Saturday, 27 July 2013

[Fanfic] SILENCE Chap. 13 : Smile

Title : SILENCE
Author : Rin Fujiyama
Genre : Romance, Family
Rating : General

Chapter 13

Douzou…

==============
==============

Chapter sebelumnya :

“Iya paman… Bantu kak Daiki…,” kini giliran Yuki yang juga ikut merengek.

“Aduh, bagaimana ya…”
Ohno benar-benar dibikin bingung sekarang.

Entah apakah Ohno akan mampu membuat Daiki bertemu dokter itu…
Dan bagaimanakah kelanjutan perjalanan Aina dan Ryosuke yang tadi sempat hanya berputar-putar tak tahu arah…

Who knows…


**********************
Chapter 13 = Smile

**********************

“Wah… Indah sekali…”
Aina menari dan berlari di hamparan pasir putih di pinggiran pantai itu – dalam hatinya sungguh tak menyangka ada pantai seindah ini di Fukuoka.

Sementara Ryosuke…
Pemuda ini memilih duduk dan memandangi gadis itu dari kejauhan. Pemuda tersebut nampak senang melihat wajah Aina yang begitu bahagia berlari-lari dan bermain air di tepian lautan ini.

“Ah…” Aina menghela nafas pendek karena merasa puas. Biarpun pada akhirnya ia tak dapat menemukan gereja yang dicarinya, setidaknya ia mendapatkan ganti pantai yang begitu indah ini yang mereka temukan secara tak sengaja.

Gadis itupun segera duduk di samping Ryosuke setelah ia merasa lelah berlari dan bermain menikmati segala keindahan di sana.

Digerak-gerakkannya dua kaki kecilnya itu – dua kaki mungil yang kini menari-nari riang di atas hamparan pasir.

“Aku bisa menebak beberapa maksud gerakan tanganmu. Tapi apa yang coba dikatakan oleh kakimu itu, aku tak mampu menebaknya.” Ryosuke berkata – ingin tahu.

“Sepatumu itu…,” si gadis menunjuk-nunjuk sepatu hitam sang direktur muda.

Berpikir sejenak…
Ryosukepun akhirnya mengerti apa yang dimaksud oleh gadis tersebut.

“Ah, aku tak suka hal yang kotor…” respon Ryosuke mencoba menjelaskan…

Tapi…
Bukannya menggubris kata-kata pemuda itu barusan…
Si gadis malah menarik paksa – namun dengan tindakan yang tidak brutal tentunya – menarik dan melepaskan sepasang sepatu tersebut.

Dilihatnya kaki si pemuda yang sudah tak lagi beralaskan sepatu ini.

Telapak kaki yang begitu putih bersih – nampak hampir tak pernah tersentuh oleh kotoran.

“Aku benar-benar tak suka hal yang kotor…,” berulang kali Ryosuke mencoba menolak ketika gadis itu menggenggam kedua kakinya yang terlihat masih enggan menyentuh pasir. Hingga, kaki-kaki tersebutpun akhirnya mampu dipaksa oleh si gadis untuk menapak di pasir itu.

“Nyaman, kan?” Aina tersenyum puas – membuat Ryosuke kini menatap tak percaya pada kedua kakinya yang kali ini tengah mencoba merasakan keberadaan dari pasir-pasir tersebut.

Awalnya memang ia ragu…
Namun pada akhirnya, pemuda itupun sudah dapat menapakkan kaki-kakinya ini dengan mantap.

“Um…,” Ryosuke merespon sembari mengangguk, menanggapi pertanyaan si gadis tadi.

==============
==============

“Aina…”

“Aina…”

Daiki nampak buru-buru menapaki tangga ke kamar penginapannya. Pemuda ini kelihatannya tengah sangat bahagia – tersirat jelas di raut wajahnya yang dipenuhi senyuman kali ini.

“Aina…”
Pemuda ini menghentikan langkahnya dan terengah-engah sedetik setelah dibukanya pintu kamarnya itu.

Tak ada seorangpun di sana…

“Eh, kemana anak itu?!”

Pandangan Daiki kini tertuju pada catatan kecil yang ia tinggalkan tadi pagi untuk si gadis. Ada tulisan lain di kertas catatan itu kali ini.

“Aku sedang pergi jalan-jalan sebentar…,” itulah tulisan yang nampak di kertas tersebut.

Daikipun kembali menghela nafas dan sedikit cemberut sekarang…
“Ah, dasar anak itu. Dia kan bisa menungguku jika ingin jalan-jalan,” gerutu Daiki sembari menggembungkan kedua pipinya.

Tapi raut wajahnya itu segera kembali ceria ketika ia teringat dengan kejadian beberapa waktu lalu saat Satoshi Ohno memutuskan akan membujuk Kento Nakajima agar mau mencarikan jadwal khusus agar Daiki bisa bertemu dengan Yaotome Hikaru-sensei.

“Semoga semua akan baik-baik saja…”
Batin Daiki – berharap banyak agar usahanya tadi tak sia-sia.

==============
==============

Ryosuke baru saja membuka matanya…
Sepertinya tadi ia telah tertidur di pantai itu dengan setelan jasnya yang ia gunakan sebagai alas.

Buru-buru ia kembali bangkit dan mengibas-ibaskan jas kebesarannya itu.

Matanya kini menyusuri sepanjang pantai – mencoba mencari keberadaan gadis bisu tadi yang entah ada di mana saat ini.

“Tadi kau tertidur lelap hingga mendengkur. Jadi aku tak membangunkanmu…”
Tulisan itu terpampang di atas pasir – membuat Ryosuke hanya mampu menyembunyikan wajahnya yang tengah memerah – malu karena tertidur dan mendengkur di hadapan orang lain.

Iapun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sudah pasti itu semua efek kelelahan akibat rapat semalaman tanpa henti hingga membuat pemuda tersebut belum sempat istirahat sedari kemarin.

==============

Dilihatnya si gadis tengah duduk bersama anak-anak kecil di sudut itu – nampak tengah asik mengajari anak-anak tadi gerakan-gerakan tangan mengikuti sebuah alunan lagu yang terealisasi dari sebuah tape recorder yang entah kepunyaan dari siapa.

Dari jarak itupun Ryosuke hanya mampu memandangi sembari tersenyum dan berpikir, betapa baik dan manis gadis yang tengah dipandanginya itu.

“Hei, sini…”
Aina melambaikan tangannya – memberikan isyarat agar pemuda itu segera bergabung dengannya – bermain dengan anak-anak tadi.

Sebuah kebersamaan yang begitu menentramkan hati.

Hingga ternyata sang waktu telah menunjukkan pukul enam sore – senja telah datang menjemput.
Dan di halte itu, akhirnya keduanyapun kembali berpisah…

Si gadis nampak tersenyum puas dengan apa yang sudah dialaminya hari ini. Sementara si pemuda, ia memutuskan untuk berjalan kaki – menikmati hembusan angin sore.
Langkah kaki yang begitu tenteram. Lengkap dengan sebuah hiasan senyuman di wajahnya.
Biarpun rasa lelah kini menghinggapi, tapi perasaan itu tak akan mampu mengalahkan kebahagiaan yang didapatnya hari ini.

Ryosukepun kembali tersenyum...

==============
==============

“Aku pulang…”

Aina menghampiri Daiki yang nampak tengah duduk sembari menundukkan kepalanya.

“Dari mana saja kau?” tiba-tiba Daiki bersuara dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya – seketika membuat Aina hanya mampu memandang diam.

“Berulang kali aku telpon tapi tak tersambung. Kau tau bagaimana perasaanku?”
Kini Daiki telah berdiri di hadapan gadis yang disayanginya itu.

“Jam berapa sekarang?!” sekali lagi pemuda ini berteriak.

Dan akhirnya kini ia memilih membelakangi gadis itu sembari tetap berkata dengan nada tingginya. “Aku yang membawamu ke Fukuoka. Kau itu tanggungjawabku. Apa yang harus aku lakukan andai terjadi sesuatu padamu?!”

“Prriittt…”

“Apa?!” Daiki membalikkan badannya sekali lagi – saling berhadapan kembali dengan Aina sekarang.

Dan gadis itupun kini menggerakkan kedua tangannya – mencoba memberi penjelasan.

“Saat kau marah, kau terasa semakin jauh dariku. Jadi… yang kubisa hanyalah meniup peluit ini agar kau kembali datang padaku…”

“Maaf ya…”
Ainapun nampak sedih kini…

Seketika, Daiki langsung memeluk erat gadis mungil di hadapannya tersebut.

“Maafkan aku… Aku tak bermaksud memarahimu. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu…”

==============
==============

Kini hari telah berganti…

“Kak Daiki…”

“Kak Daiki…”

Dua anak itu berlarian menghampiri Daiki.

“Nah, Aina… Anak ini namanya Ryutaro. Dan yang ini kakaknya, Yuki.” Daiki memperkenalkan dua anak tadi pada Aina.

Biarpun dua hari lalu ia sempat bertemu Ryutaro, tapi ia belum sempat berkenalan waktu itu.

“Eh, kau sudah datang Daiki?”
Ohno menyapa mereka…

“Ayo-ayo kita makan bersama dulu…” ajak Ohno sembari menyiapkan masakannya yang baru saja matang.
Dan benar saja, kini merekapun makan bersama…
Ohno, Daiki, Aina, Ryutaro, dan Yuki…

Kento dan Shori sedang bekerja saat itu. Dan nyonya Nakajima – isteri Kento, ia hanya mengurung diri di kamarnya – masih marah terhadap suaminya yang tak pernah mau diajaknya untuk pindah dari tempat itu.

“Bangunan ini akan segera dirobohkan…” Ohno mengawali acara makan bersama itu sembari mencari topik untuk mengobrol.

“Tanah ini adalah milik perusahaan Yamada. Dan akhir-akhir ini mereka berulang kali datang untuk memberitahu kami agar segera meninggalkan tempat ini.”

Daiki dan Aina masih serius mendengarkan…
Sementara Ryutaro dan Yuki, kedua anak ini tengah asik menikmati makanan mereka.

Tapi tiba-tiba…

“Permisi…”

“Ada orang di dalam?!”

Terdengar suara seseorang dari halaman…

Buru-buru Ohno keluar – hendak melihat, siapa gerangan yang datang.

Aina dan Daikipun mengikuti segera. Begitu juga dengan Ryutaro dan Yuki yang ikut mengikuti – juga merasa ingin tahu.

Nampak di sana Honda Sakura…

“Maaf telah mengganggu makan kalian…” ia memulai bicara dengan nada sopannya.

“Kali ini direktur kami sengaja datang ke sini untuk menyelesaikan masalah ini…”

Begitulah kalimat yang terlontar dari gadis itu – diikuti oleh penampakan sosok yang luar biasa rapi dari arah gerbang masuk Rumah Cemara.

Dan nampak disana…

Siapa lagi jika bukan Ryosuke Yamada.

Aina dan Daikipun hanya mampu menatap tak mengerti…

Apakah gerangan yang akan terjadi setelah ini?

Who Knows…


==============
Chap. 13 = Owari
==============


Next : Chapter 14

Thursday, 25 July 2013

[Fanfic] SILENCE Chap. 12 : Sibling

Title : SILENCE
Author : Rin Fujiyama
Genre : Romance, Family = Lupakan tulisan genre angst di chapter-chapter sebelumnya, karena saya belum yakin apakah cerita ini akan penuh adegan kesedihannya. [maafkan authornya, hehe]
Rating : General

Chapter 12

Douzou…

==============
==============

Chapter sebelumnya :

Dan ternyata…
Mata pemuda ini mampu menangkap punggung yang begitu familier yang tengah berdiri di belakangnya – membuatnya mau tak mau harus mencuri-curi pandang – sedikit terkejut setelah mengetahui ternyata punggung itu memang milik gadis yang 2 hari lalu sempat dipamitinya sebelum berangkat ke Fukuoka.

Matsumoto Ainami…

Ternyata takdir memang tak pernah bisa diduga oleh siapapun…
Biarpun Ryosuke tak tahu kenapa gadis itu ada di Fukuoka, tapi hanya dengan mengetahui keberadaan gadis itu di sana, senyumnyapun mampu kembali dikembangkannya.

Entah apakah yang akan terjadi dengan keduanya setelah ini…

Who knows…


**********************
Chapter 12 = Sibling
**********************

Sekali lagi bus itu tergoncang ringan…
Dan kini giliran si gadis bisu yang akhirnya menyadari keberadaan pemuda kaya raya yang sebelumnya pernah berpamitan padanya – pamit akan pergi ke luar kota.

Tentu ada keterkejutan di wajah gadis ini.
Namun sayang…
Lagi-lagi keduanya memilih untuk saling diam setelah tadi sempat beradu mata beberapa saat.

Yah, setidaknya kini keduanya telah berdiri berdampingan di bus yang tengah mereka tumpangi itu. Biarpun hanya saling diam, tetap dapat tertangkap sebuah senyum kecil dari keduanya – entah apa yang tengah mereka berdua pikirkan.

Satu hal yang pasti adalah bahwa keduanya merasa nyaman mengetahui bahwa mereka tak benar-benar berpisah lama setelah pertemuan terakhir mereka sebelumnya.

==============

Ryosuke dan Aina menuruni bus itu di salah satu halte…

Si gadis masih memandangi petanya – mencoba mencari arah yang benar untuk mencapai tempat yang sedang ditujunya.

“Hei, kau mau ke mana?” tanya Ryosuke yang akhirnya menjadi orang pertama yang memecahkan keheningan di antara keduanya.

Dan gadis yang ditanyapun segera menunjukkan sebuah tempat di peta yang masih dipegangnya.

“Um…” si pemuda mengangguk mengerti.

Nampak gambar gereja di peta yang ditunjuk gadis itu barusan.

Pemuda ini kembali berkomentar. “Karena ini masih pagi, dan matahari ada di sebelah sana, berarti di sana adalah arah timur. Jadi kita harus mengambil arah ini untuk pergi ke gereja itu.”

Dan pada akhirnya, Aina memilih untuk mengikuti pemuda tersebut biarpun ia sendiri masih tak yakin akan arah yang dipilih oleh si pemuda.

“Kau hebat juga ya…”
Kembali lagi Ryosuke berkomentar…

“Gadis sepertimu berani jalan-jalan sendiri di tempat yang belum kau kenal ini. Benar-benar sungguh berani…”

Seketika si gadis berhenti melangkah dan segera mengambil buku catatannya.

Ia menuliskan sesuatu di sana…
“Gadis bisu juga punya hak untuk berpetualang kan?!” tulisnya di sana dengan wajah cemberut karena kata-kata direktur muda itu tadi terkesan mengejeknya.

Pemuda itupun hanya mampu tersenyum tertahan…
Yah, faktanya mungkin ia hanya khawatir andai terjadi sesuatu pada gadis itu – namun pastinya perasaan tersebut belum sepenuhnya ia yakini mengingat keduanya belum terlalu lama kenal.

==============

Dan akhirnya keduanya kembali melangkah…

Sayang sungguh sayang…
Mereka malah tiba di sebuah tugu merah yang pastinya bukanlah tujuan utama si gadis itu berjalan-jalan hari ini.

“Puk… puk..”
Aina menepuk ringan lengan si pemuda…

Gadis itu memberikan petanya pada pemuda itu dan menunjuk salah satu gambar yang ada di peta – gambar sebuah tugu kecil yang kini ada tepat di hadapan mereka – tugu yang berdiri dengan gagah.

“Kita salah jalan nih…” kata Aina dengan gerakan-gerakan tangannya – cemberut sembari memprotes pastinya.

Dan pemuda itupun hanya mampu mengangguk ringan sebelum kembali melangkahkan kakinya.
Tak ada satupun kata yang direalisasikan Ryosuke untuk merespon kata-kata Aina barusan.

Lagi-lagi tak ada pilihan…
Gadis itu hanya bisa kembali mengikuti.

Dan akhirnya…

Jeng… jeng…

“Aarrgghhh…”
Aina mengeluh tanpa suara…

Keduanya kembali berhenti melangkah, setelah ternyata mereka berdua kembali ke halte tempat mereka turun tadi.
Dan kini si pemudapun hanya bisa mencoba mempertahankan wajah tak bersalahnya setelah tadi sempat mendapatkan protes yang kedua kalinya dari si gadis.

“Ish…” keluh si gadis – masih tetap tanpa suara – hanya memasang raut wajah yang terkesan ingin menggetok kepala pemuda itu.

==============
==============

Di tempat yang lain…

Di rumah cemara…

“Yuki kembali… Yuki kembali…,” teriak Shori memberitahukan kabar itu pada penghuni lainnya.

Satoshi Ohnopun menjadi orang pertama yang keluar dari rumahnya dan segera menyambut kepulangan Yuki.

“Eh…?! Kau lagi?!” respon Ohno setelah mengetahui Yuki kembali dengan digendong oleh pemuda chibi yang kemarin sempat hampir dipukulnya dengan sapu.

==============

“Shori, apa yang terjadi pada Yuki?” Ohno terlihat khawatir karena Yuki kembali pulang namun tak seceria biasanya.

“Semalam ia bertemu dengan para berandalan, paman!” jawab Shori pendek.

Sementara di sudut satunya…
Daiki terlihat tengah mengusap-usapkan kain basah ke wajahnya – tengah mengkompres mukanya yang memar-memar karena perkelahian saat ia mencoba menyelamatkan gadis bernama Yuki itu.

==============

“Kakak…”

“Kakak…”

Ryutaro baru saja kembali setelah semalaman mencari kakak perempuannya itu.

“Kakak… Kemarin kau pergi ke mana?” tanya Ryutaro dengan luapan perasaan harunya – merasa lega karena kakak satu-satunya yang ia miliki ini telah kembali pulang.

Ryutaro mengguncang-guncangkan tubuh Yuki yang terlihat masih diam menundukkan kepalanya.

“Kau membuatku mencari dan terus mencari kemarin…” Ryutaro masih berteriak – berharap akan mendapatkan jawaban.
Dan gadis itupun akhirnya menjawab dengan sedikit isakan tangis. “Kemarin aku pergi mencari sebuah rumah…” kata si gadis mencoba memberi Ryutaro jawaban atas pertanyaannya.

Semuanya kini diam mendengarkan kata-kata yang mengalir kurang lancar dari kedua sisi bibir Yuki.

“Sebuah rumah yang besar… Besar sekali… Agar kita bisa tinggal di sana bersama…” kata Yuki melanjutkan.

Ohno dan Shoripun hanya bisa memandang haru…

“Maafkan aku… Maafkan Yuki… Yuki memang bodoh… Yuki bodoh…,” gadis itupun kini menangis sembari memukuli kepalanya – merasa bersalah tentunya telah membuat semuanya khawatir – setidaknya ia masih memiliki perasaan biarpun otaknya jauh berbeda dari orang-orang normal pada umumnya – otak kekanakan yang berbeda jauh dari usianya yang sebenarnya telah menginjak 19 tahun.

“Kakak…”
Ryutaropun kini menangis dan segera memeluk kakaknya itu.
“Jangan pergi lagi ya…”

“Tenang saja… Kita pasti tetap bisa tinggal bersama dengan yang lain…” Ryutaro masih menangis sembari mencoba menenangkan kakaknya yang kali ini menangis layaknya anak balita yang baru saja dimarahi.

==============
==============

Suasana di rumah cemara kini telah kembali tenang…

“Shori…”
Ohno bersuara…
“Benarkah anak itu tadi yang telah menyelamatkan Yuki?” tanyanya.

“Benar, paman. Kalau bukan karena Daiki, pasti Yuki telah disakiti oleh berandalan itu.” Terang Shori.

“Ya sudah paman, aku harus kembali ke tempat kerja dulu. Masakan ini aku serahkan pada paman,” Shoripun berpamitan pada pamannya yang kini tengah memasak untuk anak-anak tadi.

==============

Daiki mendatangi Ohno yang tengah memasak…

“Ohno-san… Bisakah aku meminta bantuan darimu?” tanya Daiki setelah beberapa menit tadi mencoba memberanikan dirinya.
Ryutaro dan Yuki yang sudah bisa kembali tersenyumpun kini sudah berdiri di samping Daiki.

“Bisakah kau membuatku bertemu dengan dokter Yaotome?” lanjut Daiki.

Ohnopun hanya bisa menghela nafasnya ringan, sebelum meletakkan pisau dapur yang tadi digunakannya untuk memotong daging.

Pria berusia 50-an tahun itu baru saja hendak melakukan penolakan secara halus – mengingat ia sendiri tak tau bagaimana bisa membuat Daiki bertemu dengan dokter terbaik yang ada di tempat tersebut itu.
Tapi belum sempat ia mengutarakan penolakannya, si kecil Ryutaro sudah menarik-narik bajunya sembari merengek. “Ayolah paman… Kalau bukan karena menolong kakak, Daiki-kun pasti tadi tak akan terlambat mengantri untuk bertemu dokter Yaotome.”

“Iya paman… Bantu kak Daiki…,” kini giliran Yuki yang juga ikut merengek.

“Aduh, bagaimana ya…”
Ohno benar-benar dibikin bingung sekarang.

Entah apakah Ohno akan mampu membuat Daiki bertemu dokter itu…
Dan bagaimanakah kelanjutan perjalanan Aina dan Ryusoke yang tadi sempat hanya berputar-putar tak tahu arah…

Who knows…


==============
Chap. 12 = Owari
==============


Next : Chapter 13

Followers