Hey!Say!JUMP Fanfiction
(Indonesia)
Title : SILENCE
Diadaptasi dari dorama Taiwan dengan judul yang
sama
Author : Rin Fujiyama
Genre : Romance, Family, Angst
Rating
: General
Cast :
Yamada Ryosuke as Yamada
Ryosuke
Arioka Daiki as Arioka
Daiki
Nakajima Yuto as
Nakajima Yuto
Chinen Yuri as Chinen
Yuri
Takaki Yuya as Yamada
Yuya
Yabu Kota as Yabu Kouta
Inoo Kei as Arioka Kei
Okamoto Keito as Okamoto
Keito
Yaotome Hikaru as
Yaotome Hikaru
Matsumoto Ainami (OC)
Ohno Natsumi (OC)
Kato Rubi as Yamada Rubi
Honda Sakura (OC)
Chinen Irumi (OC)
Others…
Happy Reading…
*********************
Chapter sebelumnya :
Mata Ainapun segera mendongak, memandangi oknum
yang masih menginjak kartu yang hendak diambilnya itu.
Mata mereka saling bertemu…
Keduanya saling menatap cukup lama. Merasakan ada
suatu ikatan dan hal yang begitu familiar ketika pandangan mereka saling
bertemu tadi.
Matsumoto Ainami…
Ia tak tau bahwa orang yang dihadapannya itu tak
lain adalah Yamada Ryosuke – orang dari planet Mars – Martiannya…
*********************
Chapter 04 = No second chance
*********************
Pemuda itu mengambil kartu yang tadi diinjaknya
dan memberikannya pada Aina yang masih terlihat melamunkan sesuatu.
Tanpa berkata apapun…
Si pemuda yang tak lain adalah Ryosuke itupun
berlalu, dan memasuki perusahaan tersebut.
“Ah, syukurlah kau membawanya…”
Kei terlihat baru saja kembali keluar dari gedung
itu. “Tanpa kartu ini, aku tak akan bisa absen pagi…” kata pria itu sebelum
akhirnya kembali ke dalam setelah sempat mengelus ringan rambut panjang Aina.
==============
==============
Pagi itu adalah rapat perdana bagi seorang Yamada
Ryosuke.
Entah seperti apa ia dibesarkan, pemuda itu
terlihat begitu dingin – tanpa ekspresi – dan seakan siap menendang siapapun
yang tidak sepaham dengannya – menendang keluar dari perusahaan yang kini
segala kekuasaan ada di tangannya.
Semua kepala bagian di ruangan itu yang tadinya
masih santai dengan segala aktivitasnya masing-masing, dengan segera langsung
duduk serius melihat Ryosuke memasuki ruangan rapat.
Pemuda itu berjalan perlahan menuju jendela di
belakang kursinya – membuat manusia-manusia lain di ruangan itu tak paham apa
gerangan yang hendak dilakukan direktur muda tersebut.
Disentuhnya jendela itu…
Ada debu yang melekat di tangannya kini.
“Pecat pegawai kebersihan yang dipekerjakan
sekarang dan ganti dengan pegawai baru,” itulah komentar dingin yang mengalir
dari dua sisi bibir Ryosuke memandangi debu di jemarinya.
Pemuda 24 tahun itu kembali berbicara, “Tanggung jawabku
adalah untuk menambah kejayaan perusahaan ini. Jadi, langkah pertama yang akan
aku lakukan adalah memecat pegawai-pegawai yang tidak produktif bagi perusahaan
ini.”
==============
==============
Sementara itu di tempat lain, terlihat Aina tengah
kesal menunggu Daiki yang tak kunjung datang untuk membantunya berjualan.
“Jeng… jeng…,” tiba-tiba pemuda yang dari tadi
ditunggunya itu datang dengan membawakannya sebuah handphone.
Awalnya Aina memarahi Daiki karena manusia
berjenis kelamin laki-laki di hadapannya itu bisanya hanya menghabiskan uang
saja…
“Ayolah... Semua orang punya hp, jadi kamu juga
harus punya…”
“Lihatlah, kita bisa mengambil foto kita dengan hp
ini... Lagipula, nomer ayah dan nomerku sudah kusimpan di sini, jadi kau hanya
perlu memencetnya saja…”
Gadis itu baru saja hendak mengutarakan
penolakannya lagi, tapi gagal karena Daiki memaksanya untuk menyimpan handphone
itu. Dan pemuda itupun dengan buru-buru menjauh agar Aina tak kembali bawel
dengan segala gerak-gerak tangannya.
“Ayo bilang terima kasih…,” Daiki menggoda dari
kejauhan dengan tampang polosnya.
Tak ada pilihan lain kini. Si gadis hafal betul
sifat pemuda yang sudah tumbuh besar bersamanya itu.
“Ok, terima kasih…,” kata Aina dengan terpaksa –
masih tetap bicara dengan gerakan tangannya.
“Nah, sekarang cium aku…,” Daiki kembali bersuara
– namun kali ini agak manja.
“Ish…,” si gadispun hanya bisa memberikan isyarat
gemesnya dan hendak menampar Daiki – menampar sebatas dalam artian gemas
tentunya.
==============
==============
“Bapak memanggil saya?” Kei memasuki ruang
direktur dengan perasaan yang agak kurang nyaman setelah tadi berpapasan dengan
rekan kerjanya yang terlihat marah-marah – sepertinya baru saja dipecat.
Direktur muda itupun segera mempersilahkan Kei
untuk duduk, dan segera memulai penjelasannya kenapa ia memanggil pria itu.
“Setelah aku melihat catatan tentang anda ini,
sepertinya anda selalu datang dan pulang tepat waktu sesuai jadwal.”
Kei terlihat senang ketika direktur di hadapannya
itu nampak tengah memujinya.
“Tapi… bukankah jarak antara ruang kerja anda
dengan mesin pencatat waktu karyawan sekitar 5 menit?!”
Ryosuke terlihat mulai mengkritik…
“Jadi antara datang dan pulang… Kau telah membuang
waktu perusahaan selama 10 menit setiap harinya. 10 menit tersebut andai
dikalikan dengan berapa tahun anda bekerja di sini, bukankah hal ini menjadikan
kerugian besar untuk perusahaan?”
Kei berniat segera meluruskan apa yang menjadi
pemikiran direktur muda itu, “direktur… saya bisa menjelaskan semua ini…”
“Kau tak perlu menjelaskannya…”
Ryosuke membanting catatan karyawan itu ke
mejanya.
“Semua angka-angka di catatan itu telah
menjelaskan semuanya… Kau dipecat!!”
Kei langsung syok…
“Direktur… Aku sungguh-sungguh membutuhkan
pekerjaan ini. Tolong beri saya kesempatan…,” Kei memohon – mengingat ia harus
tetap mencari uang demi pengobatan Aina…
Masih dengan gaya coolnya, Ryosuke memberikan
jawaban dingin seperti biasanya, “Kau mengerti seberapa berharganya waktu kan?
Jadi jangan membuang-buang waktuku…”
Deegghh…
Kata-kata itu membuat Kei seketika tak lagi mampu menyampaikan
komplainnya.
Pria paruh baya itupun berjalan lemas ke pintu keluar
ruang direktur tersebut.
Namun…
Satu langkah sebelum ia meninggalkan ruangan itu,
ia kembali menoleh dan memandangi pemuda dingin yang masih duduk di kursi
kerjanya memandangi catatan-catatan kerja karyawan lainnya itu.
“Anak muda... aku akan memberimu satu nasehat…,”
Kei kembali mulai bersuara – walaupun pemuda yang ia ajak bicara itu tidak
sedang memperhatikannya, tapi Kei yakin, pemuda itu mendengarkannya.
“Dunia ini tidak hanya ditentukan oleh angka-angka
yang tertulis itu. Mungkin kau belum pernah merasakan tidak memiliki kesempatan
kedua, dan suatu hari, kau pasti akan merasakan rasa sakitnya tak lagi memiliki
kesempatan…”
“Dan saat hari itu tiba, kau akan sadar betapa
kejamnya dirimu yang sekarang…”
Itulah nasehat terakhir dari Kei sebelum akhirnya
pria paruh baya itu meninggalkan ruang tersebut dan kembali ke meja kerjanya
untuk membereskan barang-barangnya – ia telah dipecat…
==============
Chap. 04 = Owari
==============
Next : Chapter 05