Friday 5 July 2013

[Fanfic - Hey! Say! JUMP] SILENCE Chap. 09 : Memories

Chapter sebelumnya :

Ryosuke memegangi perutnya erat-erat…
Kepalanya tertunduk…
Dan tanpa sengaja klakson mobilnyapun berbunyi bertepatan dengan kepalanya yang menghantam kemudi itu akibat sudah tak dapat mempertahankan posisi tegapnya.

“Pppiiiimmmm…”
Klakson itupun berbunyi nyaring…

Entah apa yang akan terjadi pada pemuda itu selanjutnya…



**********************
Chapter 09 = Memories
**********************
Gadis itu seketika kembali memalingkan wajahnya setelah mendengar suara klakson yang begitu nyaring barusan.
Dilihatnya pemuda itu terlihat sedang tidak dalam kondisi baik di dalam mobilnya yang terparkir hanya sekitar 20 meter dari lokasi Aina berdiri saat ini.

Buru-buru ia melangkahkan kakinya…
Beberapa saat memandangi dari luar kaca mobil itu – mencoba memastikan apa yang sedang terjadi di dalam sana.

Dilihatnya pemuda itu tengah merintih kesakitan…

Dengan keras ia mengetuk kaca mobil itu, hingga membuat Ryosuke tak ada pilihan lain selain menurunkan kacanya biarpun itu dilakukannya tanpa mengubah posisinya.

Gadis itu menepuk ringan pundak si pemuda – membuat pemuda itu terpaksa mengangkat kepala dan menampilkan wajahnya yang kali ini terlihat begitu pucat.

“Apakah kau baik-baik saja?” si gadis terlihat khawatir.

Beberapa detik Ryosuke mencoba memahami gerakan-gerakan tangan gadis itu barusan. Dan akhirnya, ia kembali menundukkan wajahnya – masih menahan sakit…
“Aku baik-baik saja. Ini bukan hal baru… Sebentar lagi juga akan membaik…”

Menyadari betapa pucatnya wajah pemuda itu sekarang, si gadispun tanpa ijin meletakkan barang belanjaannya di bagian depan mobil Ryosuke dan segera berlari mencarikan obat untuk pemuda itu.

“Hei, apa yang kau lakukan?!” si pemuda mencoba berteriak – tak memahami apa yang tengah dilakukan gadis itu dengan meninggalkan barang belanjaannya di sana.

Tapi…
Tentu saja pemuda itu tak lagi memiliki cukup tenaga sekarang untuk tetap menegakkan badannya biarpun hanya untuk semenit.

==============

Hanya selang beberapa menit…

Gadis itu telah kembali dengan kantong plastik berisikan obat di tangan kanannya.

Dengan sigap ia menarik sebotol air mineral dari kantong belanjaannya tadi – membukanya – dan segera menyerahkan botol minuman itu pada si pemuda – tak lupa butiran-butiran obat yang tadi dibelinyapun telah ia siapkan di telapak tangannya.

“Minumlah obat ini dulu…,” isyarat itulah yang disampaikan si gadis – masih menggunakan gerakan tangan tentunya.

Ryosukepun kini telah sempurna mengangkat kembali kepalanya yang sedari tadi tertunduk – memandangi gadis itu beberapa saat – memperhatikan betapa gadis itu teramat mempedulikannya.

Si gadispun sedikit tersenyum lega setelah pemuda itu menelan obatnya.

Iapun kembali melangkahkan kakinya setelah meninggalkan secarik kertas di pangkuan pemuda itu.

Hanya mampu memandang…
Ya…
Hanya itulah yang dapat dilakukan Ryosuke – memandangi punggung gadis itu yang tengah berlalu pergi…

“Minumlah obat ini tiga kali sehari sebelum makan…”
Itulah kata-kata yang tertulis di secarik kertas yang tadi ditinggalkan oleh Aina.

“Tapi sebaiknya kau segera pergi ke dokter. Dan yang paling penting adalah untuk tetap makan tepat waktu…”
Kata-kata lain yang tertulis di kertas yang sama – lengkap dengan sebuah imo senyuman di pojok bawah kertas.

Pemuda itupun tersenyum memandangi kata-kata itu…

==============
==============

Hari itupun akhirnya berlalu…

Siang itu, Ryosuke terlihat tengah memainkan keitainya – mengetik sebuah sms – sebuah pesan yang ia tujukan pada seorang gadis bisu yang kemarin telah dua kali menolongnya.

“Kapan kau ada waktu? Aku ingin membayar hutangku kemarin. Aku tak ingin mempunyai hutang apapun pada orang lain…”

Kata-kata itupun akhirnya terkirim dan juga telah terbaca oleh oknum penerima pesan singkat itu.

Gadis yang baru saja membaca pesan itupun terlihat berpikir untuk sejenak.
Menyadari bagaimana sifat direktur muda si pengirim pesan ini, melakukan penolakan bukanlah pilihan yang bisa ia ambil. Dan akhirnya, si gadispun membalas pesan itu – mengiyakannya – dan menentukan hari di mana keduanya bisa kembali bertemu.

==============

Dan pada akhirnya, dua anak manusia itupun akhirnya kembali bertemu.

Keduanya berjalan beriringan…
Tak ada satu katapun yang terealisasi dari keduanya hingga akhirnya kini mereka telah duduk berhadapan di dalam sebuah café untuk makan bersama.

Gadis itu sempat memandangi beberapa saat wajah si pemuda yang terlihat tengah memakukan tatapan kosong ke arah samping.

Merasa suasana saat itu terlihat begitu hening, Ainapun segera mengembangkan senyumnya setelah sempat meletakkan sebucket mawar yang beberapa saat lalu diberikan pemuda itu padanya.

Kedua tangan gadis itu terangkat.

Mengepalkan kedua telapak tangannya disusul sebuah gerakkan dari kedua ibu jarinya – sebuah isyarat tangan yang memiliki arti “terima kasih”.

“Hm?!” lagi-lagi pemuda kaya ini tak memahami maksud si gadis – membuat Aina segera mengeluarkan buku dari dalam tasnya – buku kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana.

“Terima kasih”
Tulis Aina di buku kecil itu.

“Oh, jadi ini artinya terima kasih?” balas Ryosuke sambil mengikuti gerakan yang tadi gadis itu perlihatkan padanya.

Melihat pemuda itu mulai memahami apa yang ia katakan, gadis itupun terlihat mengembangkan senyum senangnya. Yah… Biarpun baru satu gerakan tangan saja.

Kembali lagi Aina menulis di buku itu. “Apakah sakit perutmu sudah membaik?” tanyanya.

“Um, sudah jauh lebih baik. Terima kasih…,” sekali lagi pemuda itu menggerakan jemarinya saat mengatakan kata “terima kasih” itu. Menggerakannya persis seperti yang dilakukan Aina sebelumnya.

==============

Obrolan di antara keduanyapun masih berlangsung. Tak ada lagi kecanggungan dalam obrolan mereka.
Apalagi saat Aina tanpa ijin merebut kopi Ryosuke yang baru saja diantarkan oleh pelayan café.

“Kau jangan minum kopi…,” Aina kembali menggerakan tangannya.

Ryosukepun segera memprotes tindakan gadis itu. “Kenapa?! Apakah kopi di tempat ini sebegitu tidak enaknya?”

Dengan sabar si gadis menuliskan alasannya di atas buku kepunyaannya, “Kau tidak boleh minum kopi jika memiliki sakit perut seperti itu.”

“Ah, baiklah…” Ryosuke menjawab dengan pasrah. “Aku akan memesan jus kalau begitu…”
Ada sedikit senyuman saat Ryosuke merasa terkesan akan perhatian yang gadis itu berikan padanya.

Kini keduanya tengah menikmati makan bersama…

Tapi…
Tiba-tiba Ryosuke mengambil pena Aina dan menuliskan sesuatu di buku gadis itu.

“Hari ini aku akan mengobrol denganmu dengan tulisan…”

Penapun dengan segera berpindah kembali pada pemiliknya. “Kenapa?!” tulis gadis itu, menanggapi tulisan Ryosuke.

“Karena ini tidak adil. Kau selalu mengobrol denganku melalui tulisan. Jadi aku juga akan melakukan hal yang sama.”

Ddeegghh…

Kata-kata itu…

Entah kenapa dengan begitu tiba-tibanya pikiran gadis itu kini kembali mengingat masa lalunya 13 tahun yang telah lampau – saat sahabat masa kecilnya mengatakan bahwa hubungan mereka terasa tidak adil karena si gadis tak pernah sekalipun berbicara secara langsung, melainkan selalu menggunakan tulisan.

“Aku adalah seorang pebisnis…”

Kata-kata dari pemuda itu seketika membuyarkan lamunan Aina.

Pemuda itu kini kembali bersuara…
“Aku selalu berbisnis dengan adil. Kau tak berbicara, jadi kenapa aku harus berbicara…”

Gadis itu masih terpaku beberapa saat sebelum akhirnya keduanya kembali melanjutkan obrolan mereka dengan tulisan.

Dan entah kenapa…
Ada suatu kenyamanan tersendiri saat mereka melakukannya…
Selalu saja ada senyuman setiap masing-masing dari mereka menuliskan apa yang ingin mereka katakan.

Hingga…
Obrolan itu sampai juga di titik akhir…

“Lusa aku akan pergi ke luar kota untuk berbisnis,” tulis Ryosuke di buku itu.

“Jadi, kita berdua tak akan bertemu lagi ya?” tanya gadis itu – menuliskannya di buku yang sama.

“Yah, sepertinya begitu…”

==============

Entah sudah berapa lama keduanya mengobrol…
Hari telah petang ternyata di luar sana.

Dan hujan yang deras itu mengiringi perpisahan dua makhluk Tuhan beda gender ini.
Dan lagi-lagi…
Keduanya memutar kaset yang sama di player mobil mereka di perjalanan pulang

Lagu kegemaran makhluk planet mars…

Martian…

==============
==============

Hari berikutnya…

Pagi yang begitu cerah…

Aina dan Daiki kembali berjualan daging giling…
Ini untuk yang terakhir kalinya karena esok keduanya akan berangkat ke luar kota demi pengobatan gadis itu.

Seperti hari-hari biasanya, nasi dengan daging giling mereka selalu laku keras – membuat keduanya selalu sibuk, dan kini, lagi-lagi, hanya setengah hari jualan mereka telah laku terjual semua.

“Wah, di hari terakhir inipun jualan kita laku semua.” Daiki kembali meloncat girang…

“Tapi tenang saja… Karena aku tahu kau begitu menyukai daging giling ini, maka aku sengaja menyimpan satu porsi ini untukmu. Jeng… jeng…,” kata Daiki pada Aina.

“Kau salah…”
Sahut gadis itu.

“Itu bukan yang terakhir, tapi inilah yang terakhir. Spesial aku siapkan untukmu…,” kata Aina menanggapi kata-kata Daiki barusan.

Dan memang begitulah…
Keduanyapun tersenyum bahagia menyadari telah memiliki ide dan melakukan hal yang sama…

“Oke, mari berkemas dan segera pulang untuk menikmati daging giling ini…” kata Daiki dengan sebuah semburat merah di wajahnya – merasa terharu karena gadis itu mau menyisakan satu porsi spesial untuk dirinya.

==============

Sementara di perusahaan keluarga Yamada…

“Pak direktur, ini makan siang bapak…”
Sekretaris itu sengaja membelikan nasi dengan daging giling karena tahu bahwa direkturnya ini begitu menyukai menu makanan itu.
Dan sekretaris inipun segera kembali ke ruangannya setelah meletakkan makanan itu tepat di samping Ryosuke yang masih sibuk memandangi layar komputernya.

Pemuda itu masih membaca tulisan di layar itu sembari memasukan sesuap makanan itu ke mulutnya.

Tapi…
Seketika aktivitasnya terhenti setelah mengunyah dan menelan daging giling ini perlahan.

“Rasa ini…”

Pemuda itu segera memandangi makanan yang masih terpajang di sampingnya itu.

Ddeegghh…

Segala bentuk dan hiasan-hiasan itu…
Sama persis…
Sama persis dengan apa yang ia makan 13 tahun lalu – menu special dari sahabat kecilnya.

Buru-buru pemuda itu berlari dan bertanya pada sekretarisnya, “di mana kau membeli makanan tadi?” tanya Ryosuke yang terlihat begitu ingin segera mendapat jawaban.

Sementara si sekretaris yang tak paham apa yang tengah terjadipun tetap tak ada pilihan lain selain menjawab apa yang ditanyakan oleh direkturnya itu barusan.
“Tadi saya membelinya di penjual daging giling yang berjualan di sebuah mobil tua, sekitar 30 meter di timur perusahaan, pak…”

Dan lagi-lagi…
Pemuda itupun langsung berlari…
Berlari sekuat tenaga – berharap apa yang ada di pikirannya memanglah sesuai dengan kenyataan.

“Gadis itu…”

Pemuda itu berpikir, mungkin ia akan mampu bertemu kembali dengan gadis kecil itu.

Dan pada akhirnya…
Pemuda itupun benar-benar sampai di sana.

Sayang…
Ia tiba di sana bertepatan dengan mobil tua itu yang hanya dilihatnya sekilas – tengah berbelok menghilang dari pandangannya.

Tak pernah tahu…
Mobil tua itu adalah mobil yang sama yang dulu telah mengantarkannya di pesta pertunangannya.

Iapun hanya mampu terengah-engah – menyesal karena belum mampu mengetahui siapa gerangan penjual daging giling itu.

Dan sampai kapankah permainan takdir ini akan berlangsung…

Who knows…

==============
Chap. 09 = Owari
==============


Next : Chapter 10

No comments:

Post a Comment

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers