Wednesday, 18 April 2012

Konsep Bunga dan Riba


a.        Pengertian bunga
Bunga merupakan terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa "interest is a charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned". Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapatan lain menyatakan interest yaitu sejumlah uang yang dibayar  atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau persentase modal yang bersangkutan paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal."
Sedangkan kata riba berarti; bertumbuh, tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara', apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur'an. Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa Inggris sebagai "usury" yang artinya "the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest" sementara para ulama fiqh mendefinisikan riba dengan kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya. Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik utang pada saat utang jatuh tempo. Aktivitas semacam ini, berlaku luas di kalangan masyarakat Yahudi sebelum datangnya Islam, sehingga masyarakat Arabpun sebelum dan pada masa awal Islam melakukan muamalah dengan cara tersebut.
Oleh karena itu, apabila kita menarik pelajaran masyarakat barat, terlihat jelas bahwa "interest" dan "usury" yang kita kenal saat ini pada hakekatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase. Istilah "usury" muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. 
b.        Macam-macam riba
Ulama fiqh membagi riba menjadi dua macam, yaitu riba fadl dan riba an-nasi'ah. Riba fadl adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan "kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syarak." Yang dimaksud ukuran syarak adalah timbangan atau ukuran tertentu. Misalnya, satu kilogram beras dijual dengan satu sepertempat kilogram. Kelebihan 1/4 kilogram tersebut disebut riba fadl. Jual beli semacam ini hanya berlaku  dalam barter.
Riba an-nasi'ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila waktu jatuh tempo sudah tiba, ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar utang dan kelebihannya, maka waktunya bisa diperpanjang dan jumlah utang bertambah pula.
c.        Larangan riba
Kajian tentang larangan riba di dalam pandangan Islam, telah jelas dinyatakan dalam Al-Qur'an ( 2 : 278 ). Larangan tersebut dilatar belakangi suatu peristiwa atau asbabun nuzulnya ayat yang dinyatakan: "dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat 278 – 279 ( QS : 2) berkenaan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada Gubernur Mekah, yaitu 'Attab bin As-syad tentang utang-utangnya yang beriba sebelum ada hukum penghapusan riba, kepada Banu 'Amr bin 'Auf dari suku Tsaqif. Bani Mughrirah berkata kepada "Attab bin As-yad: "kami adalah manusia yang paling menderita akibat dihapusnya riba. Kami ditagih membayar riba oleh orang lain, sedang kami tidak mau menerima riba karena mentaati hukum penghapusan riba". Maka berkata Banu 'Amr: "kami minta penyelesaian atas tagihan riba kami". Maka Gubernur 'Attab menulis surat kepada Rasulullah Saw. Yang dijawab oleh Nabi Saw sesuai dengan ayat 278 – 279 : "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman; "maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Dari peristiwa ini, jelas bahwa setelah datangnya hukum yang tidak memperbolehkan praktik riba, baik dalam bentuk besar, maupun kecil, maka praktik tersebut segera harus berhenti dan dinyatakan telah berakhir. Sementara ada pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini turun dengan kaitan kasus Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin Walid, dua orang yang berkongsi usaha pada zaman Jahiliyah.

No comments:

Post a Comment

Mohon komentar sahabat demi kemajuan blog ini.
Terima kasih ^^

Followers