Berdasarkan
prinsip-prinsip syari’ah masalah akuntansi akan berkait pula dengan
prinsip-prinsip syari’ah, karena syari’ah mencakup seluruh aspek kehidupan umat
manusia, baik ekonomi, politik, sosial dan falsafah moral. Dengan demikian
syari’ah berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia termasuk di dalam
hal akuntansi (Muhammad, 2002:112). Wan Ismail Wan Yusoh (2001 dalam Harahap,
2001:212) mengemukakan beberapa syarat sebagai dasar-dasar akuntansi syari’ah,
sebagai berikut: 1) benar (truth) dan
sah (valid), 2) adil (justice), yang berarti menempatkan
sesuatu sesuai dengan peruntukannya, diterapkan terhadap semua situasi dan
tidak bias, harus dapat memenuhi kebutuhan minimum yang harus dimiliki oleh
seseorang, 3) kebaikan (benevolence/ihsan),
harus dapat melakukan hal-hal yang lebih baik dari standar dan kebiasaan.
Sebenarnya prinsip-prinsip akuntansi konvensional telah mema-sukkan aspek-aspek
seperti yang diutarakan di atas hanya saja prinsip conservatism yang selalu membela kepentingan pemilik modal menjadi
tidak sejalan dengan prinsip-prinsip akuntansi syari’ah (Adnan, 1997 dalam
Harahap, 2001:213).
Muhammad (2002:114-115) mencoba
merumuskan prinsip-prinsip akun-tansi syari’ah dengan membagi dua bagian: 1)
berdasarkan pengukuran dan penyingkapan, dan 2) berdasarkan pemegang kuasa dan
pelaksana.
Prinsip akuntansi syari’ah
berdasarkan pengukuran dan penyingkapannya terdiri dari, 1) Zakat: penilaian
bagian-bagian yang dizakati diukur secara tepat, dibayarkan kepada mustahik
sesuai yang dikehendaki oleh Al-Qur’an (delapan asnaf) atau zakat dapat pula
disalurkan melalui lembaga zakat yang resmi. 2) Bebas bunga: Entitas harus
menghindari adanya bunga dalam pembebanan-pembebanan dari transaksi yang
dilakukan, menghindari hal ini akan lebih tepat bila entitas berbentuk bagi
hasil atau bentuk lain yang sifatnya tidak memakai instrumen bunga. 3) Halal:
menghindari bentuk bisnis yang berhubungan dengan hal-hal yang diharamkan oleh
syari’ah, seperti perjudian, alkohol, prostitusi, atau produk yang haram
lainnya. Menghindari transaksi yang bersifat spekulatif, seperti bai’ al-gharar; munabadh dan najash.
Prinsip akuntansi syari’ah
berdasarkan pemegang kuasa dan pelaksana terdiri dari: 1) Ketaqwaan: mengakui
bahwa Allah adalah penguasa tertinggi. Allah melihat setiap gerak yang akan
diperhitungkan pada hari pembalasan. Dapat membedakan yang benar (al-haq) dan yang salah (al-bathil). Mendapatkan bimbingan dari
Allah dalam pengambilan keputusan. Mencari ridha dan barakah Allah dalam
menjalankan aktivitas. 2) Kebenaran: visi keberhasilan dan kegagalan yang
meluas ke dunia mencapai maslahah. Menjaga dan memperbaiki hubungan baik dengan
Allah (hablun min Allah) dan menjaga
hubungan dengan sesama manusia (hablun
min al-nas). 3) Pertanggungjawaban: Pertanggung-jawaban tertinggi adalah
kepada Allah, berlaku amanah. Mengakui kerja adalah ibadah yang selalu
dikaitkan dengan norma dan nilai “syari’ah”. Merealisasikan fungsi manusia
sebagai khalifah di muka bumi dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Berbuat
adil kepada sesama ciptaan Allah, bukan hanya kepada manusia.
Merujuk dari investigasi yang
dilakukan oleh Syahatah (2001:73-92) kaidah akuntansi yang terpenting
berdasarkan hasil istimbath dari
sumber-sumber hukum Islam (syari’ah), adalah sebagai berikut:
1.
Independensi
jaminan keuangan. Perusahaan hendaklah mempunyai sifat yang jelas dan terpisah
dari pemilik perusahaan.
2.
Kesinambungan
aktivitas. Kaidah ini memandang bahwa aktivitas suatu per-usahaan itu mesti
berkesinambungan (terus beraktivitas).
3.
Hauliyah
(pentahunan/penetapan periode). Sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an
(9:36) “sesungguhnya bilangan bulan di
sisi Allah ialah dua belas bulan ...” jadi periode akuntansi syari’ah lebih
tepat memakai putaran tahun, karena hal tersebut juga berhubungan dengan nisab
zakat yang menggunakan bilangan tahun.
4.
Pembukuan
langsung dan lengkap secara detail. Kaidah ini menghendaki pembukuan secara
rinci dalam mencatat transaksi, dimuali dari tanggal, bulan, tahun, dan
aktivitas-aktivitas yang dilakukan, hal ini disarkan perintah dalam Al-Qur’an
(2:282) “uktubuhu” perintah mencatat kemudian “ila ajalin musamma”
menunjukkan suatu tanggal kejadian tertentu.
5.
Pembukuan
disertai dengan penjelasan atau penyaksian obyek. Kaidah ini menghendaki
pembukuan semua aktivitas ekonomi keangan berdasarkan dokumen-dokumen yang
mencakup segia bentuk dan isi secara keseluruhan. Dalam fikih Islam, bentuk ini
disesbut pencatatan dengan kesaksian.
6.
Pertambahan
laba dalam produksi, serta keberadaannya dalam perdagangan. Dalam fikih islam,
laba dianggap sebagai perkembangan pada harta pokok yang terjadi dalam masa
haul (periode akuntansi), baik setelah harta itu diubah dari barang menjadi
uang meupun belum berubah. Kaidah inilah yang dipakai dalam menghitung zakat
mal.
7.
Penilaian
uang berdasarkan emas dan perak. Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa emas dan
perak adalah sebagai wadah sentral dalam penetapan harga (QS, 12:20, 3:75,
9:34)
8.
Prinsip
penilaian harga berdasarkan nilai tukar yang sedang berlaku. Implementasi
kaidah ini untuk memelihara keselamatan dan keutuhan modal pokok untuk
perusahaan dari segia tingginya volume proses penukaran barang dan kemampuan
barang itu untuk berkembang dan menghasilkan laba.
9.
Prinsip
perbandingan dalam menentukan laba. Prinsip ini ditujukan untuk menghitung dan
mengukur laba atau rugi pada perusahaan mudharabah
yang kontinu, serta menentukan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya yang
menghen-daki perbandingan antara beban-beban dan uang masuk selama periode
tertentu.
Prinsip muwa’amah (keserasian) antara pernyataan
dan kemaslahatan. Catatan akuntansi harus menjelaskan keterangan-keterangan
yang telah dipublikasikan secara wajar, yaitu sesuai dengan kesanggupan dan
situasi serta metode yang digunakan yang dapat melindungi kemaslahatan serta
tidak menimbulkan kemudharatan.
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^