi kakakmu…,” Ohnopun
segera menggandeng anak itu pergi…
Shori dan Kentopun turut mengikuti dan memutuskan
untuk kembali mencari. Begitu juga dengan nyonya Nakajima yang tak ada pilihan
lain selain ikut mencari, karena setidaknya ia juga masih manusia biasa yang
tentunya masih ada sedikit kasih sayang di hatinya – karena itu adalah kodrat
manusia.
Di malam yang telah gelap itu…
Kelima orang ini masih tetap mencari keberadaan
Yuki – kakak dari Ryutaro.
Entah ada di mana gadis itu sekarang…
==============
==============
Waktu menunjukkan pukul satu pagi sekarang…
Diam-diam Daiki keluar dari penginapan itu,
meninggalkan Aina seorang diri di kamarnya yang masih tertidur lelap.
“Bagaimanapun juga aku harus mengantri sepagi
mungkin untuk bisa membuat Aina bertemu dengan dokter itu.” Daiki menguatkan
niatannya.
Pemuda ini memutuskan untuk berangkat sepagi
mungkin agar bisa mendapatkan nomer antrian lebih dulu.
Awalnya tadi ia ingin membangunkan Aina dan
mengajaknya berangkat bersama. Tapi melihat si gadis yang masih lelap, ia tak
tega membangunkannya – hanya sempat memandangi wajah gadis itu beberapa saat, itu
sudah membuatnya bersemangat keluar di pagi dengan udara yang masih dingin
menusuk raga ini.
Pemuda itupun meninggalkan sepucuk memo di meja
samping ranjang Aina.
“Aku pergi lebih awal agar bisa mendapatkan nomer
antrian pertama. Tunggu kabar baik dariku ya…”
Itulah kata-kata yang tertulis di memo itu.
==============
==============
“Tolong…”
“Tolong…”
Ada seorang wanita yang tengah dikerubungi oleh
tiga berandalan di tempat yang tak jauh dari lokasi Daiki kini. Bahkan dari
tempat itu, Daiki dapat melihat dengan jelas raut muka ketakutan dari wanita
yang ternyata masih begitu muda itu.
Awalnya, pemuda bertinggi badan 165 cm ini tak
mempedulikannya.
“Ah, itu bukan urusanku… Aku tidak boleh terlambat
mengantri agar bisa bertemu dengan dokter itu,” pikir Daiki dan iapun kembali
melangkahkan kakinya yang sempat berhenti beraktivitas beberapa saat.
“Ibu…”
“Ibu…”
Teriakan itu terdengar lagi…
Dan lagi-lagi, Daikipun terpaksa menghentikan
langkahnya – tengah ada perang batin kini di hatinya.
“Aaarrrggghhh…”
Haruskah ia menolong orang itu…
==============
“Hei, lepaskan dia…”
Dan akhirnya…
Pemuda ini memilih untuk menyelamatkan wanita yang
masih gadis itu. Alhasil… perkelahianpun tak terelakkan.
Tiga lawan satu…
Bisa dipastikan bagaimana hasilnya…
“Hei, kakak… kakak…”
Gadis itu menyentuh ringan tubuh Daiki yang sudah
tak sadarkan diri sehabis digebukin tadi.
Ketiga orang tadi telah pergi…
Memutuskan untuk menyudahi kesenangan mereka
karena merasa sudah puas sehabis memukuli orang hingga pingsan.
==============
==============
“Harusnya tadi aku tak melakukan ini…”
Daiki kini menggendong gadis itu di punggungnya
karena si gadis bilang kakinya sakit dan tak bisa berjalan.
Wajahnya masih terlihat penuh luka lebam…
Dan hari kini telah semakin terang – sepertinya tadi
ia pingsan lebih dari sejam yang membuatnya kini kesiangan.
“Betapa bodohnya aku…,” ia kembali mengumpat dalam
batinnya – tentu saja menyesal karena sudah dipastikan ia kembali gagal hari
ini untuk bisa bertemu dengan si dokter.
Karena ia tak tahu di mana rumah gadis itu, dan
gadis itu sendiri juga tak tau arah pulang ke rumahnya, Daikipun hanya bisa
tetap menggendong si gadis yang sedari tadi memeluk boneka kumalnya itu – hal
yang tak semestinya dilakukan oleh gadis seusia dirinya. Menggendongnya sambil
berlari ke kediaman si dokter – berharap sang waktu masih berpihak padanya.
Hingga…
Sampailah kini mereka di kediaman dokter Yaotome
yang memang ternyata sudah dipenuhi oleh orang-orang yang tengah mengantri.
“Lihat, ini semua salahmu…” Daikipun hanya bisa
berkata lemas pada gadis yang terlihat tidak sepenuhnya waras itu.
Daikipun menurunkan gadis itu dari gendongannya.
==============
“Eh, Yuki…”
Sebuah suara terealisasi tak jauh dari lokasi
Daiki berpijak.
“Uaaa… Kento-san…” dan gadis yang ternyata adalah
Yuki itupun segera berlari dengan sedikit terpincang – merasa senang bisa
bertemu dengan orang yang dikenalnya di tempat yang tak dikenalnya itu.
“Yuki, kenapa kamu bisa berada di sini? Kami
mencarimu semalaman.” Shori yang baru saja keluar bersih-bersih sembari
menyusul Kentopun terlihat senang ternyata Yuki sudah ketemu.
“Kakak itu tadi menolongku…,” gadis itu bicara
dengan polosnya pada Kento dan Shori sembari menunjuk ke arah Daiki.
“Eh, kau… Bukannya kau pemuda yang kemarin?!”
…
…
==============
==============
Di tempat lain…
Nampak Aina memutuskan untuk jalan-jalan setelah tadi
meninggalkan memo di kertas yang sama dengan yang ditinggalkan Daiki di mejanya
tadi.
Gadis itu membeli sebuah peta kota Fukuoka –
hendak berkeliling kota kecil ini sembari menunggu kabar dari Daiki. Dan
dimulailah perjalanannya hari ini…
Menikmati setiap pemandangan dengan bus yang
ditumpanginya…
Terlihat begitu menyenangkan…
==============
Sementara itu…
Pemuda yang satu ini terlihat tidak tidur
semalaman hingga kini pagi telah menjelang…
Kelihatannya ia baru saja selesai memimpin rapat
besar yang berlangsung semalaman tadi.
Ia keluar dari perusahaannya, hendak kembali ke
hotel tempatnya menginap untuk sementara.
Sayang…
Didapatinya si sopir pribadinya tengah tertidur
pulas di dalam mobil itu – dapat dipastikan si sopir mengantuk berat karena
menunggui sang direktur semalaman.
“Braakk…”
Suara pintu mobil yang tertutup itu membuat si
sopir terbangun dengan kegugupan teramat sangat melihat direkturnya telah duduk
di kursi belakangnya detik itu.
“Kita kembali ke hotel sekarang…” perintahnya
pendek…
Dan mobil itupun akhirnya kembali melaju…
==============
“Ccciiittt…”
Mobil mewah ini hampir saja bertubrukan dengan
mobil lain di jalanan yang ramai itu.
“Ah, maaf pak direktur. Saya akan mengurusnya
dulu…”
Tanpa menunggu sopirnya menyelesaikan permasalahan
itu, Ryosuke lebih memilih turun dari mobil mewahnya dan menaiki bus yang
tengah berhenti tepat di belakangnya.
Ada kemungkinan sopirnya akan melakukan kesalahan
yang sama andai ia tak keluar dari mobil itu.
Teramat beresiko mempercayai sopir yang masih
dalam kondisi mengantuk…
“Sakura…”
Pemuda itu segera menelepon sekretarisnya sembari
berjalan ke arah bus tadi…
“Pecat sopir itu dan segera ganti dia…”
Hanya kata-kata itu yang terealisasi, dan
Ryosukepun langsung menutup teleponnya dan memasuki bus itu.
==============
Tak ada lagi tempat duduk yang tersisa…
Tak ada pilihan lain…
Iapun berdiri memegangi pegangan di atap bus itu.
Dan sekali lagi…
Sudah dapat dipastikan…
Memang inilah yang namanya takdir…
Aina – si gadis bisu yang berulang kali mengalami
insiden dengan Ryosuke – gadis yang tak lain adalah gadis kecil di masa lalu pemuda
ini – gadis itu juga tengah berada di bus tersebut.
Berada di bus yang sama…
Sama-sama saling berdiri…
Jarak yang begitu dekat namun saling membelakangi.
Yah…
Membelakangi…
Keduanya menghadap ke arah yang berlawanan…
Hanya punggung mereka yang saling berhadapan –
teramat dekat karena keduanya berdiri di barisan yang sama di bus ini…
Hingga akhirnya bus tiba-tiba berhenti – membuat Ryosuke
goyah dari lokasinya berdiri – sudah dipastikan pemuda ini juga teramat lelah
beberapa hari belum cukup istirahat.
Dan ternyata…
Mata pemuda ini mampu menangkap punggung yang
begitu familier yang tengah berdiri di belakangnya – membuatnya mau tak mau
harus mencuri-curi pandang – sedikit terkejut setelah mengetahui ternyata
punggung itu memang milik gadis yang 2 hari lalu sempat dipamitinya sebelum
berangkat ke Fukuoka.
Matsumoto Ainami…
Ternyata takdir memang tak pernah bisa diduga oleh
siapapun…
Biarpun Ryosuke tak tahu kenapa gadis itu ada di
Fukuoka, tapi hanya dengan mengetahui keberadaan gadis itu di sana,
senyumnyapun mampu kembali dikembangkannya.
Entah apakah yang akan terjadi dengan keduanya
setelah ini…
Who knows…
==============
Chap. 11 = Owari
==============
Next : Chapter 12
Listen...
ReplyDeleteThis may sound a little weird, maybe even a little "out there..."
HOW would you like it if you could just click "Play" and LISTEN to a short, "miracle tone"...
And magically bring MORE MONEY into your life?
And I'm really talking about BIG MONEY, even MILLIONS of DOLLARS!!
Sounds way too EASY? Think it's IMPOSSIBLE?
Well then, I've got news for you.
Many times the most magical miracles in life are the SIMPLEST!!
Honestly, I'm going to PROVE it to you by letting you listen to a real-life "miracle money tone" I've produced...
And TOTALLY FOR FREE
YOU just push "Play" and the money will start coming into your life... starting pretty much right away...
TAP here now to PLAY the magical "Miracle Abundance TONE" as my gift to you!!
Use this diet hack to drop 2 lb of fat in just 8 hours
ReplyDeleteOver 160 000 women and men are utilizing a simple and SECRET "liquid hack" to burn 1-2 lbs each and every night in their sleep.
It's scientific and works with everybody.
This is how to do it yourself:
1) Go get a clear glass and fill it up half glass
2) And then follow this weight losing HACK
and you'll be 1-2 lbs skinnier the very next day!