a.
Pengertian bunga
Bunga merupakan terjemahan
dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus
dinyatakan, bahwa "interest is a charge for a financial loan, usually a
precentage of the amount loaned". Bunga adalah tanggungan pada
pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang
dipinjamkan. Pendapatan lain menyatakan interest yaitu sejumlah uang
yang dibayar atau dikalkulasi untuk
penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau
persentase modal yang bersangkutan paut dengan itu yang dinamakan suku bunga
modal."
Sedangkan kata riba berarti;
bertumbuh, tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba adalah
tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan
syara', apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti
yang diisyaratkan dalam Al-Qur'an. Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa
Inggris sebagai "usury" yang artinya "the act of
lending money at an exorbitant or illegal rate of interest" sementara
para ulama fiqh mendefinisikan riba dengan kelebihan harta dalam suatu muamalah
dengan tidak ada imbalan/gantinya. Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan
terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus
diberikan terutang kepada pemilik utang pada saat utang jatuh tempo. Aktivitas
semacam ini, berlaku luas di kalangan masyarakat Yahudi sebelum datangnya
Islam, sehingga masyarakat Arabpun sebelum dan pada masa awal Islam melakukan
muamalah dengan cara tersebut.
Oleh karena itu, apabila kita
menarik pelajaran masyarakat barat, terlihat jelas bahwa "interest"
dan "usury" yang kita kenal saat ini pada hakekatnya adalah
sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase. Istilah "usury"
muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa
harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap wajar. Namun setelah
mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena
hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan
penawaran.
b.
Macam-macam riba
Ulama fiqh membagi riba
menjadi dua macam, yaitu riba fadl dan riba an-nasi'ah. Riba fadl adalah riba
yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan
"kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran
syarak." Yang dimaksud ukuran syarak adalah timbangan atau ukuran
tertentu. Misalnya, satu kilogram beras dijual dengan satu sepertempat
kilogram. Kelebihan 1/4 kilogram tersebut disebut riba fadl. Jual beli semacam
ini hanya berlaku dalam barter.
Riba an-nasi'ah adalah
kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berutang kepada pemilik modal
ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila waktu jatuh tempo sudah tiba,
ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar utang dan kelebihannya,
maka waktunya bisa diperpanjang dan jumlah utang bertambah pula.
c.
Larangan riba
Kajian tentang larangan riba
di dalam pandangan Islam, telah jelas dinyatakan dalam Al-Qur'an ( 2 : 278 ).
Larangan tersebut dilatar belakangi suatu peristiwa atau asbabun nuzulnya ayat
yang dinyatakan: "dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat 278
– 279 ( QS : 2) berkenaan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada Gubernur Mekah,
yaitu 'Attab bin As-syad tentang utang-utangnya yang beriba sebelum ada hukum
penghapusan riba, kepada Banu 'Amr bin 'Auf dari suku Tsaqif. Bani Mughrirah
berkata kepada "Attab bin As-yad: "kami adalah manusia yang paling
menderita akibat dihapusnya riba. Kami ditagih membayar riba oleh orang lain,
sedang kami tidak mau menerima riba karena mentaati hukum penghapusan
riba". Maka berkata Banu 'Amr: "kami minta penyelesaian atas tagihan
riba kami". Maka Gubernur 'Attab menulis surat kepada Rasulullah Saw. Yang dijawab
oleh Nabi Saw sesuai dengan ayat 278 – 279 : "Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman; "maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Dari peristiwa ini, jelas
bahwa setelah datangnya hukum yang tidak memperbolehkan praktik riba, baik
dalam bentuk besar, maupun kecil, maka praktik tersebut segera harus berhenti
dan dinyatakan telah berakhir. Sementara ada pendapat yang menyatakan bahwa
ayat ini turun dengan kaitan kasus Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin
Walid, dua orang yang berkongsi usaha pada zaman Jahiliyah.
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^