Chapter sebelumnya :
Ryosuke memegangi perutnya erat-erat…
Kepalanya tertunduk…
Dan tanpa sengaja klakson mobilnyapun berbunyi
bertepatan dengan kepalanya yang menghantam kemudi itu akibat sudah tak dapat
mempertahankan posisi tegapnya.
“Pppiiiimmmm…”
Klakson itupun berbunyi nyaring…
Entah apa yang akan terjadi pada pemuda itu
selanjutnya…
**********************
Chapter 09 = Memories
**********************
Gadis itu seketika kembali memalingkan wajahnya
setelah mendengar suara klakson yang begitu nyaring barusan.
Dilihatnya pemuda itu terlihat sedang tidak dalam
kondisi baik di dalam mobilnya yang terparkir hanya sekitar 20 meter dari
lokasi Aina berdiri saat ini.
Buru-buru ia melangkahkan kakinya…
Beberapa saat memandangi dari luar kaca mobil itu
– mencoba memastikan apa yang sedang terjadi di dalam sana.
Dilihatnya pemuda itu tengah merintih kesakitan…
Dengan keras ia mengetuk kaca mobil itu, hingga
membuat Ryosuke tak ada pilihan lain selain menurunkan kacanya biarpun itu
dilakukannya tanpa mengubah posisinya.
Gadis itu menepuk ringan pundak si pemuda –
membuat pemuda itu terpaksa mengangkat kepala dan menampilkan wajahnya yang
kali ini terlihat begitu pucat.
“Apakah kau baik-baik saja?” si gadis terlihat
khawatir.
Beberapa detik Ryosuke mencoba memahami
gerakan-gerakan tangan gadis itu barusan. Dan akhirnya, ia kembali menundukkan
wajahnya – masih menahan sakit…
“Aku baik-baik saja. Ini bukan hal baru… Sebentar
lagi juga akan membaik…”
Menyadari betapa pucatnya wajah pemuda itu
sekarang, si gadispun tanpa ijin meletakkan barang belanjaannya di bagian depan
mobil Ryosuke dan segera berlari mencarikan obat untuk pemuda itu.
“Hei, apa yang kau lakukan?!” si pemuda mencoba
berteriak – tak memahami apa yang tengah dilakukan gadis itu dengan meninggalkan
barang belanjaannya di sana.
Tapi…
Tentu saja pemuda itu tak lagi memiliki cukup
tenaga sekarang untuk tetap menegakkan badannya biarpun hanya untuk semenit.
==============
Hanya selang beberapa menit…
Gadis itu telah kembali dengan kantong plastik
berisikan obat di tangan kanannya.
Dengan sigap ia menarik sebotol air mineral dari
kantong belanjaannya tadi – membukanya – dan segera menyerahkan botol minuman
itu pada si pemuda – tak lupa butiran-butiran obat yang tadi dibelinyapun telah
ia siapkan di telapak tangannya.
“Minumlah obat ini dulu…,” isyarat itulah yang
disampaikan si gadis – masih menggunakan gerakan tangan tentunya.
Ryosukepun kini telah sempurna mengangkat kembali
kepalanya yang sedari tadi tertunduk – memandangi gadis itu beberapa saat –
memperhatikan betapa gadis itu teramat mempedulikannya.
Si gadispun sedikit tersenyum lega setelah pemuda
itu menelan obatnya.
Iapun kembali melangkahkan kakinya setelah
meninggalkan secarik kertas di pangkuan pemuda itu.
Hanya mampu memandang…
Ya…
Hanya itulah yang dapat dilakukan Ryosuke –
memandangi punggung gadis itu yang tengah berlalu pergi…
“Minumlah obat ini tiga kali sehari sebelum
makan…”
Itulah kata-kata yang tertulis di secarik kertas
yang tadi ditinggalkan oleh Aina.
“Tapi sebaiknya kau segera pergi ke dokter. Dan
yang paling penting adalah untuk tetap makan tepat waktu…”
Kata-kata lain yang tertulis di kertas yang sama –
lengkap dengan sebuah imo senyuman di pojok bawah kertas.
Pemuda itupun tersenyum memandangi kata-kata itu…
==============
==============
Hari itupun akhirnya berlalu…
Siang itu, Ryosuke terlihat tengah memainkan
keitainya – mengetik sebuah sms – sebuah pesan yang ia tujukan pada seorang
gadis bisu yang kemarin telah dua kali menolongnya.
“Kapan kau ada waktu? Aku ingin membayar hutangku
kemarin. Aku tak ingin mempunyai hutang apapun pada orang lain…”
Kata-kata itupun akhirnya terkirim dan juga telah
terbaca oleh oknum penerima pesan singkat itu.
Gadis yang baru saja membaca pesan itupun terlihat
berpikir untuk sejenak.
Menyadari bagaimana sifat direktur muda si
pengirim pesan ini, melakukan penolakan bukanlah pilihan yang bisa ia ambil.
Dan akhirnya, si gadispun membalas pesan itu – mengiyakannya – dan menentukan
hari di mana keduanya bisa kembali bertemu.
==============
Dan pada akhirnya, dua anak manusia itupun
akhirnya kembali bertemu.
Keduanya berjalan beriringan…
Tak ada satu katapun yang terealisasi dari
keduanya hingga akhirnya kini mereka telah duduk berhadapan di dalam sebuah café
untuk makan bersama.
Gadis itu sempat memandangi beberapa saat wajah si
pemuda yang terlihat tengah memakukan tatapan kosong ke arah samping.
Merasa suasana saat itu terlihat begitu hening,
Ainapun segera mengembangkan senyumnya setelah sempat meletakkan sebucket mawar
yang beberapa saat lalu diberikan pemuda itu padanya.
Kedua tangan gadis itu terangkat.
Mengepalkan kedua telapak tangannya disusul sebuah
gerakkan dari kedua ibu jarinya – sebuah isyarat tangan yang memiliki arti
“terima kasih”.
“Hm?!” lagi-lagi pemuda kaya ini tak memahami
maksud si gadis – membuat Aina segera mengeluarkan buku dari dalam tasnya –
buku kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana.
“Terima kasih”
Tulis Aina di buku kecil itu.
“Oh, jadi ini artinya terima kasih?” balas Ryosuke
sambil mengikuti gerakan yang tadi gadis itu perlihatkan padanya.
Melihat pemuda itu mulai memahami apa yang ia
katakan, gadis itupun terlihat mengembangkan senyum senangnya. Yah… Biarpun
baru satu gerakan tangan saja.
Kembali lagi Aina menulis di buku itu. “Apakah
sakit perutmu sudah membaik?” tanyanya.
“Um, sudah jauh lebih baik. Terima kasih…,” sekali
lagi pemuda itu menggerakan jemarinya saat mengatakan kata “terima kasih” itu.
Menggerakannya persis seperti yang dilakukan Aina sebelumnya.
==============
Obrolan di antara keduanyapun masih berlangsung.
Tak ada lagi kecanggungan dalam obrolan mereka.
Apalagi saat Aina tanpa ijin merebut kopi Ryosuke
yang baru saja diantarkan oleh pelayan café.
“Kau jangan minum kopi…,” Aina kembali menggerakan
tangannya.
Ryosukepun segera memprotes tindakan gadis itu.
“Kenapa?! Apakah kopi di tempat ini sebegitu tidak enaknya?”
Dengan sabar si gadis menuliskan alasannya di atas
buku kepunyaannya, “Kau tidak boleh minum kopi jika memiliki sakit perut
seperti itu.”
“Ah, baiklah…” Ryosuke menjawab dengan pasrah.
“Aku akan memesan jus kalau begitu…”
Ada sedikit senyuman saat Ryosuke merasa terkesan
akan perhatian yang gadis itu berikan padanya.
Kini keduanya tengah menikmati makan bersama…
Tapi…
Tiba-tiba Ryosuke mengambil pena Aina dan
menuliskan sesuatu di buku gadis itu.
“Hari ini aku akan mengobrol denganmu dengan
tulisan…”
Penapun dengan segera berpindah kembali pada
pemiliknya. “Kenapa?!” tulis gadis itu, menanggapi tulisan Ryosuke.
“Karena ini tidak adil. Kau selalu mengobrol
denganku melalui tulisan. Jadi aku juga akan melakukan hal yang sama.”
Ddeegghh…
Kata-kata itu…
Entah kenapa dengan begitu tiba-tibanya pikiran
gadis itu kini kembali mengingat masa lalunya 13 tahun yang telah lampau – saat
sahabat masa kecilnya mengatakan bahwa hubungan mereka terasa tidak adil karena
si gadis tak pernah sekalipun berbicara secara langsung, melainkan selalu
menggunakan tulisan.
“Aku adalah seorang pebisnis…”
Kata-kata dari pemuda itu seketika membuyarkan lamunan
Aina.
Pemuda itu kini kembali bersuara…
“Aku selalu berbisnis dengan adil. Kau tak
berbicara, jadi kenapa aku harus berbicara…”
Gadis itu masih terpaku beberapa saat sebelum
akhirnya keduanya kembali melanjutkan obrolan mereka dengan tulisan.
Dan entah kenapa…
Ada suatu kenyamanan tersendiri saat mereka
melakukannya…
Selalu saja ada senyuman setiap masing-masing dari
mereka menuliskan apa yang ingin mereka katakan.
Hingga…
Obrolan itu sampai juga di titik akhir…
“Lusa aku akan pergi ke luar kota untuk
berbisnis,” tulis Ryosuke di buku itu.
“Jadi, kita berdua tak akan bertemu lagi ya?”
tanya gadis itu – menuliskannya di buku yang sama.
“Yah, sepertinya begitu…”
==============
Entah sudah berapa lama keduanya mengobrol…
Hari telah petang ternyata di luar sana.
Dan hujan yang deras itu mengiringi perpisahan dua
makhluk Tuhan beda gender ini.
Dan lagi-lagi…
Keduanya memutar kaset yang sama di player mobil
mereka di perjalanan pulang
Lagu kegemaran makhluk planet mars…
Martian…
==============
==============
Hari berikutnya…
Pagi yang begitu cerah…
Aina dan Daiki kembali berjualan daging giling…
Ini untuk yang terakhir kalinya karena esok
keduanya akan berangkat ke luar kota demi pengobatan gadis itu.
Seperti hari-hari biasanya, nasi dengan daging
giling mereka selalu laku keras – membuat keduanya selalu sibuk, dan kini,
lagi-lagi, hanya setengah hari jualan mereka telah laku terjual semua.
“Wah, di hari terakhir inipun jualan kita laku
semua.” Daiki kembali meloncat girang…
“Tapi tenang saja… Karena aku tahu kau begitu
menyukai daging giling ini, maka aku sengaja menyimpan satu porsi ini untukmu.
Jeng… jeng…,” kata Daiki pada Aina.
“Kau salah…”
Sahut gadis itu.
“Itu bukan yang terakhir, tapi inilah yang
terakhir. Spesial aku siapkan untukmu…,” kata Aina menanggapi kata-kata Daiki
barusan.
Dan memang begitulah…
Keduanyapun tersenyum bahagia menyadari telah
memiliki ide dan melakukan hal yang sama…
“Oke, mari berkemas dan segera pulang untuk
menikmati daging giling ini…” kata Daiki dengan sebuah semburat merah di
wajahnya – merasa terharu karena gadis itu mau menyisakan satu porsi spesial
untuk dirinya.
==============
Sementara di perusahaan keluarga Yamada…
“Pak direktur, ini makan siang bapak…”
Sekretaris itu sengaja membelikan nasi dengan
daging giling karena tahu bahwa direkturnya ini begitu menyukai menu makanan
itu.
Dan sekretaris inipun segera kembali ke ruangannya
setelah meletakkan makanan itu tepat di samping Ryosuke yang masih sibuk
memandangi layar komputernya.
Pemuda itu masih membaca tulisan di layar itu
sembari memasukan sesuap makanan itu ke mulutnya.
Tapi…
Seketika aktivitasnya terhenti setelah mengunyah
dan menelan daging giling ini perlahan.
“Rasa ini…”
Pemuda itu segera memandangi makanan yang masih
terpajang di sampingnya itu.
Ddeegghh…
Segala bentuk dan hiasan-hiasan itu…
Sama persis…
Sama persis dengan apa yang ia makan 13 tahun lalu
– menu special dari sahabat kecilnya.
Buru-buru pemuda itu berlari dan bertanya pada
sekretarisnya, “di mana kau membeli makanan tadi?” tanya Ryosuke yang terlihat
begitu ingin segera mendapat jawaban.
Sementara si sekretaris yang tak paham apa yang
tengah terjadipun tetap tak ada pilihan lain selain menjawab apa yang
ditanyakan oleh direkturnya itu barusan.
“Tadi saya membelinya di penjual daging giling
yang berjualan di sebuah mobil tua, sekitar 30 meter di timur perusahaan, pak…”
Dan lagi-lagi…
Pemuda itupun langsung berlari…
Berlari sekuat tenaga – berharap apa yang ada di
pikirannya memanglah sesuai dengan kenyataan.
“Gadis itu…”
Pemuda itu berpikir, mungkin ia akan mampu bertemu
kembali dengan gadis kecil itu.
Dan pada akhirnya…
Pemuda itupun benar-benar sampai di sana.
Sayang…
Ia tiba di sana bertepatan dengan mobil tua itu
yang hanya dilihatnya sekilas – tengah berbelok menghilang dari pandangannya.
Tak pernah tahu…
Mobil tua itu adalah mobil yang sama yang dulu
telah mengantarkannya di pesta pertunangannya.
Iapun hanya mampu terengah-engah – menyesal karena
belum mampu mengetahui siapa gerangan penjual daging giling itu.
Dan sampai kapankah permainan takdir ini akan
berlangsung…
Who knows…
==============
Chap. 09 = Owari
==============
Next : Chapter 10
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^